Duniamu adalah Duniaku

1621 Words
Gelak tawa Gema mendominasi penglihatan Abhi. Baru kali ini Abhi melihat gadis itu tertawa. Ternyata Gema bisa tertawa, pikirnya. Ketika mereka bertemu, gadis itu lebih banyak cemberut dan jutek. Ingin Abhi mendekat dan bertanya, kenapa Gema tak berdiam diri di rumah saja sembari menunggu pernikahannya tiba. Toh, Gema belum bekerja. Namun, ia tahan langkahnya. Bagaimana jika gadis itu merasa risih dan terganggu dengan kedatangannya? Diamatinya penampilan teman-teman Gema dengan begitu saksama. Lima laki-laki dan dua perempuan. Temannya ada yang bertato di lengan dan pergelangan tangan, ada yang mengepulkan asap rokok, ada pula yang berpakaian ala punk. Teman perempuan Gema juga bertato dan mengenakan celana pendek di atas lutut. Penampilan Gema masih normal, seperti yang ia lihat ketika mereka bertemu di coffee shop. Ia mengenakan kaus putih, jaket warna army, celana jeans yang di bagian pahanya ada beberapa spot seperti cakaran kucing. Abhi bertanya-tanya, beginikah pergaulan Gema? Ia tahu cara berpakaian atau penampilan seseorang tak cukup mendeskripsikan karakter seseorang. Bukan satu-satunya tolok ukur untuk menilai seseorang. Namun, semua itu memberi gambaran bahwa Gema memang anak gaul yang suka nongkrong dan bebas. Di saat yang sama salah seorang teman Gema menyikut lengan Gema. Ketika gadis itu menoleh ke arahnya, teman Gema menunjuk Abhi dengan jarinya. Gema pun membulatkan mata tatkala menyadari Abhi berdiri agak jauh dan mengawasinya. "Gem, itu calon suamimu bukan? Persis kayak foto cowok yang kamu kasih kemarin." Freya, teman Gema memerhatikan sosok Abhi lekat-lekat. "Iya, ngapain ya dia ke sini?" Kata-kata Gema terdengar seperti gerutuan. "Jangan-jangan dia sengaja ngikutin kamu?" Freya berbisik lirih. Abhi memberanikan diri mendekat ke arah Gema. Raut wajah Gema terlihat datar, cenderung kesal. "Gema..." Abhi memanggil gadis itu tenang meski jauh di dasar hati ia merasa sungkan. Semua teman Gema menatap sosok pria berseragam guru itu. Tatapan yang menyelidik seolah bertanya, untuk apa guru muda itu mengikuti Gema? "Kamu ngapain di sini?" Gema mengernyitkan alis. Kesan jutek yang merajai mimik wajahnya membuat Abhi sedikit beringsut. "Saya mau ke toko kue, terus lihat kamu di sini. Kamu mau ke mana?" Abhi memerhatikan teman-teman Gema yang menatapnya penuh selidik. "Seperti yang kamu lihat, nongkrong sama teman-teman," balas Gema tanpa ekspresi berarti. "Gem, kamu nggak mau ngenalin Pak Guru ke kita-kita?" Ray, pentolan geng menatap Abhi dengan satu senyum tipis. Gema sebenarnya kurang berminat mengenalkan Abhi pada teman-temannya. Namun, sebagai bentuk menghargai Abhi yang akan menjadi suaminya, Gema pun mengenalkan calon suaminya. "Dia Abhi, calon suami ... Calon suami pilihan ortu.". Abhi tersentak mendengarnya. Gema menambahkah embel-embel "calon suami pilihan ortu" seolah menunjukkan jika gadis itu belum menerimanya sepenuhnya sebagai calon suami. Abhi tersenyum tipis dan menyalami satu per satu teman laki-laki Gema. Di hadapan teman perempuan Gema, Abhi cukup menangkup kedua telapak tangannya di depan d**a. "Akhirnya kamu laku juga ya, Gem. Malah nikah paling cepet. Sempat khawatir kalau kamu nggak suka cowok." Danar berseloroh disusul gelak tawa dari yang lain. "Ngajar di mana, Mas?" tanya Yusuf, teman Gema yang dipanggil Ucup dan paling jenaka di antara yang lain. "Di SMA Pahlawan, Mas," balas Abhi sopan. Tiba-tiba satu motor berhenti di depan mereka. Satu pria membuka helm dan menatap teman-temannya. "Yuk, berangkat sekarang." Gema dan teman-temannya bersiap mengenakan helm dan mendekat ke motor masing-masing yang diparkir di depan ruko kosong, bersebelahan dengan toko kue. Sebelum Gema sampai pada motornya, Abhi memanggil namanya. "Gem..." Gema menghentikan langkah dan menatap pemuda yang mematung di hadapannya. "Kamu mau ke mana?" Gema agak ragu menjawab. Ia pikir Abhi tak perlu tahu ke mana ia pergi. "Ke lintas balap," jawab Gema datar. Abhi sedikit kaget. Ia tahu balap liar adalah dunia Gema, jauh sebelum mereka dijodohkan. Namun, kali ini Abhi merasa perlu untuk mencegah gadis itu ikut balapan. Bulan depan mereka akan menikah dan Abhi ingin Gema tidak melakukan aktivitas yang membahayakan nyawanya. Tak hanya itu, ia takut jika pihak berwajib mengetahui balap liar itu dan menangkap mereka. Akan sangat lucu jika ada berita berseliweran tentang calon istri salah satu guru di SMA Pahlawan tertangkap saat mengikuti balap liar. "Gem, lebih baik kamu pulang saja. Balap liar itu ilegal dan sangat berbahaya. Orang tuamu juga pasti tidak mengizinkan." Sebelah sudut bibir Gema terangkat. Bisa-bisanya Abhi mengatur hidupnya. "Kamu baru jadi calon aja udah berani ngatur hidupku, ya. Gimana nanti kalau jadi suami." Abhi beristighfar. Abhi pun berpikir, gimana nanti kalau Gema resmi jadi istrinya. Kemungkinan gadis itu akan sulit diatur dan diarahkan. "Anggap aja sekarang kita sedang latihan mendalami peran sebagai suami istri. Karena setelah menikah, saya mungkin akan banyak mengatur atau mengarahkan kamu jika kamu melakukan sesuatu yang lebih banyak mudharatnya." Abhi bicara pelan tapi penuh penekanan di setiap kata yang ia lontarkan. "Kalau aku nggak mau gimana?" Gema bersedekap seakan menguji kesabaran Abhi. "Kalau begitu ajak saya ke arena balap liar. Saya akan bilang ke panitia balap atau siapa pun itu yang punya wewenang, kalau kamu mengundurkan diri dan saya sebagai calon suami keberatan jika kamu ikut balapan." Gema menyeringai. Dia tak akan menurut begitu saja. Sementara itu, suara klakson terdengar bersahut-sahutan. "Gema, ayo cepat berangkat!" Freya yang dibonceng oleh Ray mengeraskan suaranya. Gema melemparkan pandangan ke arah teman-temannya. "Kalian duluan aja, nanti aku nyusul." Satu per satu teman Gema melaju meninggalkan area, menyisakan Gema dan Abhi yang saling berhadapan dan berdebat. "Pak Guru bukannya mau mampir toko? Silakan ke toko dan aku akan tetap pergi ke lintasan balap. Bapak nggak usah ngikutin aku." Gema hendak berbalik, tapi Abhi buru-buru mencengkeram pergelangan tangan Gema. Gema terperanjat. Matanya tertambat pada tangan Abhi yang melingkar di pergelangan tangannya. Tak menyentuh kulit langsung, tapi menyentuk kain jaket. "Eits, kamu megang-megang tanganku. Bukan mahram lho Pak Guru." Abhi refleks melepas genggamannya. Ia beristighfar dalam hati. Dering ponsel sedikit mencairkan atmosfer yang terasa menegang. Abhi mengambil ponsel dari dalam saku celananya. Dibukanya layar ponsel. Nama "Pak Burhan" terpampang di layar. "Papi kamu menelepon." Tatapan Abhi terasa begitu menusuk seakan meledek Gema jika saat ini ia memegang kartu AS gadis itu dan peringatan halus jika dirinya tidak bisa macam-macam. Gema mendelik. Ia bertanya-tanya kenapa papinya menelepon Abhi. Ia pun baru ingat, ia sengaja mematikan ponselnya agar orang tuanya tidak sibuk mencarinya. Ia berbohong pada orang tuanya jika ia hendak pergi ke supermarket membeli produk skincare agar dirinya terlihat glowing saat pernikahan nanti. Abhi sengaja menyalakan speaker agar Gema bisa mendengarnya. "Assalamu'alaikum, Nak Abhi." "Wa'alaikumussalam, ada apa, Pak?" "Nak Abhi, tahu nggak di mana Gema? Saya telepon nggak nyambung-nyambung. Tadi pamitan mau ke supermarket, tapi ditelepon kok nggak nyambung, apa hape-nya dimatikan, ya?" Abhi tersenyum penuh arti. Ia melirik Gema yang cemberut. Kemenangan ada di depan mata pria itu. Gema tak akan bisa berkutik. "Gema ada sama saya, Pak." "Oalah, benar dugaan saya. Harusnya jangan ketemu dulu." "Nggih, Pak, mohon maaf. Kangen soalnya jadi janjian ketemu." Gema membulatkan matanya. Ia memelototi Abhi dengan seribu kekesalan. Terdengar tawa dari ujung telepon. "Ya, sudah. Jangan lama-lama ya. Begitu selesai urusan kalian, segera pulang." "Baik, Pak." "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Abhi tersenyum lagi. Gema tak lagi bisa berkelit. "Sekarang kamu temani saya milih kue di toko. Saya belikan juga buat orang tua kamu. Setelah itu saya akan nganter kamu sampai ke rumah." Dahi Gema berkerut. "Kamu nggak perlu nganter aku. Aku bawa motor sendiri." "Saya akan tetap mengantar kamu, mengawal kamu dari belakang. Saya takut kamu nanti tiba-tiba melipir nyusul teman-teman kamu." Gema menghentakkan kakinya pertanda ia begitu kesal. Kenapa ia harus bertemu Abhi di sini. Dia sudah sangat antusias mengikuti balapan dan dia sudah mempersiapkannya dengan sangat baik. Abhi mengacaukan segalanya. Abhi hendak melangkah memasuki toko, tapi Gema masih mematung dan tak mau mengikutinya. Diliriknya gadis yang sedang menekuk wajahnya, bibirnya mengerucut persis seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan es krim. "Ayo, masuk," ucap Abhi. "Apa yang menjadi duniaku tidak semudah itu untuk kamu jungkir balikkan Abhi!" Volume suara Gema meninggi. Kekesalannya sudah berada di titik puncak. Abhi tak bersuara, memikirkan kata yang tepat untuk merespons. "Setelah kita menikah, duniamu akan menjadi duniaku. Dan duniaku juga menjadi duniamu. Ada kewajiban yang harus aku lakukan sebagai suamimu, begitu juga denganmu, ada kewajiban yang harus kamu lakukan sebagai seorang istri." "Sekarang kita belum resmi menikah. Apa kamu tidak bisa membiarkan aku ikut balap atau apa pun yang menjadi duniaku sekali saja? Aku tahu setelah menikah mungkin aku nggak bisa sebebas saat masih gadis, karena itu satu bulan ini aku ingin muas-muasin waktuku untuk melakukan apa yang aku suka." Gema membalas panjang lebar. Ia merasa tak ada yang bisa mengerti dirinya. Entah itu orang tuanya, bahkan calon suaminya sekalipun. Abhi membasahi bibirnya. Melihat wajah sedih Gema dan matanya berkaca menerbitkan rasa 'tak tega" di hati Abhi. Namun, pria itu merasa punya tanggung jawab lebih untuk menjaga Gema. "Okay, begini saja. Sekarang saya tanya, kegiatan apa saja yang ingin kamu lakukan selama satu bulan ini?" Gema menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. "Aya jawab, Gema!" Gema menghela napas. "Balapan, dugem, naik gunung...." "Okay, kalau dalam sebulan ini kamu mau melakukan itu semua, saya ajukan syarat, saya harus menemani." Gema membelalakan matanya. "Are you sure? Balapan? Dugem?" "Why not?" balas Abhi singkat. "Nanti kalau sekolah tahu bisa jadi bumerang buat kamu." "Ya, paling-paling kalau ketahuan akan ada berita gini, "Guru SMA kepergok dugem sama calon istrinya, putri dari pengusaha furnitur. Atau Guru SMA ditangkap karena mengikuti balap liar bersama calon istrinya yang merupakan alumni dari universitas bonafit", setelah itu semua orang pun akan tahu, termasuk teman kuliahmu, guru dan dosen-dosenmu... Lalu orang tua kamu kena dampaknya. Mereka malu dan mungkin berdampak pada usahanya...." "Udah udah.... Bawel banget kamu. Lupakan saja." Gema senewen dibuatnya. Ia merasa Abhi punya banyak senjata untuk melumpuhkannya. Gema melangkah ke dalam toko, melewati Abhi tanpa kata. Gema berpikir untuk membuat kesepakatan pernikahan dengan Abhi agar hak-haknya tidak terampas dan dia tetap bisa menjadi diri sendiri. Abhi tersenyum merayakan kemenangan. Ia pastikan dunia Gema akan berubah lebih baik setelah menikah, begitu juga dengan dunianya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD