Bab 7 - Adegan Ciuman

2359 Words
Waktu terus berlalu, Moza setiap harinya sibuk berlatih dan menghafal. Ia juga secara intens aktif berkomunikasi dan berdiskusi dengan penulis, sutradara dan tentunya paling sering dengan Andra. Baik lewat telepon maupun bertemu langsung, mereka berdua sudah seperti dua insan yang sedang tahap pendekatan serta saling mengenal satu sama lain. Apakah Moza merasakan ketidaknyamanan mengingat Andra bukan sekadar kakak ipar biasa baginya? Tentu saja rasa tidak nyaman pasti ada. Namun, itu hanya pada awalnya saja karena secara ajaib Moza merasa dirinya mulai nyaman berinteraksi dengan mantan kekasihnya itu. Hal yang benar-benar Moza syukuri adalah amnesia yang Andra alami. Moza yakin tidak akan se-nyaman ini kalau Andra ingat apa yang pernah terjadi di antara mereka. Selain itu, yang utama adalah Moza sampai-sampai hampir lupa kalau ia dan Andra pernah saling mencintai lalu membenci satu sama lain. Bagi Moza, insiden yang membuat Andra kehilangan sebagian memori ingatannya, membuat pria itu seolah terlahir kembali lalu menjelma menjadi seperti Andra yang berbeda. Tentunya Andra dengan versi yang jauh lebih baik. Moza kemudian menggeleng. Terlepas dari Andra yang kini hadir dalam versi yang jauh lebih baik, itu tidak akan menjadi alasan Moza bisa jatuh cinta lagi pada pria itu. “Ingat Moz, dia kakak iparmu sekarang!” batin Moza. Saat ini Moza dan Andra sedang dalam perjalanan menuju kediaman ibunya Andra yang tinggal bersama suaminya alias papa mertua Moza. Itu sebabnya mereka hanya berdua dan tidak bersama manajer masing-masing karena kegiatan mereka hari ini masuk dalam kategori urusan pribadi, bukan pekerjaan. Andra juga sanggup menyetir sendiri, terlebih jika berdua saja obrolan mereka akan jauh lebih leluasa. “Moza…,” panggil Andra memecah keheningan di antara mereka. “Iya, Mas?” balas Moza yang sudah terbiasa untuk tidak canggung lagi saat bersama Andra seperti ini. “Aku dengar kamu sudah meggeluti bidang seni peran ini semenjak masih sekolah?” “Iya benar, lebih tepatnya saat masih SMA,” jawab Moza. “Aku memulai dari peran kecil sampai akhirnya salah satu film yang aku bintangi booming dan itu berhasil mengangkat namaku. Setelah itu, tawaran lain berdatangan dan aku bisa menjadi Moza Karenina yang seperti sekarang.” Sungguh, Moza tak menyangka akan menceritakan hal semacam ini pada seseorang yang sebenarnya saksi hidup yang selalu ada pada saat-saat perjuangannya meniti karier. “Kalau Mas Andra … kenapa menjadi aktor? Ah, pasti nggak tahu alasannya, kan? Karena ini salah satu memori yang terlupakan?” “Kalau alasanku menjadi aktor, aku tahu,” balas Andra dengan tatapan yang tetap lurus ke arah jalanan. “Maksudnya bukan secara langsung tahu atau ingat, melainkan ada seseorang yang memberi tahu aku.” “Siapa yang memberi tahu?” Moza mulai penasaran. “Arif. Manajerku,” kata Andra. “Dia bilang, aku pernah cerita saat pertama kali terjun ke dunia entertainment. Katanya, dunia hiburan adalah dunia yang bisa membuatku dekat dengan perempuan yang aku cintai. Sayangnya … aku nggak memberi tahu secara detail sehingga Arif pun nggak tahu siapa perempuan yang aku maksud. Entah aktris, penyanyi, presenter bahkan pelawak … nggak ada yang tahu.” Andra melanjutkan, “Ah, memang benar amnesia ini ada plus dan minus-nya. Tapi nggak apa-apa, kalau aku memang ditakdirkan begini, ditakdirkan nggak mengingat kenangan yang sebenarnya penting … mau bagaimana lagi? Toh aku cukup menikmati hidupku yang sekarang.” “Mas Andra nggak mencoba mengingatnya?” tanya Moza, ya walaupun ia sendiri berharap jangan sampai ingatan Andra kembali. “Udah, tapi ending-nya aku pusing dan sakit kepala sendiri. Jadi biarlah begini aja. Aku akan sangat bersyukur kalau ingat lagi, tapi kalau ternyata amnesiaku permanen … aku nggak akan memaksa diriku supaya mengingat segala yang aku lupakan. Seperti yang aku bilang, aku cukup menikmati hidupku yang sekarang.” Jeda sejenak. Andra kembali berbicara, “Meski sejujurnya, terkadang aku penasaran … siapa perempuan yang aku cintai se-dalam itu sampai-sampai membuatku harus terjun menjadi aktor begini hanya agar selangkah lebih dekat dengannya. Dia pasti sangat spesial dan sebaliknya, aku nggak spesial baginya.” “Kenapa berpikir begitu?” “Kalau aku spesial, dia pasti sudah menghampiriku, tapi sama sekali nggak ada yang datang padaku. Entah dia nggak mencintaiku atau bahkan bisa jadi dia udah punya pasangan. Aku nggak tahu.” Andra melanjutkan, “Tapi itu hanya sebatas rasa penasaran karena ingin tahu siapa orangnya, ya. Aku sama sekali nggak berharap lebih karena aku bahkan nggak mengingat kenangan apa pun bersamanya.” “Bukankah Mas Andra pernah menikah?” “Ya, ibu bilang … alasan kami bercerai adalah karena cintaku lebih berat pada perempuan yang hampir membuatku gila ini. Ya, membuatku gila karena aku nggak tahu siapa dia, juga kenangan apa yang pernah kami lalui.” Sebenarnya, sebelum pasrah seperti sekarang … berbagai cara pernah Andra coba lakukan untuk mengembalikan ingatannya. Dari terapi, fisioterapi hingga berusaha mengingat secara mandiri, tapi belum ada perubahan yang signifikan. Andra bahkan sempat beberapa kali mengunjungi psikolog untuk membantunya agar terbiasa dengan hidup barunya ini. Sekarang Andra telah memutuskan pasrah se-pasrah-pasrahnya. Toh hidupnya tetap baik-baik saja meskipun begini. Ditambah lagi, Andra sibuk dengan berbagai aktivitasnya di dunia entertainment, hal yang membuatnya tidak punya waktu untuk meratapi amnesia-nya. “Mungkin Mas Andra ditakdirkan amnesia agar bisa melupakannya.” “Exactly!” jawab Andra. “Ibu sempat bilang, andai dulu aku mengenalkan perempuan itu padanya, mungkin sekarang ibu tahu sehingga bisa memberitahuku. Masalahnya adalah … aku pikir hubungan itu hanya kami berdua yang tahu. Ya, hanya antara aku dan perempuan itu.” Itulah salah satu hal yang Moza syukuri. Dulu dirinya tidak pernah mau dipertemukan apalagi dikenalkan pada orangtua Andra. Dengan begitu, apa yang terjadi antara mereka tidak perlu terbongkar. Moza tak bisa membayangkan andai saja ia sempat diperkenalkan pada ibunya Andra yang kini menjadi ibu mertuanya. Sudah pasti hubungannya dengan Andra terbongkar. “Foto atau apa pun?” Moza kembali bertanya. Andra menggeleng. “Aku hanya bisa berharap … semoga perempuan itu bahagia di mana pun dan dengan siapa pun dia sekarang.” “Astaga, kenapa jadi bahas perempuan itu?” kekeh Andra. “Sepertinya aku benar-benar merasa nyaman denganmu sehingga tanpa ragu menceritakannya. Entah karena pendekatan kita sebagai lawan main berhasil atau bisa jadi karena kita merupakan saudara ipar. Aku sungguh nggak merasa sungkan saat menceritakannya.” “Mas Andra tenang aja, aku nggak akan membocorkan kisahnya, kok. Aku bukan tukang gosip.” Mereka kemudian terkekeh. Andra tidak tahu saja kalau wanita yang sedang ia bicarakan adalah wanita yang saat ini duduk di sampingnya. Mobil yang Andra kemudikan mulai memasuki kediaman Naya dan Nando, ibu kandung Andra dan papa mertua Moza. Tentu saja ini bukan kali pertama mereka datang ke sini karena Moza sudah berkali-kali berkunjung ke rumah besar ini sedangkan Andra baru beberapa kali. Hanya saja, ini adalah pertama kalinya mereka datang bersama. Bunyi mobil berdecit terdengar bersamaan mobil yang Andra kemudikan telah berhenti di halaman rumah Nando. Semenjak menikah dengan Nando, ibunya Andra memang diboyong oleh pria paruh baya itu untuk tinggal di rumah mewah ini. “Lihatlah, nenek-nenek dan kakek-kakek itu terlihat sangat bahagia bersama,” ucap Andra tepat setelah mematikan mesin mobilnya. Ia menunjuk ke arah wanita dan pria yang sama-sama paruh baya sedang memetik pohon mangga di halaman rumah mereka. Pohonnya tidak terlalu tinggi sehingga tidak butuh alat untuk memetik buahnya. Moza kemudian menoleh ke arah yang Andra tunjuk. “Mereka hidup bersama sambil menghabiskan masa tua berdua. Romantis banget,” ucapnya kemudian. “Ternyata cinta sejati muncul di pernikahan kedua mereka dengan usia yang nggak bisa dikatakan muda lagi,” sambungnya. “Andai tahu ibu akan se-bahagia itu … seharusnya aku merestui mereka sejak awal. Entah apa yang membuatku dulu melarang mereka bersama,” kata Andra. “Ayo turun,” sambungnya kemudian. Mereka berdua turun dari mobil dan bersama-sama menghampiri Naya dan Nando yang tentu saja menyambut hangat kedatangan mereka. “Mozaaa….” Naya langsung memeluk menantunya dengan hangat. Setelah Naya melepaskan pelukannya, Moza kemudian mencium tangan Naya dan dilanjutkan mencium tangan Nando. “Ibu sama papa sehat, kan?” tanya Moza kemudian. “Seperti yang kamu lihat. Kami berdua sehat dan bahagia,” balas Naya. “Sayang sekali ya, Joe tidak bisa ikut. Andai dia ikut, pasti ini akan menjadi kumpul keluarga pertama dengan formasi lengkap,” timpal Nando. “Joe udah pernah ambil libur, jadi belum bisa ambil lagi, Pa,” jelas Moza. “Tahu sendiri, kan, sinetron stripping-nya lagi digandrungi orang-orang.” “Kamu juga katanya lagi sibuk mempersiapkan film sama Andra?” “Iya, Pa. Kami terpilih menjadi pemeran utama dalam sebuah film. Doain ya, semoga semuanya berjalan lancar,” pinta Moza. “Ada-ada saja, ini konyol tapi nyata. Kalian saudara ipar tapi harus menjadi pasangan dalam sebuah film.” Nando sampai terkekeh, tapi pria paruh baya itu percaya anak tiri dan menantunya pasti profesional. “Biasalah Pa, tuntutan pekerjaan. Mau bagaimana lagi?” kata Naya. “Benar, Bu. Joe aja di sinetron berperan jadi suami istri sama perempuan lain. Jadi papa juga tidak heran kalau Moza juga akan beradu akting dengan pria lain yang kebetulannya Andra. Dan hal-hal seperti ini akan terus berlangsung selagi mereka belum mau pensiun dari dunia seni peran.” “Ya, inilah risiko yang harus aku dan Joe ambil. Sebelum menikah, ini salah satu klausul yang kami bahas lumayan lama,” kata Moza. “Kuncinya percaya kalau semua dilakukan dengan profesional dan tidak ada affair di dalamnya,” balas Nando. “Kalian berdua pasti lebih paham-lah karena berada di bidang yang sama,” sambungnya. “Iya, Pa. Aku sama Joe saling percaya, kok.” “Sekarang, bagaimana kalau kita masuk? Yuk Moz, ibu nanti kupasin mangga buat kamu. Ini mangga matang pohon dan manisnya banget-banget, kamu harus coba.” Moza mengangguk-angguk. “Makasih, Bu.” Setelah itu, Naya langsung merangkul Moza, mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan Andra dan papa tirinya masih di luar. “Andra, bisa bantu papa bawakan mangga ini ke dalam?” “Tentu,” balas Andra sambil membawa belasan mangga di dalam wadah yang baru saja dipanen. *** Setelah cukup lama berkumpul berempat sambil membicarakan banyak hal, di sinilah Moza dan Andra berada sekarang. Mereka berada di lantai dua, tepatnya berdiri berdampingan di balkon sambil menatap Naya dan Nando yang kini sedang duduk berdua di gazebo samping rumah, menikmati teh hangat sambil mendengarkan musik tembang kenangan yang diputar melalui ponsel yang disambungkan dengan pengeras suara. Suaranya terdengar sampai lantai dua di mana Moza dan Andra berada. “Mereka benar-benar sedang menikmati masa tua bersama,” ucap Andra. “Ya. Mas Andra benar,” balas Moza, masih menatap Naya dan Nando di bawah sana. “Ngomong-ngomong, kamu sudah sangat akrab dengan mereka,” kata Andra sambil masuk ke ruangan yang terhubung langsung dengan balkon. Ruangan itu bisa dibilang ruangan tempat latihan Joe saat masih tinggal di rumah ini pada awal-awal kariernya. Ya, Nando memang menyediakan satu ruangan khusus di lantai dua untuk mendukung putranya berlatih mengasah kemampuan aktingnya. Meskipun kini ruangan tersebut sudah jarang digunakan, tapi Nando tidak akan mengubah apa pun yang ada di ruangan itu, terlebih sekarang putra tiri dan menantunya juga aktor dan aktris sehingga bisa saja sewaktu-waktu mereka bertiga --Joe, Moza maupun Andra ingin berlatih di tempat tersebut. Ruangan kedap suara tersebut sebenarnya tidak terlalu besar, hanya sekitar 4x4 meter. Juga, tidak terlalu banyak barang-barang di sana, hanya sofa yang nyaman, lemari berisi barang-barang untuk menjunjang latihan dan TV berukuran besar untuk menonton drama maupun film. Maksudnya bukan sekadar menonton, tapi sekalian secara langsung dengan memperhatikan secara detail cara para pemerannya berakting dan menghidupkan tokoh. Moza yang mengikuti Andra dari belakang pun menjawab, “Mana mungkin nggak akrab? Mereka adalah mertuaku. Mereka juga menyayangiku seperti anak sendiri.” “Mulai sekarang, kapan-kapan saat ada acara keluarga … aku akan datang,” balas Andra. Moza mengangguk-angguk. “Baguslah kalau begitu.” “Ngomong-ngomong, ada dialog Alex sama Asa yang bikin aku lumayan berdebar,” kata Andra. Dua nama yang ia sebutkan barusan adalah nama tokoh yang mereka perankan. Alex dan Asa. Bicara soal scene dan dialog yang membuat jantung berdebar kencang, tentu saja menurut Moza banyak. Moza yakin akan semakin parah debarannya saat mempraktikannya langsung dengan Andra. Namun, Moza sengaja tidak menjawab apa-apa, membiarkan Andra melanjutkan ucapannya. “Aku paling suka bagian pas bagian confess, serius feel-nya terasa kayak pecah banget mereka akhirnya saling tahu perasaan satu sama lain. Dan yang bikin aneh, aku bisa merasakan seolah beneran menjadi Alex. Sepertinya aku benar-benar mendalami peran ini.” “Maksudnya pas Asa bilang … ‘kita nggak seharusnya bertemu lagi’, bener?” tanya Moza kemudian. “Ya, kamu benar kita nggak seharusnya bertemu lagi sekarang, melainkan tiga tahun lalu sebelum aku bertunangan,” ucap Andra sambil berjalan mendekat pada Moza. Jujur, Moza sempat terkejut saat menyadari Andra mengatakannya dalam versi dialog Alex. Rupanya pria itu ingin sekalian berlatih. Baiklah, Moza yang langsung paham akan menjelma menjadi Asa sekarang. Terlebih mereka kini telah berdiri berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Moza menggeleng. “Enggak. Tiga tahun lalu pun nggak ada bedanya. Kita nggak seharusnya bertemu lagi.” “Kenapa?” “Aku nggak mau jatuh cinta lagi sama kamu, Lex.” “Tapi kenyataannya udah, kan?” Moza hanya menggeleng. “Asa dengar, aku hanya bertunangan. Bukan menikah. Aku bisa membatalkan pertunanganku kapan aja lalu kita kembali bersama. Apalagi setelah semuanya jelas bahwa kita masih ada rasa….” “Enggak, Lex. Itu salah!” “Sa, apa kamu tahu apa yang sedang aku pikirkan detik ini juga?” Moza menggeleng sesuai naskah, tapi detik berikutnya ia langsung tersadar kalau adegan selanjutnya adalah kissing. Andra tidak mungkin mempraktikannya sampai sejauh itu, kan? “Detik ini juga, aku ingin menciummu.” “Me-menciumku?” gugup Moza yang lagi-lagi sesuai naskah, tapi tak bisa dimungkiri ia mulai was-was karena Andra semakin mendekat padanya. “Ya, begini….” Setelah mengatakan itu, Andra mendekatkan bibirnya pada bibir Moza untuk berciuman. Moza tentu menghindar, bukan karena dalam naskahnya Asa berusaha menghindar dari Alex. Namun, Moza versi dirinya sendiri pun sangat yakin untuk tidak membiarkan ciuman ini berlanjut apalagi semakin jauh. Namun, Andra seolah tidak memberikan kesempatan untuk Moza berhasil menghindar. Pria itu mencium Moza tanpa ampun, membuat Moza berada di ambang batas kesadarannya. Konyolnya, perlahan Moza mulai menikmatinya. Menikmati setiap detail bibir Andra saat melumat bibirnya. Oh tidak, ini gila! Kenapa kita malah ciuman beneran?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD