Bab 16

1438 Words
Mengenakan celana training berwarna abu-abu dan sport bra yang dipadukan jaket olahraga, Vanya terlihat berlari santai menelusuri jalanan kompleks perumahaannya. Sesekali ia nampak menyapa beberapa tetangga yang dikenalnya. Pagi hari di hari minggu, cukup banyak orang-orang di perumahannya ini yang nampak berolahraga dengan jogging di sekitaran kompleks seperti Vanya. Menikmati cahaya matahari pagi sambil mencari keringat. Beberapa orang ada yang tidak berolahraga, namun hanya berjalan-jalan santai bersama anak mereka atau bahkan piaraan mereka seperti anjing maupun kucing. Merasa sudah cukup berlari selama dua jam lebih mengelilingi kompleks perumahannya, Vanya mulai merasa lelah dan membutuhkan istirahat. Gadis itu segera melangkahkan kakinya menuju ke arah rumahnya. Begitu memasuki gerbang rumahnya, Vanya mengerjit bingung ketika mendapati sebuah mobil asing yang terparkir di halaman rumahnya saat ini. “Mobil siapa sih ini?” Gumam Vanya bertanya-tanya. Ia tetap melanjutkan langkahnya memasuki rumah di tengah rasa penasarannya. “Pagi non Vanya.” Sapa seorang wanita paru baya yang adalah asisten rumah tangga yang sudah dipekerjakan orangtua Vanya dari dirinya masih kecil. “Pagi juga Bi. Oh iya, lagi ada tamu ya?” Tanya Vanya sambil mengedarkan pandangannya ke arah seluruh penjuru rumah. Wanita paru baya yang dipanggil Bibi oleh Vanya itu memberikan anggukan untuk menjawab pertanyaan dari putri majikannya tersebut. “Kayanya tamu Tuan Non. Masnya tadi udah ke taman belakang, sekarang pasti sedang ngobrol sama Tuan yang lagi minum pagi di taman.” Vanya semakin dibuat penasaran dengan jawaban asisten rumah tangga tersebut. “Siapa tamunya, Bibi kenal?” Vanya mendapatkan gelengan kepala sebagai jawaban. “Nggak kenal si Non, cuma muka Masnya nggak asing deh. Kaya pernah lihat, tapi Bibi lupa di mana?” “Ya udah aku pergi lihat sendiri aja deh.” Vanya segera melangkahkan kaki hendak menuju ke arah taman belakang rumahnya, dimana setiap hari minggu Papanya selalu menyempatkan untuk duduk santai di sana dengan segelas kopi. “Oh iya Non, Bibi udah nyiapin sarapan di meja makan.” Vanya yang tengah melangkah sempat membalikkan badan sebentar. “Oke Bi, habis mandi baru aku makan ya,” ucapnya. Setelah itu Vanya tetap melanjutkan langkah menuju taman belakang untuk melihat siapa tamu yang datang pagi-pagi menemui Papanya. Ketika sampai di taman belakang, ekspresi wajah Vanya langsung berubah kesal ketika melihat jelas siapa yang datang menemui Papanya. “Ngapain sih Pagi-pagi udah dateng ke sini?” Tanya Vanya di tengah langkahnya menuju ke tengah taman. Di tengah taman tersebut terdapat sebuah meja dengan beberapa kursi. Di sana duduk santai Dimas Salvadora dengan segelas kopi di hadapannya ditemani seorang pria tampan yang tidak lain adalah Samuel Jonathan. “Kamu udah selesai olahraga sayang?” Tanya Dimas sambil tersenyum lembut pada putrinya. Mengabaikan pertanyaan ketus yang diberikan Vanya pada Samuel. Samuel bahkan sama sekali tidak menunjukkan raut wajah tersinggung mendengar pertanyaan sinis yang diajukan Vanya pada dirinya. Pria itu malah nampak tersenyum santai menatap Vanya yang saat ini memberikan tatapan tajam pada dirinya. “Pagi Vanya,” sapa Samuel. Vanya mendengus kesal dan memilih mengalihkan pandangan pada Papanya. “Buruan kamu mandi dan siap-siap, jangan sampe Samuel nunggu lama,” ujar Dimas Salvadora pada putri sematawayangnya itu. Ekspresi bingung kembali muncul dari raut wajah Vanya setelah mendengar perkataan Papanya. “Siap-siap buat ngapain?” “Ya tentu saja keluar sama Samuel nak. Emang kamu pikir ngapain Samuel pagi-pagi di hari minggu dateng ke rumah. Dia mau ngajak kamu jalan, mumpung libur kan.” Vanya memberikan gelengan keras. “No, no, no. Aku hari ini mau istirahat Pa. Males banget kalau harus keluar, apalagi sama dia,” jawab Vanya yang sempat melirik sinis pada Samuel. Dimas menatap putrinya dan Samuel bergantian. “Apa salahnya sih nak keluar sama Samuel? Selain biar publik makin yakin sama hubungan kalian, kan kamu juga bisa refreshing di hari minggu. Daripada cuma diem di rumah dan nggak ngapa-ngapain kan.” “Kan kemarin aku udah ke lokasi syuting Pa. Lumayan banyak loh orang yang ada di lokasi kemarin. Pasti publik juga udah cukup yakin sama hubungan kami.” ujar Vanya dengan nada merengek. Menarik nafas panjang, pria berusia kisaran lima puluh tahun itu menatap lekat pada putrinya Vanya. “Samuel udah capek-capek ke sini sayang. Kamu jangan sia-siain usaha dia yang udah dateng ke sini pagi-pagi dong. Sana gih siap-siap,” perintah Dimas Salvadora dengan nada bicara yang cukup tegas, seakan menunjukkan bahwa Vanya tidak boleh membantah perkataannya itu. Dengan wajah pasrah Vanya akhirnya hanya bisa memberikan anggukan kemudian kembali berjalan memasuki rumah untuk pergi ke kamarnya dan bersiap-siap. Vanya duduk bersandar di kursi mobil dengan kedua tangan yang terlipat di depan dadanya. Wajahnya nampak begitu kusut menatap ke arah luar jendela, memperhatikan jalanan yang dilalui sepanjang mobil yang ditumpanginya ini melaju dengan kecepatan sedang. Samuel yang sedang fokus menyetir sesekali melirik ke arah gadis yang duduk di sampingnya saat ini. Ia tersenyum kecil melihat Vanya yang nampak terus saja cemberut, seakan menunjukkan bahwa keberadaannya di dalam mobil Samuel saat ini hanyalah sebuah keterpaksaan. “Kamu lagi pingin pergi ke suatu tempat?” Tanya Samuel yang tiba-tiba memecahkan keheningan di antara mereka berdua. Vanya melirik sebentar ke arah Samuel sebelum kembali menatap ke luar jendela. “Terserah kamu aja, aku ngikut,” jawab Vanya yang terdengar malas. Samuel hanya menganggukkan kepala perlahan tanpa memberikan komentar. Ia memilih kembali fokus menyetir mobil dan membiarkan Vanya larut dalam lamunannya saat ini. Setelah tiga puluh menit perjalanan, mobil yang dikendarai Samuel akhirnya memasuki kompleks sebuah gedung yang bertuliskan Taman Ismail Marzuki. Vanya yang duduk di samping Samuel tentu saja terkejut saat mulai menyadari dimana mereka berada saat ini. “Ngapain ke sini?” Tanya Vanya menatap bingung pada pria yang duduk di sampingnya ini. Samuel masih terdiam karena sedang sibuk mencari tempat parkir yang kosong. Begitu sudah menemukan yang ia cari dan memarkirkan mobilnya dengan aman, barulah pria itu mengalihkan pandangannya ke arah samping, agar lebih mudah menatap Vanya. “Bukannya kamu suka banget baca buku terutama Novel?” Tanya Samuel. “Aku ingat dulu kamu pingin banget ke sini kan?” Vanya terdiam cukup lama mendengar perkataan Samuel. Entah kenapa pikirannya langsung berputar pada saat lima tahun yang lalu. ***** Di salah satu taman yang ada di area sebuah kampus, terlihat sepasang insan manusia berbeda jenis kelamin yang nampak duduk santai di rerumputan sambil menikmati hembusan angin lembut yang menerpa wajah mereka. Sang gadis terlihat duduk bersandar di sebuah pohon besar tempat mereka berteduh, lalu sang pria berbaring santai di rerumputan dengan kepala yang diletakkan di pangkuan sang gadis. Jika sang pria terlihat bersantai dengan mata terpejam, gadis muda yang memangku kepalanya itu malah asyik membaca sebuah novel yang dipegangnya. Karena begitu larut dalam cerita pada novel yang ia baca, air mata tiba-tiba mulai mengalir membasahi pipi gadis itu. Pria yang sedang berbaring mulai kebingungan saat merasakan tetesan air yang mengenai wajahnya. Ia segera membuka matanya dan langsung bangun dari pembaringan dengan wajah panik ketika mendapati gadis yang bersamanya ini tengah menangis. “Kamu kenapa nangis?” tanya Pria itu khawatir. Gadis yang ditanyai itu nampak semakin menangis mendapati pertanyaan tersebut. Ia kemudian mengangkat novel yang dipegangnya untuk ditunjukkan pada pria tersebut. “Ceritanya sedih Sam,” ucap gadis itu. Mendengar jawaban tersebut membuat pria yang dipanggil Sam itu menghela nafas panjang. “Astaga Vanya, aku kira kamu nangis kenapa loh,” ucapnya sambil mengusap lembut pipi gadis di hadapannya itu. “Kebiasaan deh, kalau baca novel sampai nangis kaya gini. Nanti mata kamu bengkak lagi loh.” “Ya gimana lagi, baca novel kan emang seru. Coba deh sesekali kamu baca buku kaya aku, dijamin kamu bakal nemu keseruannya.” Samuel tertawa kecil mendengar perkataan kekasihnya itu. “Kamu kan tahu aku nggak suka baca buku kaya gitu. Apalagi baca novel yang melankolis kaya novel-novel yang kamu baca selama ini.” Vanya nampak cemberut mendengar perkataan Samuel. “Baca naskah yang tebel banget itu aja kamu bisa, masa baca novel nggak bisa. Padahal dengan bisa masuk dalam cerita dan karakter di dalam novel, kamu bisa sekalian belajar akting dengan memahami dan mendalami sebuah karakter tokoh dalam cerita,” jelasnya. Samuel memberikan anggukan paham. “Iya, iya aku paham. Nanti kalau ada waktu luang aku coba deh baca beberapa novel kamu ya,” ujarnya nampak membujuk Vanya sambil mengusap lembut puncak kepala gadis itu. Perkataan Samuel membuat Vanya langsung tersenyum lebar. Gadis itu segera merangkul lengan pria di hadapannya itu dan menyandarkan kepalanya di bahu Samuel. “Aku pingin deh sekali-kali ngedate di perpustakaan umum sama kamu. Pasti romantis banget ngedate sambil baca buku bareng.” Samuel tidak bisa menahan tawa mendengar perkataan Vanya. “itu kita mau ngedate atau kerja kelompok?” Wajah Vanya kembali cemberut dan langsung memukul lengan Samuel. “iiiiihhhh, kamu tuh emang ngeselin deh.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD