Mantan Terindah

1457 Words
"Kau tidak apa-apa, Nyonya?" lirih Jena khawatir seraya meringis, menahan beban kursi roda nyaris terjungkal ke arah eskalator yang aktif bergerak. Sosok yang dipanggil Nyonya itu malah memejamkan kedua mata lalu menangis tanpa mengeluarkan sepatah kata. Dengan bersusah payah, belah ranumnya terdengar seperti mengucapkan kata terima kasih tetapi tak terlalu jelas diikuti dengan gerakan tangan seperti bahasa isyarat. Kasihan sekali. Apakah ibu ini bisu? Jena membatin seraya menatap iba ke arah sosok di hadapannya. "Oh my God! Tante Gina!" Sosok sang penelepon yang abai terhadap wanita paruh baya tadi kini berteriak khawatir sembari menghampiri penuh urgensi. "Maafkan aku, Tante. Klien penting meneleponku tadi," sesal sosok yang nyatanya seorang gadis muda. Tatapan kesedihan wanita paruh baya bernama Gina berganti datar seakan kecewa saat mendengar permintaan maaf gadis telah mengabaikannya demi urusan telepon tadi. "Lain kali, tolong jaga anggota keluarga Anda dengan baik, Nona. Ibu ini hampir celaka," ketus Jena beranjak dari posisi berlututnya. Beruntung, Jena berhasil menghentikan laju kursi roda walau benda besi itu sempat menabrak bagian perutnya. Wanita sialan! Beraninya dia mempermalukan ku di depan calon mertuaku yang lumpuh. Sosok gadis muda berpenampilan bak pegawai kantoran masa kini malah membatin geram terhadap nasehat Jena. SRET! Tanpa diduga, Gina menarik ujung baju si gadis muda dan memberi kode tulisan dari ponselnya. Segeralah ucapakan terima kasih. Dia sudah menolongku. "Ah, baiklah, Tante." Dengan segala kerendahan hati diselimuti kepalsuan, sang gadis menurunkan egonya dengan menundukkan singkat kepala, mengucapkan terima kasih yang terlihat kentara tak tulus. "Kalau begitu. Aku permisi dulu, Nyonya." Jena turut menundukkan kepala di hadapan Gina sebelum akhirnya melesat pergi. "Tunggu? Bukankah dia ... Jena Anderson?" guman sang gadis muda seraya tertohok setelah menyadari bahwa sosok Jena lah yang telah menyelamatkan Gina. "Sial! Bagaimana kalau sampai dia membocorkan kejadian ini pada Kaiden?" Nyatanya, gadis muda yang kini beraut pucat imbas ketakutan adalah Elora dan Gina merupakan ibu dari Kaiden sang CEO. Beberapa saat kemudian. Air muka Jena terlihat sesekali meringis kesakitan sembari memegangi perut imbas kejadian di dalam supermarket tadi. Ditemani dua kantung belanjaan berisi bahan makanan yang tergeletak di sisi kanan, sang puan kini duduk di halte yang berada tak jauh dari supermarket untuk menunggu bus. "Jena ... apa kau baik-baik saja?" Suara pria tiba-tiba menyapa dengan nada cemas. Oh, tidak! Suara ini .... Kepala yang tadinya tertunduk sontak mendongak, merasa familiar dengan suara bertipe bass milik sang sosok. DEG! Ah, mata teduh itu. Sepasang netra dengan iris hitam pekat yang selalu membuatnya rindu. Netra yang dahulu hanya menatap untuk Jena seorang. Namun, kini telah sepenuhnya beralih. Tak hanya itu saja, segala hal tentang sosok yang masih belum sepenuhnya enyah dari hati itu mungkin sudah dipusatkan untuk belahan jiwanya yang baru. "Uhm, Lex. Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Jena seraya melerai angan yang tak ingin terlihat lemah, sang wanita pun buru-buru menegakkan gestur. Walaupun raut pucatnya tak bisa berbohong. "Uhm, aku kebetulan lewat dan melihatmu seperti kesakitan. Kau tidak baik-baik saja?" Dapat terlihat dengan jelas raut kecemasan Alex, mengisyaratkan rasa kekhawatiran berlebih pada mantan kekasih di hadapannya. Ia bahkan menghentikan mobil sembarang dengan tanda lampu darurat di depan halte bus. "Aku baik-baik saja. Aku harus pergi," ketus sang puan. Tak ingin berlama-lama, tangan Jena lantas menyambar dua tas penuh barang untuk segera pergi dari sana. Namun, jemari Alex sukses bergerak lebih cepat menyambar mantan kekasih yang hendak beranjak. "Tidak. Kau tidak pandai berbohong, Jen. Kau pucat dan kau sedang ham—" "Stop! Berhentilah pura-pura peduli dan tinggalkan aku. Kehamilanku bukanlah urusanmu," bentak Jena menatap sengit ke arah lawan bicara. Jena lantas mengibaskan kasar lengan yang dipegang oleh mantan kekasihnya. Tungkainya sontak mundur satu langkah. Rasa muak tergambar jelas di raut wanita bersurai hitam kecoklatan itu. "Jangan begitu, Jen. Setidaknya, ayo kita ke rumah sakit untuk memastikan kau baik-baik saja," pinta Alex setengah memohon seraya mendekati Jena. "Apa kau tuli! aku—" "Permisi, Nona Jena. Kemana saja kau? Aku sudah menunggumu dari tadi. Bahkan aku sudah menghubungimu tapi kau tidak membalas," cicitan suara jenis bariton menyeruak tak terduga di tengah percakapan Alex dan Jena. "Kau siapa?" tanya Alex sembari menautkan alis curiga. "Aku?" Sosok si pria berdecih seraya menyeringai. "Aku hanya supir taksi online yang di pesan atas nama Jena." Pak Kaiden? "Ayo, Nona Jena. Waktu adalah uang. Aku harus mendapatkan pelanggan lain lagi untuk menyambung hidup," desak di pria lagi. Nyatanya, sosok kaiden lah yang menginterupsi momen Jena dan mantan kekasih. Entah apa maksud sang CEO berpenampilan necis semi formal itu melakukan sandiwara pura-pura menjadi supir taksi online untuk Jena. Tanpa menghiraukan sang puan yang masih terperangah tak percaya, Kaiden bergerak cepat mengambil dua tas belanjaan milik Jena dan langsung menggiring tubuhnya untuk masuk ke dalam kursi penumpang bagian depan. "Apa yang kau lakukan, Pak Kaiden?" bisik Jena menahan pintu depan yang dipegangi Kaiden. "Aku berusaha menyelamatkanmu di sini. Cepat masuklah!" Kaiden merespon dengan suara pelan disertai ulasan senyum pura-pura agar tidak membuat curiga Alex yang menatap aksi keduanya. Walaupun merasa aneh, Jena terpaksa mengikuti permainan Kaiden. Lagipula, dirinya membutuhkan alasan untuk enyah secepatnya dari hadapan Alex. Tak lama, kendaraan besi mewah berwarna merah mengkilat milik Kaiden melaju cepat meninggalkan halte bus. Aneh! Tidak mungkin mobil taksi online semewah itu. Dan juga, supir taksi online mana yang bergaya seperti seorang eksekutif? Alex membatin curiga seraya masih terpaku di tempat. Ia yakin pria yang membawa Jena pergi bukanlah supir taksi online. Di sisi lain. "Kau bohong, Lex. Kau masih mencintai mantanmu, bukan?" gumam seorang wanita yang tak lain adalah istri sah dari pria bernama lengkap Alexander Crishtian. Dari kejauhan, Trisha menatap penuh kepedihan disertai amarah terhadap aksi suaminya kepada Jena beberapa saat tadi. "Kau bilang jika kau sudah melupakannya, hiks." Trisha terisak sesak sembari mencengkeram kuat kemudi mobilnya. Sorot matanya mengawang jauh kembali ke ingatan beberapa hari lalu saat sebuah fakta keji terungkap. Beberapa hari sebelum pernikahannya dengan pria yang sangat ia cintai, Trisha melihat Alex beradu tatap dengan sang mantan di depan butik baju miliknya. Hatinya resah, ia tahu wanita yang berhadapan dengan Alex bukanlah wanita biasa melainkan mantan yang dulunya sangat dicintai oleh sang kekasih. Tak ingin menjadi seorang pengecut, Trisha beranjak memberanikan diri menghampiri keduanya. "Aku ingin memberitahu hal yang sangat penting, Lex. Aku mohon," pinta Jena saat itu. "Bicaralah, aku juga ingin mendengarnya." Bukan Alex, tetapi Trisha yang menimpali permohonan Jena. "Ah, maaf jika terkesan tak sopan. Antara aku dan Alex tak akan pernah ada rahasia lagi karena lusa kami akan menikah," lanjut Trisha sengaja pamer seraya menyusupkan tangan kanan di sela lengan kekar prianya, bermaksud mengklaim bahwa Alex adalah miliknya seorang. "Baiklah. Akupun tak ingin menyesal di masa depan." Jena menghela napas panjang sebelum melanjutkan kalimat. "Aku hamil dan Alex seratus persen ayah dari bayi ini." Mendengar hal itu, dunia Trisha seketika runtuh. Namun, akal sehatnya segera menepis semua anggapan negatif sebelum mengkonfirmasi lebih lanjut dengan calon suaminya. Terlebih, Jena tak meminta Alex untuk kembali padanya saat itu. Wanita itu bahkan mendoakan yang terbaik untuk pernikahan sang mantan. Jena pun pergi setelahnya tanpa sempat Alex memberi tanggapan. Beberapa saat kemudian, keributan besar terjadi antara Alex dan Trisha. Barang-barang hancur berserakan di ruang kerja Trisha menjadi saksi pertengkaran hebat antara keduanya akibat amarah sang gadis yang meluap bagai banjir rob. Trisha jelas murka. Gadis itu teramat sangat mencintai Alex bahkan mendekati sebuah obsesi. Terlebih, keduanya akan menikah lusa. Ingin rasanya Trisha menghancurkan dunia atau mati saja jika sampai pernikahan impiannya batal. Namun, sikap Alex yang berlutut di kakinya dan mengakui perbuatan one night stand bersama sang mantan membuat Trisha berubah gamang. Alex juga berkilah bahwa tidak mungkin bayi yang dikandung Jena adalah hasil dari hubungan saat itu karena mereka melakukannya belum lama dan Jena pun telah bersuami. Sang pria juga berkilah malam panasnya dengan sang mantan murni sebuah hasrat belaka. Tak ada cinta di sana. Setelah mengakui segala kesalahan, Alex lantas meminta kesempatan kedua dengan bersungguh-sungguh sembari masih berlutut. Meski begitu, ia menyerahkan segala keputusan pada Trisha untuk melanjutkan atau menyudahi rencana pernikahan lusa nanti. "Apa kau bisa berjanji hanya ada aku di hatimu mulai saat ini?" tanya Trisha lirih. Ingin mengetahui kesungguhan calon suaminya. "Sejak saat Jena meninggalkanku, Aku sudah membuang jauh perasaanku padanya. Jadi, jawabanku adalah iya, Tris. Hanya kau satu-satunya wanita di hatiku sejak saat pertama kita bertemu hingga kini dan selamanya," ujar Alex penuh kesungguhan. Orang bilang, cinta itu buta. Tak dapat melihat atau peka terhadap apa yang ada di pelupuk mata sekalipun. Trisha sedang mengalaminya. Tanpa mempertimbangkan apapun lagi, dengan hati terbuka ia memaafkan perbuatan Alex karena telah mengatakan kejujuran. Mereka pun berakhir berdamai dalam ikatan janji suci pernikahan. Namun, sayang. Pada hari ini atau bertepatan tiga hari setelah pernikahannya dengan Alex, wanita itu harus menyaksikan hal yang sangat menyakitkan di depan mata. "Waspadalah, Jena. Kau hanyalah toxic bagi suamiku yang sepertinya harus dimusnahkan," batin Trisha kesumat seraya menyeringai licik penuh dendam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD