"Saya terima nikah dan kawinnya Gema Anindiya binti Burhan Wijaya dengan mas kawin tersebut tunai." Abhi melafalkan dengan lancar. Hatinya deg-degan bukan kepalang. Namun, ia berusaha menetralkan kegugupan yang merajai hatinya.
"Sah..."
"Sah."
Alhamdulillah...
Abhi merasa kelegaan luar biasa. Kelegaan yang juga dirasakan oleh keluarga besarnya dan keluarga Gema. Atmosfer yang sebelumnya terasa tegang kini perlahan mencair menjadi kebahagiaan. Semua orang ikut merasakan momen sakral nan romantis dua sejoli yang akan membuka lembaran baru dan menjalani susah senang bersama.
Abhi melirik Gema yang tertunduk. Ini pertama kalinya melihat perempuan itu tampak berbeda dengan full make up dan gaun kebaya putih yang elegan dipadu rok batik yang dihiasi renda di ujungnya. Khusus di prosesi pernikahan ini, Gema mengenakan hijab karena rambutnya yang super pendek menyulitkan MUA untuk menyanggulnya. Gema pun lebih nyaman dengan riasan yang praktis, sehingga ia memilih mengenakan hijab.
Harus Abhi akui, Gema terlihat begitu cantik membuat orang-orang yang menatapnya terkesima karena benar-benar membuat pangling. Gadis itu pun tampak tenang, tak pecicilan atau nyerocos seperti biasanya. Tak juga banyak protes meski kebaya dan sepatu high heels begitu menyiksanya dan membuatnya tak nyaman.
Tak ada kata atau sekadar lirikan mata. Gema masih pada pendiriannya yang menganggap pernikahan ini hanya untuk menuruti permintaan orang tuanya. Sama sekali tak ada cinta. Berbeda dengan Abhi yang meski belum tumbuh cinta, tapi dia memiliki itikad untuk menjadikan pernikahan ini benar-benar sebagai bentuk ibadah dan penyempurna separuh agama.
*
Seharian menjalani acara pernikahan membuat Abhi dan Gema kelelahan. Orang tua Gema cukup memahami putri dan menantunya membutuhkan waktu berkualitas untuk beristirahat. Di malam pernikahan, kedua mempelai diberi kejutan untuk bermalam di salah satu hotel yang tak begitu jauh dari rumah Gema.
Baik Abhi maupun Gema tak merasa antusias, tapi demi menyenangkan orang tua, mereka pun menurut untuk bermalam di hotel.
Setiba di kamar hotel, keduanya masih asing satu sama lain. Abhi hanya bisa terpaku menatap Gema yang berjalan mondar-mandir dengan piyama bergambar Doraemon. Ia ingat waktu menemani ibunya berbelanja seserahan, Abhi membeli gaun tidur yang cukup seksi karena berbahan tipis dan transparan. Namun, malam ini Gema memilih setelan piyama laki-laki. Ia bahkan bertanya berulang-ulang di dasar hatinya, apa benar sosok yang gelisah di hadapannya benar-benar sudah sah menjadi istrinya? Istri tomboy yang bahkan tak mau mengenakan baju perempuan.
Gema terlihat cemas dan gelisah. Ia tak ingin tidur satu ranjang dengan Abhi, di hotel pula. Abhi yang tengah duduk bersila di ranjang pun tak tahan membuka percakapan.
"Kamu kenapa mondar-mandir terus? Coba duduk sini." Abhi menepuk kasur. Ia masih bisa bicara tenang meski ia tahu, Gema mungkin masih sulit menerima kenyataan bahwa mereka sudah sah menjadi suami istri.
"Aku kesal karena Papi memesan kamar yang cuma ada satu ranjang, nggak ada sofa, atau apa pun biar aku nggak tidur satu ranjang sama kamu." Gema bertolak pinggang. Jika tengah ketus begini, aura "perempuan" di dirinya perlahan terlihat. Tidak ada makhluk yang ngambekan dan suka ngeluh selain perempuan.
"Akan lebih aneh lagi kalau papimu memesan kamar dengan dua ranjang. Di mana-mana yang namanya pengantin itu tidur satu ranjang." Nada bicara Abhi tetap terdengar tenang.
"Aku nggak mau disentuh dan nggak mau...." Suara Gema menggantung di ujung, tanpa penyelesaian.
"Nggak mau apa?" tanya Abhi datar.
"I don't want to have s*x with you tonight," balas Gema cepat.
"Tonight? Just tonight? What about tomorrow, the day after tomorrow, next week, next month?" Abhi bertanya balik.
"Nggak! Pokoknya no s*x selama pernikahan!" tegas Gema.
Abhi melongo. Kesepakatan macam apa itu? Apa artinya nikah kalau ujung-ujungnya tetap tidur pelukan sama guling.
"Yakin? Kalau tiba-tiba khilaf gimana?" ledek Abhi dengan senyum yang sebenarnya bisa membuat siapa pun meleleh.
"Nggak ada khilaf-khilafan!" tukas Gema cepat. Gadis itu melirik ke arah bantal dan guling yang menumpuk di ranjang.
Gema segera naik ke ranjang dan membuat Abhi terperanjat. Ia mencengkeram kerah piyama suaminya. Abhi mendelik kaget.
"Mau apa, Gem? Katanya tadi no s*x. Kok kamu tiba-tiba nggak sabaran. Sabar, Gem, saya bisa buka baju sendiri." Abhi menatap wajah Gema dari dekat sementara jari-jari Gema masih mencengkeram kerah piyama Abhi. Keduanya saling menatap untuk sesaat dan barulah Abhi menyadari jika wajah istrinya ada manis-manisnya sedikit, tidak sepenuhnya manly.
Gema merasakan sedikit getaran. Harus dia akui, he's incredibly hot and handsome. Namun, ia tak akan memberi celah. Gema menarik kerah piyama Abhi kasar. "Geser ke samping, dekat ke pinggir."
Abhi salah sangka, rupanya Sang Istri hanya ingin posisinya bergeser. Ia berpikir, jangan-jangan Gema terbiasa berkelahi. Gayanya seperti preman yang mau adu jotos.
Setelah Abhi bergeser, Gema duduk di sebelah pria yang sudah resmi menjadi suaminya. Ia mengambil guling dan meletakkannya di antara dirinya dan Abhi.
"Ini batas teritorial wilayah tidur kita. Jangan sampai kita menyentuh wilayah masing-masing." Gema menatap Abhi lekat dengan ekspresi judesnya.
Abhi tersenyum miring. Ia seperti tengah bermain perang-perangan di mana masing-masing pihak memiliki daerah teritorial tersendiri dan dibatasi benteng yang menjulang tinggi.
"Selain itu, aku ingin kita membuat kesepakatan." Netra Gema tepat menancap di kedua mata Abhi.
"Oh, masih ada kesepakatan toh? Kesepakatan apa?" Abhi mengulas senyum manis seraya menatap Gema, bukan dengan tatapan datar, tapi tatapan yang lebih lembut.
Gema sedikit terpesona dengan senyum manis Abhi, tapi ia fokuskan kembali pikirannya pada kesepakatan yang sudah ia pikiran sebelum resmi menikah.
"Kesepakatan pertama, no s*x. Kalau nanti kita pindah ke rumah pribadi kita yang sudah disiapkan papiku, kita akan tidur terpisah."
Kedua alis Abhi terangkat. "Terpisah? Kayak kita sekarang yang dipisahkan oleh seonggok guling?" Abhi mengangkat ujung guling itu. Guling sialan, ucap Abhi dalam batinnya.
"Bukan hanya dipisahkan oleh seonggok guling Bapak Abhi Pasha Ramadhan, tapi juga terpisahkan oleh tembok dan pintu, alias pisah kamar! Kita tidur di kamar terpisah." Gema menegaskan kata-katanya. Kedua tangannya bersedekap.
"Okay, tapi masih ada hal yang harus dijelaskan detail." Abhi menatap istrinya dengan raut wajah yang tak terbaca, tapi tatapan itu seakan menusuk.
Gema sedikit berdebar ditatap sedemikian intens, tapi ia berusaha mengontrol diri. Ia tak mau jatuh pada pesona Abhi, setidaknya untuk saat ini.
"Apa yang harus dijelaskan detail? Ini baru kesepakatan pertama, masih ada kesepakatan lain," balas Gema.
"Kamu bilang selama menikah, tidak ada s*x. What about other physical contact?" Abhi menatap Gema tajam, tatapan yang benar-benar menghanyutkan.
"What do you mean? Kontak fisik seperti apa yang kamu maksud?"
Abhi menghela napas sejenak. "Misal pelukan? Ehm... Pegangan tangan? Terus... Ehm... Ciuman?"
"Nggak... nggak... nggak! Itu juga nggak boleh. Jadi kesepakatannya ditambahkan, tidak ada s*x dan tidak ada kontak fisik." Gema kembali menegaskan kata-katanya yang artinya ia ingin Abhi menyetujuinya.
Lagi-lagi Abhi tersenyum miring. Ia pun menyesal telah menanyakan hal itu. Seharusnya ia diam saja, jadi semisal suatu saat ada kontak fisik antar mereka atau dirinya khilaf mencium Gema, tak akan ada pelanggaran karena tidak disebutkan dalam kesepakatan.
"Kesepakatan kedua, kita berhak menjalani hidup sesuai yang kita mau. Kamu nggak berhak mencampuri urusanku apalagi melarang-larang aku untuk beraktivitas seperti yang biasa aku lakukan sebelum menikah. Aku pun akan melakukan hal yang sama. Aku nggak akan mencampuri urusanmu. Dan jangan saling mengatur!" Gema kembali bersedekap, menatap Abhi penuh intimidasi. Aura dominannya kuat sekali.
Abhi berpikir sejenak. Ia tak mau menurut begitu saja. "Tunggu, kesepakatan itu harus dibuat dan disepakati oleh dua pihak, bukan?"
"Ya," jawab Gema singkat.
"Aku ingin kamu revisi kesepakatannya. Okay, saya nggak akan melarangmu beraktivitas sesuai kemauanmu, tapi ada persyaratan. Selama kegiatan itu positif dan bermanfaat, saya akan izinkan. Tapi jika aktivitas itu banyak mudharatnya dan negatif, saya nggak akan izinkan." Abhi menekankan kata-katanya.
Gema tergugu. Aktivitas yang ia sukai mungkin tidak disukai Abhi. Dan ia tak mau semua itu terenggut hanya karena menikah.
"Kalau kayak gini sama saja aku kehilangan hak untuk melakukan apa yang aku suka. Aku suka balap, naik gunung, main bola, dan sesekali dugem. Apa kamu akan melarang juga?"
"Naik gunung dan main bola silakan. Tapi balap dan dugem, saya nggak ngizinin."
"Nggak bisa gitu."
Abhi menyeringai. "Kesepakatan harus disepakati kedua pihak, Gema. Jangan egois! Kalau kamu bersikukuh sama kesepakatan poin kedua ini, maka saya ingin kamu ubah kesepakatan pertama." Abhi berbicara tegas. Ia tak mau diatur Gema.
"Diubah gimana?" Gema memicingkan matanya.
"It's okay nggak ada s*x selama nikah, tapi kontak fisik... Tidak ada larangan!" Abhi menyeringai. Ia yakin Gema tak akan mau menukarnya.
"Nggak bisa gitu. Kesepakatan pertama adalah harga mati yang nggak bisa diubah. Untuk kesepakatan kedua, okay aku ikuti kemauanmu." Wajah Gema terlihat cemberut, ciri khasnya jika ada yang tidak bisa ia terima.
Abhi tersenyum penuh arti. Gema tak suka melihat cara Abhi merayakan kemenangan.
"Apa masih ada kesepakatan lainnya?" tanya Abhi.
Gema menghela napas. "Ada, kesepakatan ketiga. Meski tidak ada cinta dalam pernikahan ini, tapi kita harus menjaga sikap. Tidak ada perselingkuhan. Dan di depan publik kita akan bersikap sebagaimana suami istri sungguhan."
Abhi mengangguk. "Okay, masuk akal. Saya setuju."
"Lalu kesepakatan keempat, kita akan bersama-sama bertanggung jawab mengurus rumah, melakukan pekerjaan rumah tangga, dan menjaga kebersihan rumah," lanjut Gema.
Abhi mengangguk lagi. "Baik."
"Sementara itu dulu. Kalau nanti masih ada kesepakatan yang perlu ditambahkan, maka boleh menambahkan." Gema tersenyum lega. Ia menatap Abhi yang tak merespons apa pun.
"Aku udah ngantuk. Aku mau tidur." Gema merebahkan badannya dan berbaring miring, memunggungi Sang Suami.
Abhi melirik punggung Sang Istri yang tertutup piyama Doraemon lalu beralih pada "guling sialan" yang membatasi dirinya dan Gema. Abhi mengembus frustrasi. Di malam pertama pernikahan, ia masih saja tidur sendiri karena istrinya hanya sebagai "pajangan" yang tidak boleh disentuh.