Bab 9

886 Words
Vanya terlihat berada di dalam sebuah lift sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan sebuah video pemberitaan tentang hubungannya dengan Samuel Jonathan. Sejujurnya, ia tidak ingin memikirkan masalah ini, tapi entah kenapa ada rasa penasaran dalam dirinya tentang bagaimana publik berkomentar terkait hubungan mereka. "Udah kubilang kan, Ayangku Samuel nggak mungkin menyimpang.” "Semua orang yang curiga sama hubungan Samuel dan asistennya harus minta maaf sih. Jahat banget fitnahannya." "Aku suka banget sama ceweknya Samuel. Dia cantik loh ternyata." "Nama cewek itu Vanya kan? Bukannya dia anaknya sutradara Dimas Salvadora?" "Pantes aja Samuel Jonathan sering main di film yang digarap Om Dimas. Ternyata anak mantunya toh, wkwkwkwk." "Nggak suka aku sama si Vanya itu. Muka pas-pasan kayak dia mana pantas sama kesayangan aku, Samuel. Cantikan juga aku kok kemana-mana." "Padahal Samuel sering main film sama aktris-aktris cantik, tapi kok milih pacaran sama wartawan biasa ya? Walaupun dia anak sutradara ternama, tapi mukanya nggak sebanding sama lawan main Samuel di film." Vanya melongo membaca berbagai komentar netizen itu. “Gue kalah cantik dari cewek-cewek yang main film sama dia. Cihhh, baru ngelihatin dari foto aja udah sok berkomentar,” gerutunya kesal. Di tengah kegiatannya mengomel, Vanya melirik ke arah dinding lift yang terbuat dari kaca. Di sana, ia melihat pantulan dirinya yang sedang berdiri. Wajahnya tampak polos tanpa makeup, kacamata bertengger di wajahnya, dan rambut hanya dicepol dengan beberapa helai anak rambut jatuh berantakan. Saat ini, Vanya hanya mengenakan kaos biasa, celana jeans kulot, dan sepatu kets. Rasa percaya diri yang tadi sempat muncul langsung terjun bebas. Namun, dengan cepat Vanya menggelengkan kepala, berusaha kembali optimis. “Lo bukannya jelek, Vanya. Lo cuma nggak punya waktu buat ngurusin penampilan karena sibuk kerja. Kalau lo dandan, pasti lo nggak kalah cantik dari cewek-cewek yang pernah main film sama dia,” gumam Vanya menyemangati diri sendiri. Pintu lift akhirnya terbuka saat tiba di lantai satu. Perlahan, ia berjalan keluar menuju area lobi. Baru dua langkah berjalan, Vanya tiba-tiba berhenti dan berbalik menghadap lift. Ia menatap pantulan dirinya dari pintu lift, lalu segera melepas pita rambut dan mengikat rambutnya lebih rapi. Setelah melihat penampilannya yang sudah sedikit lebih tertata, Vanya tersenyum puas. Ia kembali membalikkan badan untuk melanjutkan langkahnya. Namun, baru beberapa langkah, ia berhenti lagi. “Apa gue ke toilet dulu ya buat cuci muka?” gumam Vanya, terlihat berpikir keras. Setelah merasa idenya masuk akal, ia pun mengubah arah menuju toilet. Tapi belum sempat masuk, langkahnya kembali terhenti. “Ngapain gue repot-repot ngerapiin penampilan? Bodo amat dibilang nggak secantik lawan mainnya dia, harusnya itu nggak penting buat gue. Dari dulu penampilan gue ya begini. Jadi, kenapa harus berubah cuma biar dianggap pantas buat dia?” Vanya pun mengurungkan niat masuk ke toilet dan kembali berjalan menuju area lobi gedung apartemen. Ia memutuskan menunggu Samuel menjemputnya di tempat itu. Entah sudah berapa kali Vanya melirik jam di pergelangan tangannya. Ia tampak berdiri gelisah, memperhatikan mobil-mobil yang masuk ke area gedung apartemen. Sudah hampir satu jam ia menunggu Samuel, yang tadi mengatakan akan menjemputnya dari apartemen Raisa. “Ini dia ngerjain gue apa gimana sih?” gumam Vanya kesal. Ia mulai merasa tidak nyaman berdiri di depan lobi. Sejak tadi, beberapa orang yang berlalu-lalang tampak melirik ke arahnya. Melihat berita tentang dirinya dan Samuel yang masih hangat, tentu saja banyak orang yang mengenalinya sebagai kekasih aktor ternama itu. “Udahlah, mending gue pesen taksi online aja,” keluhnya. Ia pun merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel, dan bersiap memesan. Baru saja tangannya bergerak di atas layar, sebuah van hitam berhenti tepat di depannya. Vanya terdiam, menatap bingung. Pintu mobil terbuka. Terlihat Samuel Jonathan keluar dengan senyum manis di bibirnya, lalu berjalan perlahan menghampiri Vanya. “Hai,” sapa Samuel. “Maaf ya nunggu lama,” ucapnya dengan nada lembut. Ekspresi wajah Vanya seperti hendak menerkam pria di depannya. Tangannya bahkan terasa gatal ingin menjambak rambut pria itu. Samuel tentu menyadari ekspresi itu. Ia maju satu langkah, membungkuk agar sejajar dengan wajah Vanya, lalu berbisik, “Banyak yang merhatiin kita sekarang.” Vanya menghela napas, berusaha mengontrol ekspresi. Akhirnya, ia menyunggingkan senyum. “Aku nggak lama kok nungguin kamu. Cuma sedikit bikin kaki pegel aja,” jawabnya dengan nada yang lebih lembut, meski masih menyiratkan sindiran. Samuel tak kuasa menahan tawa melihat respon Vanya. Vanya terkejut ketika tangan Samuel bergerak ke arahnya, mengusap puncak kepalanya, lalu merapikan beberapa helai anak rambutnya. “Lucu,” gumam Samuel. Vanya semakin kesal melihat tingkah manis Samuel yang sok romantis. “Kita pulang sekarang yuk,” ujar Vanya, cepat-cepat menarik tangan Samuel dan menyeretnya masuk ke dalam mobil. Begitu masuk, Vanya menyadari bahwa Samuel tidak sendirian. Ada dua pria duduk di kursi depan. Yang satu tersenyum ramah, sementara yang lain hanya memasang ekspresi datar. “Halo Vanya, salam kenal,” sapa pria yang tersenyum. Vanya hanya membalas dengan senyum tipis, tanpa niat membalas sapaan. Namun ia sadar, kedua pria di depan terus menatap dirinya dan Samuel. “Ini mobilnya belum jalan?” tanya Vanya bingung. Semua pria di dalam mobil terdiam, menatap ke arahnya. Merasa ada yang aneh, Vanya mengikuti arah pandang mereka... lalu sedikit menunduk. Saat itulah ia menyadari — tangannya masih menggenggam tangan Samuel. Dengan cepat, ia menarik tangannya dan menghimpit tubuh ke arah pintu mobil, menjauh sejauh mungkin dari pria itu. Ya ampun, Vanya. Lo kenapa jadi malu-maluin gini sih? batinnya memaki diri sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD