05 | Menghindari Kenyataan

1488 Words
CLARA langsung berhenti melihat ponselnya dan refleks mematikannya begitu saja. Stevy yang melihatnya pun sontak mengernyitkan dahi, terutama saat dia melihat Clara mengembalikan ponselnya ke dalam tas. "Lo kenapa, Ra?" tanya Stevy yang heran melihat gerak-gerik Clara. Clara menggelengkan kepala. "Enggak apa-apa, gue cuma mikir ... kayaknya gue udah pernah ngelihat dia sebelumnya, deh?" Stevy mengernyitkan dahi. Dia jadi curiga jika yang dimaksud Clara adalah mantan pacar berengseknya. Sayangnya, Stevy tidak punya bukti apa-apa. Dia juga tidak pernah tahu seperti apa rupa kekasih berengsek Clara sebelumnya. Alea yang sama sekali tidak tahu masalah Clara dengan si Donald Duck dengan santainya langsung merangkul bahu Clara. "Bener kan apa kata gue? Lo pasti udah pernah ngelihat dia di kantor, cuma lo nggak sadar kalau itu beneran dia." Clara meringis. Alea benar, mereka memang sudah pernah bertemu sebelumnya. Bahkan Ronald pun sepertinya sudah menyadari keberadaan Clara di kantor mereka. Terbukti saat pria itu mencengkeram lengannya dengan kuat dan mengatakan jika Clara tampak mirip dengan seseorang yang sedang dicari olehnya. Walaupun Ronald masih tampak meragu saat itu, tapi ia yakin semua itu tidak akan lama. Tunggu dulu ... mungkinkah Ronald memang sedang mencari keberadaannya? Apakah dia ingin menanyakan soal anak yang pernah dikandung Clara sebelumnya? Jika benar begitu, dia pasti sudah bodoh sekali. Kemungkinan Clara masih hamil dan melahirkan anaknya saat itu sangatlah kecil sekali. Ronald tidak menginginkan keberadaan anak itu, bahkan keberadaan Clara di dalam hidupnya lagi. Dia bahkan menyuruh Clara untuk menggugurkannya saja, daripada dia harus menanggung malu dan derita di usia mudanya. Clara memejamkan mata, menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya secara perlahan. "Ra?" Stevy memanggil namanya dengan nada khawatir yang terasa begitu jelas. Stevy mungkin sudah bisa beranggapan jika Ronald bos baru mereka dan Ronald mantan berengsek Clara adalah orang yang sama. Dia jelas sedang mengkhawatirkan kenyataan itu dan Clara tidak ingin membuatnya khawatir. Tidak. Dia tidak ingin Stevy mengkhawatirkan keadaannya lebih parah dari sebelumnya. Apalagi jika masalah ini sampai ke telinga Tante Silva. Beliau pasti akan meminta Clara dan Stevy keluar dari tempat kerja mereka demi bisa menyelamatkan hidup Clara ke depannya. Tidak. Sudah cukup dia merepotkan mereka berdua. Sekarang dia sudah dewasa. Dia sudah sanggup menjaga dirinya. Hanya Ronald dan kenangan masa lalu mereka tidak akan bisa kembali melukainya. "Kenapa?" tanyanya balik dengan nada yang semoga terdengar biasa saja. "Lo baik-baik aja, kan?" tanya Stevy masih ingin memastikan keadaan Clara. "Emang gue kenapa?" Clara menatapnya heran sambil mengulum senyum aneh, kemudian dia beralih menatap Alea untuk melanjutkan pembicaraan mereka sebelumnya. "Oh gue inget, tadi siang gue emang ketemu sama dia! Ganteng, sih, sempat bikin gue terpesona gitu, tapi kalau dilihat lebih lanjut, dia orangnya serem banget. Kalau dia sampai melotot atau bentak-bentak gitu, gue pasti langsung kabur dari sana!" "Nah, kan, bener apa kata gue? Dia itu ganteng pake banget, tapi juga serem pakek banget." Alea tertawa sejenak, lalu mengangkat bahunya santai. "Tapi terserah, sih, kalau mau ngincer dia atau gimana! Kalau gue sih udah nyerah buat dapatin dia. Susah banget dideketin soalnya! Dia kayak punya tembok gede dan tinggi, gitu! Kan gue nggak bisa manjatnya!" Clara hanya tertawa menanggapi lelucon dari Alea Untung saja Alea tidak tahu detail tentang nama mantan pacar Clara sebelumnya. Alea hanya tahu sekilas masa lalu Clara yang pernah hamil kemudian keguguran di usia muda. Bagi Alea yang memiliki pergaulan bebas, hal seperti itu sama sekali tidak mengganggunya. Dia hanya meminta Clara sabar dan turut mendoakan mantan pacar berengseknya agar lekas mendapat ganjaran setimpal atas perbuatannya. *** "Ra!" Begitu sampai di apartemen mereka, Stevy memanggil namanya. "Dia beneran bukan Ronald mantan pacar lo dulu, kan?" tanyanya memastikan sambil menutup pintu di belakang tubuhnya. Clara terdiam beberapa saat sebelum menunjukkan senyuman terbaiknya. "Emangnya kenapa?" "Nggak usah berkelit lagi. Dari tadi, gue udah ngerasa ada sesuatu yang nggak beres dari lo. Lo kayak lagi nutupin sesuatu dari gue," tembak Stevy tanpa basa-basi lagi. "Bilang aja yang sejujurnya ke gue, Ra. Bener dia Ronald mantan pacar lo atau enggak? Biar gue jelas! Biar gue tahu yang sebenarnya?!" Stevy mengatakan keseriusannya sambil menatap lurus kedua matanya. Awalnya, Clara memang berniat membohonginya, tapi dia tidak siap dengan konsekuensi yang akan dia terima jika Stevy sampai tahu kebohongannya itu. Alhasil, Clara terpaksa harus memberitahu kenyataan yang sebenarnya padanya. Clara menarik napas panjang, lalu mengembuskan napasnya secara perlahan yang terdengar begitu berat di telinga. "Kalau dia emang orangnya, lo mau apa?" Clara membalas tatapannya, tapi tak lama karena dia langsung mengaku kalah. Dia tidak bisa bertahan bertatapan langsung dengan Stevy atau dia akan menangisi nasib kejam yang menimpa dirinya sekarang. Clara pun berlalu menuju dapur. Stevy mengejarnya dengan cepat dari belakang. "Jadi, dia beneran orangnya? Dia si berengsek yang udah bikin lo menderita selama bertahun-tahun ini?! Sialan! Gue bakal bikin dia babak belur! Terus gue potong barangnya sampai nggak bersisa lagi!" ucap Stevy berapi-api lantaran dipenuhi emosi. Dia pasti merasakan kekesalannya. Setelah bertahun-tahun dia hanya tahu sebuah nama yang telah membuat Clara menjadi seperti ini. Akhirnya dia bertemu langsung dengan tersangka utamanya. Clara menggeleng pelan. "Jangan lakuin hal yang gila, Stevy! Lo nggak akan bisa melawan dia, karena dia bukan lawan lo. Selain itu dia adalah atasan kita. Kalau dia sampai kenapa-kenapa, terus nuntut lo masuk penjara, gue harus ngomong apa sama Tante Silva?!" "Terus, gue harus diam aja gitu? Setelah akhirnya gue tahu siapa cowok berengsek yang udah bikin lo jadi kayak gini? Dia yang namanya selalu jadi sasaran emosi gue selama ini, akhirnya ada di depan mata gue sendiri?! Masa gue harus diam aja tanpa ngelakuin apa-apa?!" "Ya." "Gue mana bisa, Ra?! Lagian setelah apa yang udah dia lakuin ke lo selama ini, masa lo mau diam aja, sih?" tanya Stevy yang sedang kesal, dan emosi setengah mati. Clara menjawab ucapannya dengan cepat. "Terus gue harus gimana? Sekarang gue nggak bisa apa-apa, Stevy! Syukur kalau dia udah nggak ingat siapa gue lagi dan nggak mau ngusik kehidupan gue lagi buat selamanya!" "Lo yakin? Setelah semua yang udah terjadi sama lo di masa lalu ... emangnya lo nggak marah sama dia? Lo nggak ingin balas dendam ke dia? Padahal tadi pagi aja lo masih kepikiran buat kirim santet biar dia meninggal dunia, kan?" Stevy ingat usulan anehnya tadi pagi yang berniat memastikan keadaan Clara ke dukun. "Ya." Clara pun masih mengingatnya dengan baik. Namun, melaksanakan niatnya atau marah-marah pada pria itu hanya akan membuktikan jika pria itu masih menghantui hidupnya selama bertahun-tahun terakhir. Clara tidak ingin Ronald tahu, betapa tersiksanya Clara dengan masa lalu. Dia tidak pernah ingin menunjukkannya, baik pada Ronald atau siapa pun juga. Dia tidak ingin membuka kembali masa lalunya. Lalu, satu-satunya jalan yang bisa dia lakukan sekarang adalah menghindari kenyataan. Tanpa perlu menjelaskan apa yang telah terjadi siapa pun, dia akan menganggap semua itu tidak ada. Walaupun luka itu masih tetap menganga lebar dan mengeluarkan darah merah segar, tapi dia akan berusaha selayaknya tidak pernah terjadi apa pun dengannya. "Kalau gue sampai emosi, gue yakin dia bakal bahagia. Karena itu berarti selama ini gue nggak bisa lupain dia. Kebalikannya, kalau gue biasa saja, dia pasti mikir kalau gue udah lama move on dari dia. Gue nggak terganggu lagi sama keberadaannya, apalagi sampai tertarik buat balikan sama dia." Clara mengatakannya setelah menarik napas panjang dan memastikan jika pernapasannya lebih tenang dan teratur dari sebelumnya. Dia mengambil panci, mengisinya dengan air, lalu memasaknya di atas kompor. "Menurut lo, apa tindakan yang bakal gue ambil ini salah, Stevy?" Clara bertanya tanpa menatap sahabatnya, karena kini dia sedang fokus memasak air. Stevy menelan ludahnya susah payah. Daripada memperlihatkan diri yang sedang lemah dan terluka parah, lebih baik Clara menunjukkan betapa bahagianya hidup barunya setelah semua penderitaan yang di dapatkan. Itulah sebuah cara pembalasan yang sempurna untuk seorang laki-laki b******n yang lebih memilih lari dari tanggung jawab dengan cara amat sangat menjijikkan. "Nggak, menurut gue itu pilihan terbaik buat lo sekarang, Ra." Clara tersenyum tulus. "Thanks!" "You are wellcome. Gue sama nyokap bakal selalu ada di belakang lo. Kalau dia emang sengaja balik buat gangguin lo lagi, jangan ragu buat bilang ke gue atau Mama. Kita bakal kasih dia pelajaran yang setimpal!" Clara hanya menganggukkan kepala, walaupun dia ragu Stevy dan Silva bisa melawan Ronald sesuai perkiraan mereka. Dengan mengetahui jika Ronald adalah CEO baru di kantor mereka yang katanya masih memiliki hubungan darah dengan pemilik perusahaan. Clara yakin, latar belakang pria itu bukan orang biasa. Clara sendiri hanya tahu jika orang tua Ronald selama berada di luar negeri. Dia di sini bersama kakaknya, itu pun tinggal terpisah karena kakaknya entah tinggal di mana. Hanya dengan mengetahui kenyataan itu saja, Clara sadar jika Ronald bukanlah orang dari kalangan menengah ke bawah. Dan sekaya dan semampu apa pun keluarga besar Stevy dan Silva, mereka tidak akan sebanding dengan keluarga Ronald. Beda soal jika Clara ... masih memiliki dukungan dari keluarganya. Clara memejamkan mata. Semuanya hanya masa lalu. Dia telah mengikhlaskan semua itu. Tak seharusnya dia mengingat-ingatnya lagi, karena mereka tidak akan kembali. Sama seperti dia yang tidak akan pernah bisa pulang ke rumah, karena dia tak lagi berbakti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD