Raska melirik ponselnya, menunggu orang di seberang sana mengatakan kabar buruk apa yang harus ia dengar.
Tak lama, Raska menurunkan ponsel dari telinga setelah panggilan berakhir, setelah orang yang menghubunginya memintanya segera datang ke kantor cabang di luar kota karena telah terjadi masalah. Memejamkan mata sejenak, ia kemudian mengambil langkah, menunjukkan diri pada Sora dan Sakura.
“Papa!” seru Sora melihat Raska berjalan ke arahnya.
Raska setengah berjongkok menyamakan tingginya dengan tinggi sang anak lalu mengatakan, “Papa harus ke luar kota, Sora mau ikut?”
“Dengan Mama?”
Raska melirik sekilas Sakura yang berdiri di belakang Sora lalu menjawab, “Tidak. Papa tidak bisa membawa Mama.”
“Kalau begitu Sora di sini saja sama Mama,” kata Sora kemudian menggenggam tangan Sakura.
Raska kembali berdiri dan menatap Sakura dengan pandangan tak terbaca.
“Anda … tenang saja, saya akan menjaga Sora,” ucap Sakura.
Raska terdiam cukup lama. Bisakah ia percaya pada orang yang baru dikenalnya? Apalagi mempercayakan anak serta isi rumah padanya. Namun, ini kesempatannya melihat kinerja serta dedikasi Sakura. Apakah wanita itu bisa menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak.
“Baik lah. Aku berangkat sebentar lagi.”
Tak lama kemudian, Raska telah bersiap berangkat. Namun, sebelum itu ia berpamitan pada sang putra.
“Papa pulang kapan?” tanya Sora.
“Belum tahu. Papa akan mengabarimu saat akan pulang nanti,” jawab Raska sambil mengusap pucuk kepala Sora.
Sora mengangguk mengerti lalu mengatakan, “Sora sudah sembuh. Besok Sora boleh berangkat ke sekolah?”
Wajah Raska tampak sedikit cemas. “Sungguh? Kau yakin?”
Sora mengangguk tanpa ragu. Ia sangat ingin mengenalkan mama barunya pada teman-temannya. Sekarang, ia punya mama, teman-temannya pasti tak akan mengejeknya lagi.
Raska mengembuskan napas lewat mulut. Seperti biasa ia tak bisa mengatakan tidak pada keinginan sang putra.
“Baik lah. Jika terjadi apa-apa, segera hubungi Papa.”
Sora mengangkat tangan membentuk pose hormat. “Siap kapten Papa.”
Sakura tersenyum kecil melihat apa yang Sora lakukan. Tindakan kecil Sora itu terlihat menggemaskan.
“Aku akan mengirim jadwal kegiatan Sora besok saat di perjalanan.”
Sakura tersentak mendengar Raska bicara tiba-tiba padanya. “Si- siap, Tuan.”
Sora mendongak. “Kenapa Mama panggil Papa, tuan?” tanyanya dengan wajah polos.
Sakura terkejut, ia pun tampak gelagapan memberi penjelasan.
“A .. i- itu, begini, Sora. Mama–”
“Sora, Papa berangkat.”
Ucapan Raska membuat perhatian Sora pada Sakura teralihkan. Sora pun memeluk Raska dan mengucapkan selamat jalan.
“Hati-hati di jalan, Pa,” ucap Sora setelah Raska melepas pelukan.
Raska mengangguk kemudian berbalik dan bersiap menuju mobil yang telah menunggu. Namun, baru mendapat langkah kedua, suara Sora menghentikannya.
“Papa tidak berpamitan sama Mama?”
Raska menoleh, menatap Sakura sejenak kemudian kembali berbalik hingga berdiri berhadapan dengan Sakura.
“Aku berangkat,” ucap Raska tanpa ekspresi, sangat berbeda saat ia berpamitan pada sang putra di mana raut wajahnya begitu lembut memandang putranya.
“I- iya,” balas Sakura sambil mengangguk.
Raska berbalik, tapi langkahnya kembali tertunda saat suara Sora terdengar.
“Papa tidak peluk Mama? Tidak cium kening Mama?”
Dahi Raska sedikit berkerut menatap sang putra. Bocah itu pun kembali mengatakan, “Kemarin Sora baca buku tentang keluarga beruang. Pak Beruang mencium kening ibu beruang sebelum pergi bekerja.”
Tepat setelah mengatakan itu, Raska segera mengecup kecing Sakura, hanya sekilas.
“Sudah, kalau begitu papa berangkat,” ucap Raska dan mengusap pucuk kepala Sora terakhir kalinya sebelum pergi.
Sakura mematung hingga tak berkedip menatap kepergian sang Tuan. Ia seolah masih terjebak dalam lingkaran waktu saat Raska mencium keningnya. Meski hanya sekilas, tapi mampu membuatnya berdebar-debar.
“Ma, Mama … Mama?”
Sakura tersentak saat Sora terus memanggilnya sambil menarik kecil ujung roknya.
“Ah, i- iya. A- ada apa, Sora,” ucap Sakura seraya menunduk menatap bocah laki-laki itu.
“Mama kenapa? Mama melamun.”
“A … tidak. Mama tidak apa-apa, Sora. Oh, ya, sudah sore. Sora mau mandi?”
Tak lama kemudian, suara tawa terdengar dari kamar mandi di kamar Sora. Sakura menemaninya mandi sambil bermain-main. Setelah selesai, dengan telaten Sakura membantu Sora memakai baju juga menyisir rambut.
Malam harinya, sekitar pukul 8 malam, Sora telah terlelap. Di samping Sora, Sakura memperhatikannya sambil mengelus rambutnya yang tebal dan sedikit kaku. Merasa Sora telah pulas, ia bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar, Sakura mengedarkan pandangan hingga perhatiannya berakhir pada ranjang king size milik sang tuan. Ia pun berjalan menuju ranjang dan segera beristirahat. Besok ada tugas baru menanti, ia harus bangun pagi.
“Nyaman sekali,” batin Sakura setelah berbaring di ranjang. Disapunya ranjang dengan tangannya, merasakan betapa lembut dan empuknya tempat berbaringnya sekarang. “harganya pasti mahal,” gumamnya teringat tempat tidurnya di rumah sudah usang.
Perlahan Sakura mulai memejamkan mata. Nyamannya tempat tidur pun mengantarkannya segera terlelap.
Keesokan harinya, Sakura bangun di waktu masih pagi. Ia segera membangunkan Sora, membantunya mandi dan bersiap kemudian membuatkannya sarapan juga bekal makan siang.
“Mama ikut Sora ke sekolah, kan?” tanya Sora saat Sakura menata bekal ke dalam tas.
Tanpa Sakura sadari, rupanya Sora memegang ponsel di tangan. Hari pertama menyiapkan sarapan dan bekal membuatnya merasa sangat sibuk hingga tak sadar sejak dirinya membuat bekal, Sora merekamnya. Sora melakukan VC dengan sang ayah membuat Raska di seberang sana tahu apa yang dengan Sakura lakukan.
“Iya, Sora. Lihat, apa Sora suka?”
Sakura menunjukkan hasil karyanya, menghias menu makan siang Sora. Nasi putihnya disulap menjadi bentuk wajah kelinci yang lucu dihiasi lauk telur dan sayur.
wajah Sora tampak berbinar. “Woa … cantik sekali, Ma,” ucap Sora. “Pa, lihat bekal Sora.” Sora membalik ponselnya, menunjukkan bekal makan siangnya pada sang ayah. Melihat itu membuat Sakura terkejut.
“Se- sejak kapan?” batin Sakura. Begitu serius, dirinya sampai tak sadar Sora bertelepon dengan ayahnya.
“Cukup bagus.”
Jantung Sakura berdebar sesaat mendapat pujian dari sang tuan. Ia senang, usahanya tidak hanya disukai Sora tapi mendapat apresiasi dari majikannya.
Sesaat kemudian, Sora dan Sakura bersiap berangkat sekolah setelah Sora mengakhiri panggilannya dengan sang ayah.
“Sepertinya semua sudah. Tidak ada yang tertinggal,” gumam Sakura saat kembali memeriksa tas Sora. Dirinya juga sudah siap dengan setelan baju sederhananya. “berangkat sekarang, Sora?” tanyanya dan mendapat anggukan dari sang bocah.
Tak lama, Sakura dan Sora telah dalam perjalanan menuju sekolah. Tanpa Sakura sadari, sopir yang tampak serius mengemudi sesekali memperhatikannya. Sopir itu tak banyak bicara, sesuai perintah sang tuan.
Sekitar 30 menit kemudian, mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Sesuai permintaan Sora, Sakura mengantarnya sampai depan kelas. Keduanya berjalan bersama dengan tangan tertaut.
“Loh, bukannya itu Sora? Dia dengan siapa?”
Seorang wanita menghentikan langkahnya kala pandanganya menangkap sosok Sora dan Sakura dari kejauhan. Ingin memastikan, dirinya segera menghampiri keduanya.
“Sora!” Wanita itu memanggil membuat Sora menghentikan langkahnya. Sakura pun melakukan hal serupa.
“Selamat pagi, Bu guru,” ucap Sora setelah wanita yang merupakan guru di kelasnya telah berdiri di depannya.
Wanita bernama Salsa itu tersenyum dan mengusap pucuk kepala Sora. “Selamat pagi, Sora.”
“Bu, kenalkan, ini mama baru Sora,” seru Sora sambil mendongak menatap Sakura.
Salsa tampak terkejut, perhatiannya seketika jatuh pada Sakura.
“Se- selamat pagi,” ucap Sakura dengan senyum kaku. Ia merasa canggung.
Salsa tak membalas senyuman Sakura, ia terus memperhatikannya dari ujung kepala hingga kaki.
“Mama baru? Apa Sora tidak salah? Papa Sora yang tampan, menikahi wanita kampungan seperti ini?” batin Bu Salsa. Wanita seusia Sakura tapi memiliki wajah sedikit lebih tua dari usianya itu merasa tak terima. Sudah lama ia berusaha mendekati Raska tapi pria itu seperti tak peduli sama sekali, tapi kenapa justru memilih istri biasa seperti Sakura?
“Sora, kau serius? Dia benar-benar mama barumu?” tanya Bu Salsa dengan lembut.
Bibir Sakura bergetar kala senyum kecut hendak tercipta. Pertanyaan Bu Salsa menunjukkan wanita itu tak percaya dirinya adalah mama baru untuk Sora. Tapi ia sadar, itu sangat wajar. Siapa yang tak terkejut mengetahui duda tampan seperti Raska menikahi wanita biasa seperti dirinya?
Sora mengangguk. “Iya, Bu. Tanya saja sama Papa,” kata Sora. “Bu, Sora mau ajak mama ke kelas, mau kenalkan mama Sora ke teman-teman,” lanjut Sora.
“Eh? Tapi kan tidak boleh, Sayang. Mama hanya boleh mengantar, tidak boleh ikut ke kelas,” tutur Bu Salsa.
Sora mendongak menatap Sakura dan Sakura dapat melihat kekecewaan di wajahnya.
Sakura setengah berlutut di depan Sora, menyamakan tinggi mereka. Diusapnya pipi Sora yang sedikit chubby lalu mengatakan, “Nanti siang mama jemput lagi, ya. Nanti Sora bisa kenalkan mama sama teman-teman Sora.”
Sakura tahu, Sora hanya ingin menunjukkan pada teman-temannya bahwa sekarang dirinya sudah punya seorang ibu. Hal yang wajar, mengingat selama ini Sora sering diejek karena tidak memiliki ibu.
Perlahan Sora mengangguk membuat Sakura merasa senang sekaligus kasihan melihatnya. Tapi, ia tak bisa melanggar aturan sekolah.
“Tapi, bisakah saya mengantarnya sampai depan kelas?” tanya Sakura.
Bu Salsa melihat jam tangannya lalu mengatakan, “Silakan, tapi tolong anda segera pergi setelahnya. Dikhawatirkan teman-teman Sora keluar kelas nantinya sementara jam masuk sebentar lagi dimulai.”
“A … terima kasih.”
Bu Salsa masih berdiri di tempat saat Sakura mengantar Sora ke kelasnya. Ia masih tak habis pikir jika wanita seperti Sakura yang berhasil mendapatkan ayah Sora, duda yang menjadi incaran banyak orang. Bahkan banyak dari ibu-ibu anak didiknya yang naksir pada Raska.
Di tempat lain, Raska terlihat sibuk dengan beberapa dokumen yang harus ia teliti satu persatu. Dan baru saja ia mengambil satu dokumen dari atas meja, ponselnya dalam saku jas berdering. Tanpa mengabaikan dokumen di tangan, diambilnya ponselnya melihat nomor siapa yang tertera pada layar.
‘Apa telah terjadi sesuatu?’ batin Raska melihat nama yang tertera. Tanpa berpikir panjang, ia pun segera mengangkat panggilan.