"Kau dan mama dimana, El? Apakah kau dan mama sudah selesai belanja?"
Kaiden melakukan percakapan melalui ponsel yang tersambung piranti bluetooth mobil karena ia sedang mengemudi.
"Hampir, Kai. Tapi Tante Gina masih ingin melihat-lihat tempat lain katanya. Mungkin sekitar setengah jam lagi. Bagaimana?"
"Baiklah. Kabari saja aku."
"Pasti, Kai."
"Terima kasih kau telah menjaga mama, El. Kau memang yang terbaik."
"Ah, itu bukan apa-apa."
"Baiklah kalau begitu, selamat bersenang-senang kembali."
"Pasti. See you, Kai."
"See you, El."
Panggilan dengan Elora pun berakhir. Kaiden rupanya datang lebih cepat untuk menjemput sang mama yang sedang berbelanja ditemani oleh Elora.
Ah, itu tandanya aku terlalu cepat setengah jam menjemput mereka, Kaiden membatin pasrah seraya memanyunkan belah ranum tipisnya. Sembari menunggu, pria yang sebenarnya sudah berada di sekitar area supermarket itu pun berinisiatif untuk melipir ke sebuah kedai kopi dekat sana.
Namun, selang tak berapa lama netranya malah menangkap sebuah pemandangan yang cukup mengalihkan atensi. Terlihat sepasang pria dan wanita sedang berdebat di sebuah halte bus.
"Bukankah itu ... Nona Jena?" Kaiden menyipitkan kedua netra, memusatkan pandangan pada sosok familiar yang tangannya terlihat dipegang paksa oleh sosok si pria.
Woah, pria itu sepertinya memaksa Jena. Ini tidak beres.
Entah mengapa hati Kaiden mendadak bergejolak, tak suka akan Sikap sosok pria yang menggapai tangan Jena secara paksa. Ia pun menambah kecepatan laju kendaraan untuk melakukan putar balik menuju halte di seberang.
Agar tak mencurigakan, sesampainya di tujuan Kaiden berinisiatif pura-pura sebagai supir taksi online yang dipesan Jena. Meskipun hal itu terkesan konyol dan tidak masuk akal, Kaiden tetap melakukannya. Tak ada supir taksi online yang memakai setelah jas kerja rapi bak executive muda serta mengendarai mobil mewah berwarna merah mentereng.
Namun, anehnya. Kaiden seolah tak peduli dan tetap nekat. Pria yang dikenal berperangai acuh dan ketus malah terkesan sangat peduli, rela bersandiwara untuk pertama kalinya hanya demi wanita yang baru saja ia kenal.
Beruntung, Jena mengikuti permainan Kaiden sehingga tak ada Keributan yang timbul di area sekitar. Setelah berhasil lepas dari jeratan Alex, Jena malah harus terjebak di dalam satu mobil bersama atasan barunya.
"Waktu adalah uang. Apa itu sloganmu, Pak Kaiden sang billionaire?" cetus Jena setengah meledek, memecah keheningan di dalam mobil yang Kaiden kendarai.
"Itu slogan masal, Nona Anderson. Kau bisa menemukannya di artikel dunia maya," balas Kaiden yang pandangannya tak beralih dari fokus menyetir.
"Omong-omong, terima kasih. Tapi lain kali, jika kau melihatku di jalan seperti tadi, tolong abaikan saja. Aku bisa meng-handle-nya," pinta Jena terkesan tak tahu terima kasih padahal sebenarnya tak ingin dikasihani.
Begitu besar egonya untuk memperdebatkan aksi Kaiden tadi. Akan tetapi, semua hal yang terjadi hari ini membuat tenaganya terkuras. Terlebih, insiden di supermarket dan pertemuannya dengan sang mantan mengakibatkan perutnya mengalami sedikit kontraksi akibat stres. Beruntung, rasa sakit itu kini mereda.
"Hmm. Kau sepertinya sudah salah paham. Aku melakukan ini semua hanya sebagai rasa kemanusiaan bukan personal," kilah Kaiden mengklarifikasi.
Tak lama setelah ucapan sang CEO, mobil terhenti di tepi jalan.
"Turunlah!"
Jena sontak tertohok seraya melihat ke arah Kaiden. Pria itu tiba-tiba menghentikan mobil dan menyuruh sang puan turun.
"Kau lihat! Kau tetap orang asing bagiku. Jadi jangan terlalu berusaha untuk akrab. Silahkan turun!" Kaiden memutar bola malas setelah mengeluarkan ucapan ketus.
Tak ingin kalah, Jena turut memutar bola mata imbas kekesalan karena diturunkan secara dadakan.
"Jangan lupa siapkan kekuatan untuk hari senin," ledek Kaiden kepada Jena yang baru saja turun dengan mood uring-uringan. Mobil mewah itu pun kembali melaju tanpa permisi.
Ugh, kupikir dia tulus. Dasar pria! Semuanya sama-sama menyebalkan, Jena berdecak kesal sembari merutuk dalam hati. Ia pikir Kaiden benar-benar berniat menolongnya.
"Tapi, tunggu! Bukankah ini jalanku menunju rumah Karina?"
Setelah merutuki sang bos, Jena malah merasa tak enak hati. Pasalnya, Kaiden menurunkan sang puan di tepi jalan tak jauh dari alamat rumah Karina. Itu artinya, Kaiden mengetahui dimana Jena tinggal.
Apa ini? Mengapa aku merasa bersalah padahal dia mengantarku sampai ke area rumah Karina.
Dalam perjalanan, wanita hamil itu tak hentinya menerka dalam hati perihal sikap calon bos barunya senin nanti. Kesan angkuh dan acuh memang melekat pada Kaiden sejak pertama kali Jena bertemu dengannya. Namun, di sisi lain Kaiden terkesan memilik pribadi yang sangat peduli. Benarkah hanya sebuah rasa peduli?
KRUKKKK!
Saat sedang asyik menerka, mendadak perut rata Jena mengeluarkan bunyi khas organ dalam yang menandakan rasa lapar.
"Hehe. Kau pasti lapar ya, Nak. Ayo kita pulang dan belajar masak." Jena bermonolog antusias dengan janin yang ada di dalam perutnya. Dalam sekejap, ia langsung melupakan kejadian dengan Kaiden barusan.
***
"Maaf aku telat, Ma." Kaiden memeluk kilat sang mama yang sudah menunggu di atas kursi rodanya tepat di lobby depan supermarket bersama dengan Elora. Guna lantas memeluk balik putranya seraya mengulas seyum merekah.
"Kau kemana, Kai? Aku meneleponmu beberapa kali sedari tadi," cicit Elora penasaran. Sang pria terlambat lima belas menit dari waktu penjemputan yang dijanjikan sebelumnya.
"Ah, itu. Ibu kota memang selalu padat di jam makan siang, bukan?"
"Bukankah kau bilang sudah berada di sekitar sini?" timpal Elora tak puas dengan jawaban Kaiden. Dia merasa pria berusia lebih muda satu tahun darinya itu tak seperti biasa, tidak tepat waktu.
"Ayo, Ma."
Tak terlalu menghiraukan cicitan Elora, Kaiden memilih bergegas mengangkat tubuh Gina dari kursi roda untuk dimasukan ke dalam mobil.
Abai merupakan salah satu sifat yang melekat pada Kaiden jika ranahnya terlalu dikuliti, ia akan memilih hal lain untuk diprioritaskan. Termasuk tak menghiraukan pertanyaan dari kolega dekatnya yang terdengar seolah seperti kekasih posesif.
"Woah, lihat! Tak hanya tampan tapi pria itu juga berbakti pada ibunya."
"Kyaa! Aku rela mendaftar menjadi calon istrinya."
"Aww, dia adalah calon masa depanku."
Di zaman sekarang, pemandangan seperti Kaiden yang tak sungkan membantu ibu berkebutuhan khusus tentu menjadi sesuatu yang mencolok terlebih di tempat ramai seperti supermarket. Tak jarang, pengunjung yang lalu lalang terutama kaum hawa sengaja berhenti hanya untuk sekadar melempar pujian kagum terhadap prilaku Kaiden.
Di sisi lain, da*a Elora mulai panas imbas celotehan kaum hawa yang memuji pria incarannya itu.
Si*l! Dasar wanita-wanita tak tahu diri! Tidak akan kubiarkan siapapun mendekati Kaiden selain aku. Aku harus segera meminta maaf atas prilaku barusan. Kaiden terlihat marah.
Seusai membatin sesal, Elora segera berlari dan sigap memasukkan kantong belanjaan yang ditenteng ke dalam bagasi mobil berjenis sedan dan menghampiri Kaiden setelahnya.
"Mari kubantu, Kai."
Tak lupa, gadis bergaya model rambut sanggul acak itu melakukan gerakan memepet tubuh Kaiden yang masih membenahi posisi duduk sang ibu di dalam mobil. Tentu saja semua dilakukan untuk mengklaim di hadapan semua orang bahwa Kaiden hanya miliknya seorang.
"Maafkan atas sikapku barusan, Kai. Aku sudah berlebihan." Elora bersandiwara memasang raut wajah memelas sesaat setelah Kaiden menutup pintu mobil penumpang.
"Tak apa, El. Ayok masuk," balas Kaiden netral seraya menepuk dua kali pundak Elora sebelum akhirnya masuk ke dalam kursi kemudi.
"Woah, apakah wanita itu kekasih si pria tampan?"
"Kurasa bukan. Di terlihat seperti seorang asisten."
"Jika dia kekasihnya, pria tampan itu pasti akan membukakan pintu untuknya juga."
"Itu artinya, kita masih ada kesempatan, hahaha."
Bukannya mendapat pengakuan yang diharapkan, Elora malah terkena bomerangnya sendiri. Khalayak ramai malah menggunjingnya lebih mirip sebagai seorang asisten daripada kekasih Kaiden.
Ergh! Kau harus segera menjadi milikku, Kai. Akan kupastikan itu.