07 | Rencana Menyebalkan

1345 Words
"GILA lo, ya? Ngapain coba lo nanggepin omongannya tadi? Untung gue kepikiran cara biar bisa kabur dari sana, kalau enggak gimana coba?" omel Clara begitu mereka sampai di ruangan kerja keduanya. "Ya, mau gimana lagi? Kalau nggak ditanggapin malah aneh jatuhnya, Ra." Stevy mengembuskan napas kasar. "Asal lo tahu, bukan cuma lo doang yang pengin bunuh dia saat itu! Tangan gue dari tadi udah gatel pengin nonjok muka sok nggak ada rasa bersalahnya itu tahu!" Jeffry yang sejak tadi mendengar pertengkaran keduanya hanya bisa diam, karena dia sama sekali tidak mengerti maksud omongan mereka. Dia melirik Clara yang tiba-tiba saja menoleh ke arahnya. "Sori, gue sama Stevy gangguin kerjaan lo, ya?" tanya Clara dengan raut wajah bersalah. Jeffry menggelengkan kepalanya. "Enggak, santai aja. Kalau masih mau dilanjut juga nggak masalah, toh belum waktunya jam kerja, kan?" Stevy menyahut, "Lo ngapain dah ngerasa bersalah sama dia? Biasa aja kali, Ra! Anggap aja dia cuma orang numpang lewat di kehidupan kita berdua!" Clara mendelik ke arahnya. "Lo nggak sopan ih!" Stevy bersedekap d**a, lalu berjalan pergi menuju kursi tempat kerjanya. "Udah biasa saling maki, kenapa gue masih harus sopan santun ke dia coba? Nggak ada gunanya tahu!" Clara hanya geleng kepala melihat sifatnya. Dia menatap Jeffry, kemudian memasang senyum sopan andalannya. "Kalau dia kurang ajar, omelin aja, tegur atau marahin sekalian biar nggak jadi kebiasaan. Emang anaknya kayak gitu, lo yang sabar dan maklum aja kalau ngadepin dia, ya?" Jeffry mendengkus pelan mendengar ucapan Clara. "Gue kayak baru kenal aja sama kalian berdua, Ra. Lo santai aja kenapa? Gue sama sekali nggak baperan orangnya." Clara tersenyum tidak enak. "Tapi tetap aja, rasanya nggak enak." Sama seperti saat dia harus merepotkan atau bergantung pada Stevy dan mamanya selama ini. Dia selalu merasa tidak enak, tapi dia tidak kuasa untuk menolak. "Mungkin emang sifat bawaan kali, ya? Gue nggak mau banyak komentar, deh!" Jeffry mengangkat bahu dan kembali melihat layar komputernya. Clara menarik kursi kerjanya, lalu duduk di sana. Dia baru saja menyalakan mesin komputernya saat anak-anak lain tiba-tiba saja ribut di seberang sana. Clara mengernyitkan dahi. Heran sekaligus penasaran. "Ada apaan, sih?" "Bakal ada inspeksi mendadak di seluruh kantor!" jerit salah satu dari mereka tepat sebelum masuk jam kerja. "Hah?! Bukannya jadwal inspeksi masih bulan depan, ya?" Clara bertanya pada dirinya sendiri, kemudian melirik pakaiannya hari ini. Cukup rapi dan formal, tapi tetap saja kurang pantas untuk dikenakan saat inspeksi. "Harusnya sih gitu ...." Jeffry menyahut dengan ragu. Dia pun merasa aneh, tapi bawahan sepertinya memangnya bisa apa selain menurut saja pada atasannya? "Seenggaknya kabar-kabar dulu sehari sebelumnya kek, biar gue bisa siap-siap! Kalau kayak gini kan gue nggak siap, mana pakaian gue kayak gini lagi!" Clara mendumel sendiri. "Emang apa yang salah sama pakaian lo, Ra? Perasaan yang pakai baju kayak mau ke kelab lebih banyak?" Jeffry menatap Clara heran. "Iya, sih, tapi kemeja warna putih kayak gini kelihatan gimana gitu," jawabnya jadi sambil bergidik ngeri. Kemeja putihnya memang biasa saja, tapi agak sedikit transparan jika orang yang berhadapan dengannya serius ingin melihat bagaimana bentuk tubuhnya. Walaupun tidak benar-benar telanjang, tapi tetap saja itu tidak sopan. "Udah, santai aja kenapa? Cuma inspeksi, nggak akan bisa bikin lo kenapa-kenapa. Santai aja, Clara." Jeffry mengatakannya dengan santai dan tanpa beban, seolah semua itu hal yang wajar saja dilakukan. Namun, Clara benar-benar kepikiran. Inspeksi dilakukan oleh beberapa atasan yang lebih ahli untuk memastikan bagaimana pekerjaan mereka selama ini. Selain itu, penampilan mereka juga bakal diperhatikan dengan detail, dan satu lagi tentunya, kesehatan karyawan. Clara mendesah panjang. Dia hanya bisa pasrah dan melakukan apa yang terbaik dan bisa dia lakukan sekarang. Stevy menatapnya dari jauh, memberikan semangat tanpa mengatakan apa pun. Sejak dulu, Clara selalu ingin terlihat menjadi anak teladan yang baik dan sopan. Dengan begitu, dia bisa sedikit menyembunyikan masa lalunya yang suram dan mengerikan. Namun, tentunya semua itu tidak berjalan dengan lancar. Ada saat-saat dia menunjukkan sisi buruknya, selayaknya manusia pada umumnya. Seperti apa yang akan terjadi hari ini. Pintu ruangan kerja mereka terbuka. Sosok yang biasa menginspeksi divisi mereka pun masuk ke dalam ruangan, kemudian disusul satu sosok baru yang menjadi mimpi buruk bagi Clara. Anak-anak divisinya langsung menahan napas saat melihat kedatangan Ronald ke ruangan kerja mereka. Clara hanya melirik, kemudian kembali fokus kepada layar komputernya. Dia sama sekali tidak tertarik, fokusnya adalah melewati inspeksi pagi ini dengan baik. Jeffry mengawasi tingkah Clara yang duduk tak jauh dari tempatnya. Perempuan itu tidak terlihat tertarik pada bos mereka selayaknya perempuan lain yang bekerja di divisinya. Sepertinya dia imun terhadap pesona seorang Ronald. Namun, apakah memang benar demikian? Ronald langsung bisa mengenali Clara begitu dia masuk ke ruangan tempat kerja perempuan itu. Clara sedang duduk di kursinya, fokus menatap layar komputer, dan tak sekali pun terusik akan kedatangannya di sana. Dia sedang mengabaikan ... tidak, dia sedang menghindari Ronald menggunakan caranya sendiri. Setelah apa yang terjadi tadi, Ronald mulai memahami jika Clara sebenarnya masih mengingatnya dengan baik. Hanya saja dia tampak seperti sedang berusaha untuk mengabaikan keberadaannya. Benar, Clara memang terlihat seperti itu. Seperti masa lalu yang pernah mereka habiskan dulu tidak pernah terjadi sebelumnya dan Ronald tidak menginginkannya. Ronald tidak ingin Clara mengabaikannya. Dia ingin mereka kembali bersama. Dia ingin Clara meluapkan semua emosinya selama ini kepadanya, lalu setelah itu dia akan memohon Clara agar kembali padanya. Apa pun itu dan bagaimanapun caranya, dia harus mendapatkan Clara kembali ke dalam pelukannya. Mata pria itu langsung menyipit tajam saat melihat seorang laki-laki yang terang-terangan sedang menatap ke arah Clara. Apakah laki-laki itu tertarik padanya? Tentu hal itu mungkin saja, karena Clara memang cantik, dia juga baik, pasti ada banyak laki-laki yang tertarik atau bahkan jatuh cinta padanya yang berada di kantor ini, kan? Bahkan saat melirik sebelahnya, Ronald pun sadar jika salah satu dari mereka juga terang-terangan sedang memandangi Clara. Clara yang merasa sejak tadi sedang diperhatikan pun mendongak. Pertama kali ia menatap Jeffry dengan dahi mengernyit, bertanya menggunakan isyarat yang ditanggapi dengan gelengan. Kedua, dia menoleh ke arah sosok di sebelah Ronald yang sontak tersenyum genit ke arahnya. Clara tak menanggapi senyumannya, karena detik berikutnya tatapannya berpaling ke arah Ronald. Tatapan mereka bertemu. Ronald mengulum senyuman yang membuat Clara menahan napas, karena mungkin dia tahu maksud dari senyumannya itu. Pria itu memang sengaja melakukannya. Benar, dia sengaja mempercepat jadwal inspeksi tahunan hanya agar bisa bertemu dengan Clara. Bahkan Clara yakin, setelah ini masih ada rencana lain yang membuat mereka bertemu dan Clara benar-benar dibuat muak serta marah dengan kelakuan anehnya itu. "Ra!" panggil Jeffry yang sama sekali tak ditanggapi olehnya, karena saat itu Clara sedang menatap tajam Ronald yang malah tersenyum semakin lebar ke arahnya. Benar saja, memang begitulah rencana pria berengsek itu kepadanya. "Ra!" Jeffry menyenggol lengan Clara, karena tak kunjung mendapatkan tanggapan dari perempuan itu. Clara menoleh, ekspresi wajahnya tampak lebih menyeramkan dari biasanya. Dia memang sedang menahan amarah, benar-benar emosi dengan kelakuan Ronald yang tidak jelas. Kenapa pria itu harus kembali setelah mencampakkannya selama ini? Kenapa pria itu harus mengganggunya lagi? Padahal dia bisa melepaskannya, mengabaikan keberadaannya, dan tidak perlu muncul lagi di kehidupannya? Toh Clara tidak akan pernah kembali mengganggu hidupnya. Lalu, kenapa? Kenapa pria itu harus kembali? Kenapa dia bisa memperlakukan Clara dengan kejam? Apakah masih belum cukup dengan sikap berengseknya sebelum ini? Apakah dia masih ingin mempermainkan Clara lagi? Sama seperti yang dilakukannya beberapa tahun silam? "Kenapa?" Clara menjawab dengan nada yang tidak enak didengar. Jeffry tersentak, kaget dengan jawaban yang dia dapatkan. "Lo kenapa? Kenapa lo kelihatan kayak lagi marah gitu?" tanyanya khawatir sekaligus tidak mengerti. "Nggak apa-apa, abaikan aja. Kenapa lo tadi manggil gue?" Clara bertanya heran. "Enggak, gue cuma ngerasa lo kelamaan natap Pak Bos. Lo nggak apa-apa, kan?" Jeffry benar-benar tampak seperti sedang mengkhawatirkannya. "Enggak, kok, gue baik-baik aja. Makasih udah khawatir, tapi semua itu nggak perlu, Jef. Gue serius baik-baik aja." Benar, Clara masih baik-baik saja. Jika Ronald memang berencana ingin menampakkan wajah berengseknya secara terus menerus di depan muka Clara, maka dia hanya perlu meladeninya. Jika dia memang sedang menunggu amarah Clara, maka dia akan memberikannya dengan suka rela. Meluapkan amarah setelah beberapa tahun berpisah terdengar baik sekaligus melegakan, daripada terus menahannya sendirian selama bertahun-tahun, kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD