Hari itu, langit Jakarta tampak suram dan kelabu. Bukan karena mendung yang menggantung atau hujan yang turun, tetapi karena benak Vanya dipenuhi kabut pikiran yang berat, tebal, dan enggan sirna. Udara terasa pengap, meskipun jendela kamar apartemennya terbuka lebar. Semuanya terasa sesak. Pagi bahkan belum benar-benar matang saat jari-jarinya dengan gemetar mengetik sebuah pesan singkat. Ia kirimkan pada atasannya, Mba Putri, dengan kalimat sederhana yang diketik tanpa pikir panjang: “Saya kurang enak badan, Mba. Mohon izin nggak masuk kerja hari ini.” Tidak ada penjelasan tambahan. Tidak ada klarifikasi. Ia tahu, jika harus menjelaskan lebih jauh, ia sendiri belum yakin harus mulai dari mana. Kepalanya terlalu penuh. Hatinya terlalu riuh. Setelah mengganti pakaian kerja dengan kaus