Lilian yang baru sampai di ruang tamu segera berlari menuju kamar pertama, itu adalah kamar ibu panti. Dia berhenti di ambang pintu kamar dengan kedua bola mata membelalak. Dilihatnya Wina sedang memanggil-manggil nama Ibu Atika sambil menggoyangkan bahunya.
“Ibu! Bu Atika! Bangun, Bu! sadar, Bu! Ini aku Wina!”
“Kak Wina, Ibu pingsan dari tadi atau baru saja?”
Wina menoleh, kedua bola matanya tampak berair menahan air mata. Dia selalu begitu, bahkan untuk menangis pun selalu dia tahan, karena Wina adalah kekuatan bagi adik-adiknya di panti.
“Kak! Kita bawa Ibu ke rumah sakit sekarang, ya!”
“Pakai apa, Li? Pakai taksi atau kita minta tolong tetangga?”
Lilian menggeleng. “Tunggu sebentar ya, Kak! Oh ya, Kak Wina siapkan saja dulu Ibu, ya. Aku akan siapkan mobilnya!”
“Hah?!” Wina kaget tapi Lilian sudah melesat keluar kamar kembali. Dia berlari cepat sampai ke halaman depan.
Eric yang sedang berdiri di samping mobil, baru akan menyalakan korek ketika Lilian menabraknya, hingga korek yang dipegang Eric terpental jatuh ke tanah.
Lilian memegang kencang tangan Eric. “Kak Eric, cepat nyalakan lagi mobilnya!” Lalu tanpa mengindahkan tatapan Eric yang kebingungan, Lilian langsung membuka pintu mobil bagian belakang. Lalu dia kembali berlari ke dalam rumah.
“Ck ck buru-buru banget mau pulang,” desis Eric sambil menggelengkan kepalanya. Lalu dia membungkuk akan mengambil korek di tanah.
Belum sempat Eric mengambil korek gas itu, Lilian sudah melesat lagi keluar lalu menarik tangan Eric tanpa permisi. Lilian terus menarik pria tinggi itu dengan segenap kekuatan yang dia punya. Di saat genting seperti itu, kekuatan Lilian bagaikan menjadi tiga kali lipat. Tubuh mungilnya mampu menarik tubuh kekar Eric dengan cepat.
“Ehh tunggu! Ini mau kemana?!” Eric yang tidak jadi mengambil koreknya juga tidak dijawab pertanyaannya sejak tadi, terus saja ditarik oleh Lilian.
Hingga begitu memasuki ruang tamu rumah panti asuhan tersebut, Eric mendengar suara tangisan anak-anak kecil. Dikiranya ada seorang anak yang terluka, dia melepaskan tangan Lilian lalu mendahuluinya masuk ke dalam kamar. Karena dari sanalah sumber suara tangisan yang ramai itu.
Eric terhenyak ketika melihat di dalam kamar ada seorang wanita paruh baya sekitar lima puluhan sedang terbaring tak berdaya, di sampingnya duduk seorang gadis memijat tangan ibu itu lalu menepuk-nepuk pipinya, berusaha menyadarkan ibu yang terbaring.
“Kenapa ibu itu?’ tanya Eric seraya berjalan mendekat. Mendengar suara Eric, anak-anak kecil dengan usia beragam yang terlihat menangis tidak jauh dari tempat tidur, serempak berlari mendekati Eric lalu memeluk kedua kakinya.
“Om, tolong ibu!” rengek seorang anak di sela isak tangisnya.
“Om, ibu sakit! Ibu pingsan! Aku takut ibu meninggal!” sambung anak yang lebih besar sambil terus memeluk kedua kaki Eric.
Anak di sebelahnya semakin kencang suara tangisnya. “Ibu nggak boleh meninggal!” teriaknya kencang. Terlihat wafer coklat kotak yang masih utuh di dalam mulutnya.
Eric menatap bergantian pada anak-anak itu. Dia tidak terbiasa sama sekali menghadapi anak kecil. Maka tanpa berkata apa-apa, Eric hanya mengusap punggung anak-anak itu untuk menenangkan kemudian menghampiri tempat tidur. “Ibu kalian kenapa? Sakit apa?”
Wina mendongak dengan wajah sembabnya. “Ibu sakit usus buntu, kata dokter sudah parah, hampir pecah, Lilian baru punya uangnya hari ini untuk biaya operasi.”
Lilian yang sudah berdiri di samping Eric sambil menggendong seorang anak berusia dua tahun, menatap memelas pada Eric. “Kak Eric, tolong bantu aku bawa Bu Atika sekarang ke rumah sakit, ya? Aku mau ibu dioperasi secepatnya, sebelum usus buntunya pecah. Aku takut ibu kenapa-napa.”
Eric mengangguk. Sekarang dia sudah paham situasinya. “Biar aku yang angkat Bu Atika, lalu siapa di antara kalian berdua yang akan ikut ke rumah sakit?’
“Aku!” jawab Lilian dan Wina bersamaan.
“Lalu siapa yang akan menjaga anak-anak ini?”
“Tenang saja, Kak. Ada dua pengurus lagi di sini, sekarang sedang di kamar para bayi, nanti akan kupanggilkan satu kesini.” Kemudian Lilian segera berlari menuju kamar bayi yang letaknya agak di belakang.
“Dan sebentar lagi juga akan pulang anak panti yang sekolah masuk siang, mereka sudah SMA dan SMP, mereka bisa membantu menjaga adik-adik di sini,” lanjut Wina.
“Ohh, ya sudah.” Kemudian Eric dengan hati-hati mengangkat tubuh lemah Atika dengan kedua tangannya yang kekar. Dia tidak kelihatan merasa berat sama sekali. Tubuh tingginya yang kekar tampak mudah saja mengangkat Atika hingga memasukannya ke dalam mobil.
Wina juga ikut masuk di kursi belakang, Lilian menyusul berlari dari dalam rumah, dia duduk di kursi penumpang depan. Sepanjang jalan Lilian sibuk berdoa dengan suara pelan, mulutnya komat-kamit. Sedangkan Wina terus mengusap lembut bagian wajah dan kepala ibu panti, dia juga terus memanggil-manggil nama Bu Atika dengan suara lembut tepat di dekat telinga.
Eric sesekali menoleh pada Lilian dan juga melihat Wina dari kaca spion dalam. Eric dapat memperkirakan jika usia Lilian masih beberapa tahun di bawah Wina. Dan pikirnya juga, mungkin Lilian sebelum menikah juga tinggal di panti asuhan bersama dengan Wina. Sebab keduanya terlihat sangat menyayangi Bu Atika.
Sesampainya di rumah sakit, Eric langsung mengarahkan mobil ke ruang UGD. Perawat beserta security dengan sigap membantu Atika dan langsung ditangani. Sementara itu Lilian dan Wina menungu di depan ruang UGD.
“Li, sebaiknya kamu pulang saja sekarang, biar ibu aku saja yang tungguin, gih sana!” Wina menatap Lilian dengan raut wajah cemas. Eric yang duduk di kursi lain agak jauh dari mereka berdua masih bisa mnedengar dan sesekali mencuri pandang.
Lilian menggeleng. “Tapi aku khawatir dengan ibu, Kak.”
Wina menghela napas dalam. “Justru aku lebih khawatir sama kamu. Nanti kalau kamu kena marah suamimu bagaimana, Li? Ini sudah mulai gelap loh. Suamimu sebentar lagi pasti pulang. Sudah sana!”
“Tapi Kak—”
“Li, kalau kamu sampai kena marah suamimu, nanti malah repot. Bagaimana kalau kamu sampai dilarang keluar rumah! Nanti aku jagain ibu sama siapa, Li?” Wina tampak menggenggam kedua tangan Lilian.
Akhirnya Lilian menunduk sebentar, tampak pasrah. Kemudian dia merogoh dompet dari dalam tas selempangnya. Kemudian memberikan sebuah kartu ATM pada Wina. “Kak, untuk biaya rumah sakit ibu termasuk biaya operasi semua ada di sini. Nanti aku kirim nomor pinnya, ya.”
Dengan ragu Wina memperhatikan ATM itu. Lilian segera meletakkan langsung ATM miliknya di tangan Wina.
“Kakak tenang saja, uang di dalam sini halal kok. Hasil kerjaku. Bukan uang Mas Edwyn apalagi uang haram. Pokoknya pakai saja dulu untuk kebutuhan ibu.”
Wina tak kuasa lagi menahan air mata. Dia langsung memeluk Lilian. “Terima kasih ya, Li. Kamu penyelamat ibu.”
Eric langsung melengos, membuang pandangan ke arah lain. Meskipun dia seorang bodyguard, tapi kalau sudah bercerita tentang ibu, maka hatinya langsung lemah.
Detik kemudian Wina segera melepas pelukannya. “Ayo Li, pulanglah! Aku nggak tega lihat kamu disiksa suamimu itu!”
Eric mengernyitkan kening. Apa artinya disiksa? Isi kepalanya langsung bertanya-tanya tentang suami Lilian yang disebut berkali-kali oleh Wina.
Lilian mengangguk, dia pamit pada Wina dan berjanji besok akan datang lagi ke rumah sakit. Lalu menghampiri Eric. “Kak Eric, apa bisa antar aku pulang sekarang?”