2. Kelakuan Jerome

1805 Words
Karena kejadian tadi malam, Jeza mendapat banyak teguran dari mamanya, di tambah lagi dengan ledekan Ergan yang menjadi pelengkap sempurna untuk harinya yang terasa bagai bencana. Sudah di katakan jika Yuri adalah gadis kecil yang cerewet, banyak sekali yang ia bicarakan, termasuk hal tadi malam. Padahal Jeza sudah mewanti-wanti hal ini dan membujuk Yuri untuk tetap mengunci mulutnya rapat-rapat. Namun, percuma. Sekalinya banyak bicara, ya akan seperti itu terus. “Jadi tadi malam enggak papa, ‘kan, Jez?” tanya Misya mengoleskan selai kacang di atas rotinya. “Ya enggak papa, Kak. Sebenernya salah Yuri juga sih. Dia main lari aja,” ujar Jeza kesal. Ia menggigit kasar roti di tangannya. “Namanya juga bocil. Yang gede harus paham, dong,” timpal Ergan melempar sebuah senyum konyol yang membuat Jeza ingin melenyapkan bibir adiknya itu. “Udahlah. Gak usah dibahas lagi. Di meja makan dilarang banyak ngomong. Fokus makan aja dulu,” ucap mama mengangkat kedua tangannya. “Nanti di mobil kita bahas lagi. Kita hajar Jeza.” “Mama!” Jeza memprotes kesal. Giliran dirinya yang bermasalah, satu keluarga sangat antusias meledeknya. “Kak, lo kalau di rumah kenapa aktif banget tapi kalau di sekolah enggak? Gue perhatiin di kelas mulu, ke kantin jarang. Sekalinya ke luar kelas, sendirian, gak punya temen.” Kalimat tanpa beban yang keluar dari mulut Ergan itu sukses membuat semua orang terkejut, kecuali Jeza. Sejujurnya, ia benci jika seseorang mengungkit tentang kepribadiannya. Ia tahu dirinya dan ia juga sedang berusaha. Tapi, entah kenapa orang-orang selalu menjurikannya padahal ia tengah berjuang,. “Ergan. Diam. Masih di meja makan.” Mama Kembali memperingatkan. “Ya ampun kalian, perasaan dari dulu dibilangin jangan banyak omong di meja makan, masih aja sampe sekarang begitu terus,” dumel mama kemudian. “Maaf, Ma,” ujar Ergan akhirnya, membuat Misya tersenyum meledek ke arahnya. Jeza sendiri masih diam dan melanjutkan makannya. Ingin, sih, membalas perkataan Ergan. Tapi, yang ada dialog mereka akan lebih panjang dan ujung-ujungnya ia yang tersudutkan. Jeza hanya merasa muak dengan ini. Beberapa menit setelahnya, ketika mereka semua selesai dengan sarapannya. Satu persatu mulai membawa ransel dan keluar dari rumah. Namun, sebelum itu …. “Misya berangkat dulu, Ayah.” Mama berdiri di ambang pintu, mengukir senyum melihat ketiga anaknya yang selalu tidak lupa dengan rutinitas pagi mereka yang satu ini. Mama sebenarnya selalu sedih setiap pagi, tapi memang beliau tidak menunjukkannya. Entahlah, walaupun sudah bertahun-tahun berlalu, ketika anak-anaknya memegang bingkai foto persegi berwarna hitam di mana ada wajah sang suami di sana, setiap pagi meminta ijin untuk memulai hari mereka, rasanya ada sesuatu tidak kasat mata yang mengurut dadanya. Setelah Misya. Jeza mengambil alih bingkai foto almarhum Ayahnya dan memejamkan matanya. Ayah bakalan selalu ada di hati Jeza. Enggak kemarin, enggak hari ini, enggak besok, semua sama aja. Doain Jeza juga biar bisa cepet berubah. Jeza, kami semua … sayang sama ayah. Jeza membuka matanya. Tidak seperti dulu di mana ia selalu menangis setelah meminta ijin pada ayahnya. Sekarang ia sudah jauh lebih tegar. Sudah lebih bisa menerima ketiadaan ayahnya di sisi mereka. Sekarang giliran Ergan. Cowok berseragam putih-biru tua itu selalu yang tercepat. Mungkin hanya dua detik dan ia sudah melepaskan bingkai foto ayahnya. “Cepet banget. Apa sih yang dibilang?” tanya Misya penasaran. “Ada, deh. Kepo.” Misya menjitak pelan kepala Ergan sebelum merangkulnya sembari berjalan keluar rumah. “Inget, kamu tuh cowok satu-satunya di keluarga ini. Belajar yang rajin soalnya—” “Iya-iya.” Ergan berseru kesal, menghempaskan tangan Misya dari pundaknya. “Ngerti, kok, ngerti ….” Mama menggelengkan kepala melihat kelakuan dua anaknya itu. Setiap pagi selalu tidak bisa diam, seperti cacing kepanasan. Namun jika ditilik kembali. Memang Misya, sih, yang menjadi biang masalah. Jeza sendiri sudah merasa lelah dengan hanya melihat tingkah Misya dan Ergan. Ia ingin tenang dan menikmati suasana pagi sebelum kembali berakhir di tempat yang ia rasa seperti neraka. Ya, karena ia merasa disiksa di sana. “Belajar yang bagus kalian berdua!” seru Misya dari dalam mobil yang kacanya sengaja diturunkan. “Iya-iya bawel banget, sih.” Ergan berdecak kesal. Kakak sulungnya memang kadang semenyebalkan itu hingga ia tidak ingin menganggap kehadiran Misya. Rutinitas mama memang seperti ini. Mengantar Jeza dan Ergan lebih dulu karena sekolah mereka memang berada pada satu tempat. Lalu Misya ke kampusnya dengan jurusan yang biasanya menyandang jas putih dan stetoskop, anak sulungnya memang mengikuti jejaknya sebagai dokter. Dan terakhir, rumah sakit tempat ia bekerja. Mama sama sekali tidak keberatan melakukan hal yang sama berulang-ulang kali bahkan sampai bertahun-tahun. Ia hanya senang berada di sisi semua anaknya selagi mereka tumbuh berkembang. “Ma …,” panggil Misya ketika mobil sudah melaju. Ekspresinya berubah drastis dari yang tadi ceria menjadi murung seketika. “Kenapa, Sya?” tanya mama yang tidak menyadari ekspresi anaknya. “Kayaknya aku sama Keith gak berjalan mulus, deh.” Mama mengernyit. Ia tidak bisa menoleh karena jalan di depan cukup macet hingga ia harus berkonsentrasi penuh. “Gak mulus gimana?” Misya menghembuskan nafasnya dan menyandarkan kepalanya ke kursi. “Soalnya tadi malam, Misya lihat di hp Keith ada foto cewek lain, Ma.” “Ya siapa tau keluarganya, ‘kan? Kenapa gak kamu coba tanya aja ke dia langsung?” Misya mengusap wajahnya dengan kasar. “Udah. Cuma Keith gak mau jawab. Dia juga keliatan panik gitu. Mana foto mereka mesra banget lagi.” Mama terkekeh pelan. “Yauda, nanti tanya lagi ke dia. Kalau emang kamu gak nyaman lagi sama dia, tinggal putus. Yang enggak setia enggak perlu diperjuangin. Oke?” Misya tersenyum tertahan. Ucapan mamanya selalu benar. Sebenarnya ia juga tahu apa yang ia harus lakukan. Tapi mendengar langsung dari sang mama rasanya lebih tenang dan senang. “Oke.” *** Jeza dan Ergan berpisah di satu titik. Karena memang gedung kelas mereka terpisah cukup jauh walaupun masih dengan judul satu sekolah. SMA dan SMP Dharmawangsa. Yang dikatakan Jeza tentang siksaan itu bukan hanya bualan belaka. Melainkan fakta. Yang dikatakan Ergan tentang Jeza yang tidak memiliki teman juga bukan hanya candaan, tapi fakta. Jeza berjalan di Lorong yang ramai, sendirian ketika siswi lain sedang bercerita seru dengan temannya. Ia iri? Terkadang merasa seperti itu. Namun, sejauh ini, tidak ada teman yang benar-benar teman menurutnya. Apakah pantas disebut teman ketika orang itu dengan terang-terangan mencemooh dengan judul bercanda? Katanya bercanda, tapi bukannya lucu malah menyakitkan. Itu mengapa Jeza memutuskan lebih baik sendirian. Tapi sendirianpun juga tak menguntungkan. Sulit ketika ada tugas bagi kelompok dan ia tersingkirkan karena yang lain maunya dengan teman akrab mereka. Ya, tapi itu hanyalah sedikit alasan dari Jeza mengapa ia mengatakan dirinya seolah di siksa. Yang paling menyebalkan ialah perundungan. Hal yang rasa-rasanya sudah sering terjadi pada seseorang yang mirip dirinya. Jeza adalah siswi pintar. Karena kepintarannya, perundungan itu tak dilakukan secara terang-terangan namun ia bisa merasakan. Dirinya juga paling benci jika di sama-samakan dengan sesuatu yang buruk. Setiap harinya, Jeza menguatkan mentalnya dengan berkata ini semua akan segera selesai. Ya, mengingat dirinya sudah kelas tiga, walaupun masih semester pertama. Cita-cita terbesar Jeza adalah bisa pergi jauh dari tempat tinggalnya saat ini. “Jez, lo yang buang sampah, ya.” Salah satu hal yang kurang ia sukai adalah ini. Jeza selalu diberi tugas membuang sampah yang seharusnya ini adalah pekerjaan siswa pria. “Anak cowo udah pada angkatin bangku sama nyiram bunga. Jadi tinggal buang sampah doang.” Mending jika sampah yang di maksud hanya satu keranjang kecil. Tapi faktanya satu keranjang besar dan Jeza harus melakukannya sendiri. Lagipula upacara akan di mulai yang artinya ia harus cepat mengerjakan tugasnya. Ketika Jeza membawa satu keranjang kecil yang penuh dengan sampah ke pusat pembuangan, ia bertemu dengan dua perempuan yang sedang membuang sampah juga. Mereka hanya saling lempar senyum tanpa berbicara lebih lanjut. Jeza menunggu dua perempuan itu selesai dengan sabar di belakang. Toh ini sampah terakhir, ada waktu sepuluh menit lagi sebelum upacara di mulai. “AAAaaa ….!!!” Mata Jeza terbuka lebar ketika dua perempuan di depannya berteriak kaget sebelum berjalan mundur dengan wajah yang sudah pucat pasi. “Eh kenapa?” tanya Jeza melangkah maju mendekati salah satu dari mereka. “TOLONG!” Teriakan minta tolong itu dilontarkan berkali-kali hingga semua orang berdatangan. Sedangkan perempuan yang di dekati Jeza, menunjuk ke arah pembuangan sampah dengan tangan gemetar. “A—ada mayat di sana,” ujarnya melirih dengan bibir gemetar. Jeza terkesiap. Ia juga terpaku sesaat. Namun, ia lebih berani hingga mendekat ke tempat yang ditunjuk siswi tadi. Matanya menyipit karena tak siap melihat mayat yang di maksud dengan mata terbuka lebar. Jeza menutup mulutnya tidak percaya setelah melihat seorang siswa pria tergeletak dengan tangan terlipat di atas perutnya. Tidak di atas sampah-sampah, tapi siswa itu lebih ke pinggir di mana tidak ada sampah sama sekali. Tapi, Jeza sepertinya tidak asing dengan wajah ini. Di mana ia pernah melihatnya, ya? “Aa!” Jeza mundur dan menutup mulutnya lebih rapat dengan kedua tangannya. Astaga, apakah barusan ia berteriak? Ia tidak percaya. Ini semua karena mata siswa tadi tiba-tiba terbuka dan ia tersenyum. “Ada apa ini? Mayat apa lagi?” Seorang guru masuk ke dalam kerumunan dan berdiri di samping Jeza. Sang guru kemudian terdengar mendesah pelan. “Saya tau itu pasti kamu. Jerome. Bangkit sekarang!” Suara tawa terdengar. Siswa tadi bangkit berdiri sembari menggaruk belakang lehernya. “Bapak tau aja.” “Apa alasan kamu kali ini, hm?” “Saya gabut, Pak. Belnya lama banget,” ujar Jerome dengan wajah memelas. “Dan di tempat sampah?” Jerome melipat bibirnya tak menjawab. Ia melirik ke sekelilingnya di mana semua orang melihat ke arahnya dan berbisik-bisik tetangga. Hah! Ia melakukannya lagi! Ini menyenangkan baginya. Selain mengusir rasa bosan, ia mendapatkan kegembiraan dari orang-orang yang menjerit ketakutan tadi. Sedangkan Jeza. Perempuan itu terkelu ketika melihat jelas wajah siswa tadi, ia jelas masih ingat dengan kejadian yang baru saja terjadi tadi malam. Begitupun Jerome. Senyumnya surut saat matanya bersitatap dengan Jeza. Ia juga sama terkejutnya. “Lo?” Jerome menunjuk Jeza. “Lo yang tadi malam bawa anak kecil, ‘kan? Lah masih jadi siswa? Gue kira ibu-ibu. Abisnya gue rasa gak pernah ketemu lo di sekolah ini. Sori, ya.” Jeza tidak menghiraukannya. Ia menatap Jerome dengan lekat. Wajah pucat pasi itu tidak bisa diabaikan Jeza begitu saja. Jerome memang tampak seperti orang sakit. “Lo … gak papa?” Jerome menatap Jeza dengan kedipan sekali di matanya. “Apa?” tanyanya pelan. Ia tidak salah dengar ucapan Jeza yang malah menanyakan keadaan dirinya? Padahal Jerome sudah sangat menjengkelkan dengan menakutinya. “Muka lo pucat. Lo gak papa?” Detik itu juga. Sebuah panah tak kasat mata menusuk bebas dada Jerome hingga menembus punggungnya. Ia tidak percaya ada orang seperti Jeza. Ia sungguh terkelu sekaligus terharu karena ada seseorang yang tulus menanyakan keadaannya. Dan dari pagi itu, Jerome bertekad akan mendekati Jeza. Satu waktu di mana semua alur cerita dimulai. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD