15. Hutang Lunas dengan 1 Syarat

1643 Words
“Uh!” Sora berusaha menarik ke bawa dress yang Sakura pakai tapi ia tak bisa. “Mama, Sora tidak bisa,” ucap Sora sambil mengibaskan tangan. Sakura yang berjongkok di depan Sora setengah berbalik dan memeriksa tangan Sora. Rasa bersalah pun timbul melihat tangan Sora tampak memerah. “Ya ampun, Sora, maafkan mama,” ucapnya sambil meniup tangan Sora. “Kenapa Mama tidak minta tolong sama papa?” “Ah, i- itu–” Belum selesai Sakura bicara tiba-tiba Sora berlari keluar kamar, memanggil sang papa untuk membantu Sakura membuka resleting dress yang dipakainya. “Sora, tungg!” Sakura nyaris berteriak saat memanggil Sora, mencegahnya melakukan itu. Sayangnya, ia terlambat. “Papa, tolong Mama, Pa, Mama butuh bantuan,” kata Sora setelah berhadapan dengan Raska. Tanpa menunggu Raska mengatakan sesuatu, ia menarik tangannya, menyeretnya menyusul Sakura. Sesampainya di kamar, Sakura terlihat gugup. “Mama, Sora sudah bawa Papa,” kata Sora setelah berdiri di depan Sakura. Ia lalu mendongak pada Raska dan mengatakan, “bantu mama, membuka resletingnya, Pa.” Raska mengernyit menatap Sakura. Hanya membuka resleting harus membutuhkan bantuannya? “Ayo, Pa, biar mama bisa coba baju lainnya,” pinta Sora sambil sesekali menarik tangan Raska, memintanya segera menolong Sakura. “Ma- maaf,” ucap Sakura dengan kepala tertunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu. Ia kemudian berbalik membelakangi Raska dan menyibak ke samping rambutnya yang tak terikat sempurna. Raska ingin bersikap biasa saja, tapi tangannya gemetar saat terulur ke arah punggung Sakura untuk membuka resleting. Ia sesekali teringat saat mereka sama-sama saling melihat tubuh yang hanya terbalut handuk. Tiba-tiba suara bel terdengar membuat tangan Raska yang baru saja memegang resleting menegang. Sementara, Sora segera berlari keluar kamar sambil berteriak. “Itu pasti teman-teman. Aku akan membuka pintu!” Tepat setelah Sora pergi, suasana kamar menjadi hening. Namun, keheningan itu segera lenyap saat Raska melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Tangan Sakura saling meremas di depan d**a dan merasa waktu berjalan begitu lama saat Raska menurunkan resleting dressnya. Sementara Raska memalingkan muka saat resleting Sakura terbuka dan menunjukkan punggungnya yang bersih tanpa noda dan cela, juga memperlihatkan tali branya. “Sudah,” kata Raska setelah membuka resleting sepenuhnya. Ia kemudian segera berbalik dan melangkah menuju pintu. Bibir Sakura bergetar, ia sampai tak mampu mengucapkan terima kasih sampai akhirnya Raska meninggalkannya seorang diri. Di sisi lain, Sora telah membuka pintu dan mempersilakan Dafa masuk ke dalam rumah. Dafa tak sendiri melainkan dengan ibunya, Wanda. “Sayang, di mana papa dan mamamu?” tanya Wanda sebelum melangkah masuk ke dalam rumah, melihat Sora yang membuka pintu. “Papa membantu mama membuka baju,” kata Sora dengan polosnya. Wanda tampak terkejut hingga menutup mulut. “Eh?” gumamnya. Tepat di saat itu, sebuah mobil berhenti di halaman depan, diikuti seorang anak dan ibunya yang turun dari mobil tersebut. Sementara itu, Raska telah sampai di ruang tamu. Melihat teman Sora telah datang, ia menyingkirkan pakaian-pakaian di ruang tamu dibawanya ke kamar. “Eh? Sora, apa yang papamu bawa?” tanya Wanda melihat apa yang Raska lakukan. Sora menoleh dan menjawab, “Itu semua baju-baju mama.” “Apa? Baju mamamu?” tanya Wanda yang berpikir yang tidak-tidak. Sora mengangguk. “Uum. Papa baru saja membelikan mama banyak baju,”ucapnya dengan polosnya. “Apa? Ada apa?” tanya Marisa, ibu dari teman Sora yang baru saja berdiri di belakang Wanda. Ia adalah ibu dari Putri. Wanda menoleh kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga Marisa, memberitahu apa yang ia dengar dari Sora. “Oh, ya ampun. Beruntung sekali dia,” ujar Marisa dengan suara pelan setelah Wanda menjauhkan diri. Tepat di saat itu, Sakura muncul. Ia pun menyambut tamunya dengan canggung. “Selamat sore. Maaf, membuat anda menunggu, silakan masuk,” ucap Sakura. Wanda dan Marisa saling melempar lirikan sekilas kemudian masuk ke dalam rumah dengan putra dan putri masing-masing. Tak lama, Sakura dan Raska telah duduk berhadapan dengan Wanda dan Marisa juga Diva. Beberapa sat setelah Wanda dan Marisa masuk ke dalam rumah, mobil Diva memasuki halaman. Halaman depan rumah Raska cukup luas, membuat beberapa mobil bisa terparkir. “Ini, aku bawa oleh-oleh. Kebetulan sekali suamiku baru pulang dari singapura,” ujar Wanda sambil meletakkan paper bag ke atas meja. “Ini juga, suamiku baru pulang dari luar kota, semoga anda menyukainya,” ujar Marisa yang juga meletakkan oleh-olehnya. Setelahnya,Diva pun melakukan hal serupa. “Ini hanya ada oleh-oleh kecil yang baru saja kubeli,” ujar Diva. Sakura mulai sedikit gugup, tapi dirinya berusaha bersikap setenang mungkin. “A … terima kasih. Harusnya anda semua tidak perlu repot-repot,” ujar Sakura kemudian mengambil oleh-olehnya satu persatu dan meletakkannya di sampingnya. “Anggap saja itu sebagai permintaan maafku. Anda hampir celaka di rumahku meski aku tidak tahu siapa yang harus bertanggung jawab. Tapi aku sangat senang dan lega, anda baik-baik saja,” ujar Wanda yang memasang wajah bersalah. Ia bersyukur Raska tak melibatkannya, hanya membuat perhitungan dengan Rose dan Malika. Tapi demi tetap menjalin silaturahmi yang baik, dirinya memutuskan datang berkunjung untuk meminta maaf. Ia tak mau berurusan dengan Raska mengingat siapa Raska. “Iya, kami juga minta maaf karena terlambat menolong anda waktu itu,” ujar Diva. Raska hanya diam tanpa mengalihkan perhatian dari ketiga wanita di hadapannya. Sementara anak-anak mereka bermain di ruang tengah. Ia pikir, Rose dan Malika juga datang, tapi sepertinya mereka terlalu takut berhadapan dengannya setelah perhitungan ringan yang ia lakukan kemarin. Tiba-tiba Raska bangkit dari duduknya. Dirinya merasa tak pantas berada di antara beberapa wanita. Lebih baik ia mengawasi dari tempat lain, melihat sikap sebenarnya dari ketiga wanita itu jika dirinya tidak ada. Wanda, Marisa dan Diva saling melempar lirikan sekilas saat Raska pergi tanpa mengucap sepatah kata. “Sepertinya … ayah Sora masih marah, ya,” celetuk Wanda setelah Raska tak lagi terlihat. Sakura yang masih mengarah pandangan ke arah Raska pergi, mengalihkan pandangannya pada Wanda dan mengatakan, “A … itu … tidak. Sepertinya, beliau ada kesibukan.” “Eh? Beliau? Anda formal sekali, ya, padahal beliau adalah suami sendiri,” timpal Marisa. Sakura terdiam,mulutnya terkatup rapat. Padahal Raska sudah memintanya bersikap seperti seorang istri baik di depan Sora atau orang lain. “A … itu–” Sakura berusaha menemukan jawaban yang tepat. Tapi belum dapat ia menemukannya, suara Diva lebih dulu mengudara. “Mungkin karena masih pengantin baru, ya, jadi masih canggung. Aku dulu juga saat baru menikah masih sangat canggung apalagi, suamiku dulu adalah bosku.” Wanda dan Marisa seketika menoleh pada Diva yang duduk di ujung sofa, satu sofa dengan yang mereka duduki. “Sungguh?” tanya Wanda. Diva mengangguk. “Iya.” Entah bagaimana, obrolan pun terjadi antara keempatnya meski Sakura tidak terlalu aktif bicara seperti ketiganya. Ia lebih sering mendengarkan dan menjawab jika ditanya akan satu hal. “Oh, ya, boleh aku minta nomor ponselmu, mamanya Sora?” tanya Wanda sambil mengeluarkan ponselnya. “Ah, iya benar,” ucap Marisa yang melakukan hal serupa, bersiap mencatat nomor Sakura. Sakura cukup terkejut. Ia sedikit ragu, tapi jika ia tidak memberitahu mereka, mungkin dirinya akan dicap sombong. Ingin beralasan bahwa ia tak punya ponsel pun semakin tak masuk akal. Dan jika mengatakan ia lupa nomornya, ia sedang mengantongi ponselnya sekarang, membuatnya tak punya alasan. Merasa tak bisa mengelak, pada akhirnya ia memberikan nomor ponselnya. “Wah, terima kasih. Dengan begini kita bisa lebih mudah berkomunikasi,” ucap Wanda setelah menyimpan nomor Sakura. Di tempat Sora, dirinya tengah bermain dengan Dafa dan Putri. Memainkan lego. “Oh, ya, Sora. Kenapa aku tidak melihat foto mama dan papamu?” tanya Dafa sambil merangkai lego. Meski ia tampak sibuk sekarang, sebelumnya ia memperhatikan setiap sudut rumah Sora yang ia lewati dan tak melihat foto orang tua Sora satupun. “Mungkin belum jadi. Foto papa dan mama saat menikah kemarin, kan?” tanya Sora yang juga sibuk dengan permainannya. Ia tengah membagun gedung tinggi dari koleksi legonya. “Kalau mama kandung Sora?” sahut Putri. “Mama Sora yang sekarang, bukan mama kandung, kan?” Sora menghentikan kegiatannya sejenak dan menatap Putri. Namun, ia kembali melanjutkan kegiatannya membangun gedung dan menjawab, “Tidak tahu. Tapi hanya ada fotoku dan papa sejak dulu.” “Ehm.” Suara deheman membuat ketiga anak itu menoleh dan menemukan Raska berjalan ke arah mereka. “Main apa?” tanya Raska setelah setengah berlutut di samping Sora dan bangunannya. Ia lalu melirik Dafa dan Putri dengan tatapan dingin yang membuat keduanya merasa takut. Sora menoleh. “Papa, kenapa tidak ada foto mama?” Raska terkejut, baru saja menyusul Sora, dirinya sudah mendapat pertanyaan seperti itu. Seketika perhatiannya pun mengarah pada dua bocah yang takut padanya, menuduh pertanyaan Sora barusan ada hubungannya dengan mereka. Singkat waktu, hari telah malam. Sakura baru saja menidurkan Sora setelah sebelumnya mencuci banyak piring di dapur bekas kudapan yang ia sajikan tadi sore pada teman-teman Sora juga ibu mereka. Ia kemudian pergi ke kamarnya. Di sana, Raska masih terjaga dan terlihat memainkan ponselnya. Sakura berjalan ke tengah ruangan hingga berdiri di depan Raska yang duduk di sofa di sisi ruangan. Saat hanya berdua seperti ini adalah saat yang tepat bicara dengan sang Tuan. “Tuan, saya … ingin anda mencatat seluruh hutang saya termasuk baju-baju yang anda berikan tadi siang.” Perhatian Raska pada ponselnya teralihkan sejenak. Pandangannya kini lurus ke depan pada Sakura yang berdiri dua langkah di depannya. “Saya sangat berterima kasih, tapi jujur saja saya tidak ingin hutang saya semakin banyak pada anda.” Tiba-tiba Raska bangkit dari duduknya, mengambil langkah hingga berdiri tepat di hadapan Sakura di mana pandangannya mengarah lurus pada netra Sakura yang seperti tak berani menatapnya. Tangannya lalu terulur memegang dagu Sakura dan mengatakan, “Kau tak perlu membayar hutang-hutangmu, tapi dengan satu syarat.” Sakura memberanikan diri menatap Raska dan saat Raska mendekatkan wajahnya lalu berbisik di telinga, mengatakan syarat apa yang harus ia lakukan, dirinya hanya bisa melebarkan mata. “Kau bisa membayarnya dengan tubuhmu. Lakukan tugas pertama sebagai seorang istri.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD