3. Pindah Kelas

2420 Words
Di SMA Dharmawangsa, kelas 12 IPS di bagi menjadi empat kelas. Tidak seperti sekolah pada umumnya di mana kelas nomor satu di isi oleh siswa-siswa pintar. Di Dharmawangsa, kelas nomor satu di isi oleh siswa yang bisa dibilang premannya sekolah. Dan untuk siswa berprestasi ada di kelas nomor empat, kelasnya Jeza. Sedangkan Jerome berada di kelas nomor satu atau 12 IPS 1. Di sana sengaja dipisahkan seperti itu agar ada kelas yang bisa diperhatikan lebih banyak yakni kelas nomor satu, sehingga kelakuan dan berpikir mereka nantinya akan sama dengan siswa-siswa di kelas nomor empat. Hanya saja, ada satu siswa di kelas satu yang sepertinya sifatnya sudah overdose. Malas belajar dan berimbas pada nilainya, ia adalah Jerome. Sebenarnya, Jerome adalah siswa yang cukup ramah dan sopan pada guru, humoris juga dan hyper aktif. Tapi, yang menjadi masalah besar adalah rasa malas belajarnya, sungguh-sungguh sakit mata orang yang melihat nilai rapornya. Tapi meskipun begitu, meski sudah banyak nasehat, Jerome tetap tidak berubah. Jerome juga sudah melalui banyak sekali remedial dan pada akhirnya lulus walau dengan nilai pas-pasan. Sebetulnya, para guru sudah merundingkan hal ini dengan kepala sekolah, mereka berpikir jika lebih baik Jerome dikeluarkan dari sekolah karena dua hal, nilainya yang buruk dan kasus-kasus yang menjeratnya. Ya, Jerome di kenal sebagai pembalap liar yang biasa disebut sampah masyarakat oleh masyarakat itu sendiri. Hal itu lah yang membuat Jerome kerap masuk ke ruang BK. Namun, Jerome juga punya sisi plus. Dia adalah kapten klub voli, tanpanya yang sangat bagus di posisi kapten dan setter, klub voli Dharmawangsa tidak mungkin seterkenal sekarang. Alasan ini adalah alasan satu-satunya kenapa Jerome tetap dipertahankan, dan tentu dengan harapan ia bisa berubah nantinya. Toh mereka yakin jika Jerome serius dalam belajar, pasti akan ada perubahan. Dan sekarang, beberapa guru merekomendasikan satu hal, yakni memindahkan Jerome dari kelas satu ke kelas empat. Sebuah kepercayaan jika orang biasa bertemu dengan orang-orang pintar maka kepintarannya akan tertular yang membuat beberapa guru tersebut yakin jika Jerome akan berubah. Tidak ada cara lain lagi, ini adalah satu-satunya yang tersisa. “Tapi kenapa saya dipindahkan, Pak?” tanya Jerome ketika dirinya dipanggil dan diperintahkan untuk pergi ke ruang kepala sekolah. “Di sana tuh tempat siswa-siswa ambis, Pak. Saya enggak bisa.” “Justru bagus, kan? Kamu bisa ketularan ambisnya,” jawab kepala sekolah dengan mudah. Jerome mengusap rambutnya yang agak basah karena keringat. “Tapi, Pak. Kalau saya enggak bisa ambis kayak mereka, yang ada saya malah ketinggalan dan tertinggal itu enggak enak banget, Pak.” “Yauda tinggal push diri kamu biar setara sama mereka.” “Enggak semudah itu, Pak. Kalau udah berusaha tapi tetap tertinggal gimana?” Jerome masih saja menolak. Beruntunganya, ia dan kepala sekolah cukup dekat, jadi ia bisa menolak dengan alasan ini itu walaupun jawaban kepala sekolah tetap … “Kamu harus pindah ke sana.” Jerome mendesah frustrasi mendengarnya. “Jerome, kamu harus coba. Saya juga udah siapin seseorang yang jadi mentor kamu, dia yang bakalan ajarin kamu banyak hal. Kamu coba aja dulu, jangan langsung pesimis begitu.” Jerome diam tidak menyahut, ia sibuk berpikir dan mencoba menerima keputusan dari kepala sekolah. Tetapi, ia teringat sesuatu dan sesuatu itu yang membuatnya mendesah berat. Tidak, ia tidak bisa melakukan ini. “Kalau saya tetep di kelas satu gimana, Pak? Saya janji bakal rajin belajar,” ucapnya dengan mata penuh harap. Kepala sekolah gantian mendesah berat. “Enggak bisa. Janji kamu itu selalu palsu. Enggak bisa dipercaya.” Kepala sekolah menggeleng tegas. “Bawa barang-barang kamu semuanya, pindah ke kelas empat. Sekarang.” Jerome benar-benar lesu, lelaki yang punya mata bening dan hidung mancung itu akhirnya bangkit berdiri dan berpamitan singkat pada kepala sekolah sebagai bentuk dari rasa hormatnya. Sampai di kelas satu, semua siswa di sana adalah teman Jerome kecuali yang pendiam. Mereka sudah berkumpul dan menatapnya dengan tatapan tanda tanya yang besar. Pasalnya, Jerome jarang di panggil ke kantor kepala sekolah, seringnya ke ruanga BK saja, “Gue pindah kelas.” “HAH!??” Pemberitahuan singkat dari Jerome tentu membuat seisi kelas heboh. Mereka berbondong-bondong memberi pertanyaan pada Jerome yang sedang membereskan buku-bukunya ke dalam tas ransel berwarna cokelat tua. “Jer, lo serius?” tanya Tama, salah satu dari dua teman dekat Jerome. Jerome menyandangkan ranselnya ke sebelah bahunya dan menatap Tama. “Iya, Tam. Gue pindah ke kelas empat. Doain ya gue beneran tobat.” Seseorang menepuk pundak Jerome dua kali. Ia adalah Lukas, teman dekat Jerome lainnya. “Gue yakin kok lo bakal dipindahin di mari lagi, santuy aja,” ujar dari lelaki yang ketampanannya tenar kemana-mana. Lukas dari SMA Dharmawangsa sudah tidak asing lagi di telinga para gadis di luar sana. “Amin paling serius,” sahut Jerome yang disambut gelak tawa teman-temannya. “Tapi enggak enak dong, kita kehilangan satu anggota,” seru seseorang dari mereka, dan seruan itu dibenarkan oleh yang lainnya. “Kan udah gue bilang, dia bakal balik ke sini lagi. Mana betah anak kelas empat ada Jerome di sana,” ujar Lukas lalu menoleh pada Jerome. “Ya, kan, Jer?” “Gue gak tau lo itu muji atau ngehina.” Jerome berdecak. “Lagian gue gak tau suasana di sana gimana, kalau pada diem kek batu semua ya bisa-bisa gue lumutan saking bosennya. Jadi liat nanti ajalah. Kalau betah, gue stay. Kalau enggak, gue go away.” Tama tertawa puas. “Ada-ada aja kata-kata lo, Bre.” Jerome tertawa kecil. Padahal ia sudah klop sekali dengan orang-orang di kelas ini, hampir semuanya selaras dengan dirinya. Tapi jika dipikir-pikir, tidak apa ia mencoba, siapa tahu ada peningkatan dari ranking kelas yang biasanya terakhir, jadi kedua dari akhir. Itu juga termasuk sebuah kemajuan, bukan? “Yaudalah ya, gue pergi dulu,” ujarnya dan mulai melangkah pergi meninggalkan kelas. Tidak ada kata-kata terakhir karena Jerome berpikir ia bukan mau mati, hanya mau pindah kelas. “JER, LO JANGAN LUPAIN KITA YA HAHA!!” Jerome hanya mengangkat dua jempolnya tinggi-tinggi di atas kepalanya tanpa berbalik. Jerome tahu mereka tertawa karena mereka yakin Jerome pasti akan dikembalikan ke kelas ini. Tapi, entah kenapa, Jerome malah merasa sebaliknya. Ia khawatir ia malah tidak bisa kembali ke sana karena sesuatu di dirinya yang mencuat kembali setelah sekian lama ia sembunyikan. Jerome menggelengkan kepalanya dan menambah kecepatan langkahnya, sedikit lagi ia sampai ke sebuah kelas yang diagung-agungkan dari kelas 12IPS. Ia kemudian berdiri di depan pintu dan mengetuk dua kali hingga guru di dalam menyahut serta menyuruhnya masuk. Jerome pernah mendengar kalau guru-guru akan lebih banyak masuk ke kelas satu dari pada kelas empat. Tapi kenyataannya, berbanding terbalik. Guru-guru malah sukanya masuk ke kelas empat, kelas anak pintar dari pada kelasa satu. Jerome berasumsi mungkin para guru bosan dengan kelas yang diisi anak-anak istimewa yang diam saja ketika guru selesai menjelaskan, entah memang sudah paham atau tidak paham sama sekali. “Pagi, Pak,” sapa Jerome terlebih dahulu, ia hendak menjelaskan alasan kedatangannya tapi sang guru ternyata sudah tahu. “Oh iya. Kamu Jerome yang pindah ke kelas ini, ya?” tanya pak guru dan diangguki Jerome. “Oke. Tadi soalnya kepala sekolah yang beritahu ke saya. Kalau gitu kamu perkenalkan diri dulu terus duduk di bangku paling ujung ya, bangku kosong cuma itu soalnya.” Jerome mengangguk dan mulai memposisikan dirinya tepat di depan kelas dan menghadap ke seluruh siswa yang rata-rata anak konglomerat itu. Tapi baru saja matanya memandang mereka semua, Jerome sempat terkejut melihat ada seseorang yang ia kenal di sana dan seseorang itu sekarang malah membuang tatapannya dari Jerome. Lah dia di kelas ini? Batin Jerome bertanya-tanya. “Pagi semua. Perkenalkan saya Djerytera Jeromalvin, panggil aja Jerome dari kelas empat,” ujar Jerome memperkenalkan dirinya dengan singkat. Ia rasa tidak ada lagi yang penting selain namanya. Sebenarnya, hampir seluruh siswa di SMA Dharmawangsa sudah mengenal Jerome. Tapi sayangnya ia terkenal karena sering mendapatkan hukuman yang artinya ia terkenal disebabkan hal buruk. Namun, sejak ia menjadi kapten voli satu tahun yang lalu, ketenarannya di Dharmawangsa tidak melulu tentang hal buruk. Kemenangan yang ia bawa dan mengharumkan nama sekolah tentu sesuatu yang harus di apresiasi. “Oke, Jerome. Terima kasih. Saya lupa satu hal, tadi kepala sekolah sudah bilang ke saya padahal. Jadi, selama kamu di kelas ini, satu orang jadi mentor kamu, ya. Dia adalah ….” Pak guru mengedarkan pandangannya ke seluruh isi kelas. “Nah, Jeza. Jezabiesya. Dia yang jadi mentor kamu, ya.” *** Oeskuita Jezabiesya. Jeza masih mencatat penjelasan dari guru di depan papan tulis ketika seseorang mengetuk pintu kelas mereka. Jeza mengernyit heran dan menanti siapa orangnya. Tapi kemudian, setelah orang itu masuk. Jeza jadi tidak fokus. Itu kan orang yang tadi malam sama tadi pagi, batinnya bergumam. Tak cukup sampai situ keterkejutan Jeza, dirinya dibuat terkejut kembali ketika guru tadi mengatakan kalau lelaki itu pindah ke kelas ini. Jeza bahkan membuang wajahnya ketika tatapan Jerome mengarah ke arahnya. Ia hanya berharap kalau Jerome tidak mengingatnya. Iya, jangan mengingatnya! Pelan-pelan, Jeza mengangkat kepalanya dan melihat Jerome memperkenalkan dirinya. Dari sana Jeza tahu namanya dan asal kelasnya. Jeza sudah agak tenang ketika pak guru mengatakan lebih lanjut tentang seseorang dari kelas mereka yang akan menjadi mentor Jerome. Jeza keringat dingin mendengarnya walau belum tentu ia yang akan dipilih. Tapi tolong, jangan ia, Jeza begitu berharap di dalam hatinya. Ia tidak siap jika ia yang nantinya ditunjuk sebagai pembimbing Jerome. Ketika pak guru mengedarkan pandangannya pun Jeza pura-pura menulis dan menunduk melihat buku tulisnya. Tapi memang sepertinya takdir menginginkan Jeza untuk sedikit menderita. Karena setelahnya ia mendengar namanya yang disebut. Jeza dengan perlahan mengangkat kepalanya dan melihat seluruh pasang mata melihat ke arahnya. Tepat saat itu juga, Jeza merasa lemas sekali dan tidak tahu harus berkata apa. “Gimana, Jeza? Kamu bersedia?” tanya pak guru yang membuat mata Jeza yang tadinya kehilangan cahaya menjadi bersemangat kembali. Kalimat itu berarti Jeza bisa menolak, bukan? Jerome sendiri tampak kaget dan buru-buru menambahkan. “Dia bersedia kok, Pak. Iya, saya sama dia aja. Saya terima kalau dia yang jadi mentor saya,” ujar Jerome tersenyum menatap pak guru. “Maaf, Pak.” Jeza berseru, ia kemudian menggeleng. “Tapi saya enggak bisa, Pak. Gimana saya mau bimbing Jerome kalau saya aja belum bisa bimbing diri saya sendiri?” ujarnya beralasan. Tapi sepertinya, usaha Jeza untuk speak up ini patut diapresiasi karena biasanya Jeza tidak berani untuk bersuara. Namun untuk kali ini, ia tidak bisa diam saja! “Oh ya?” Pak guru tampak berpikir. Sementara itu, Jerome menatap Jeza dengan pandangan heran, tapi Jeza tidak peduli dan ia membuang pandangannya dari Jerome. “Kalau gitu siapa aja yang bisa jadi mentor Jerome. Tapi harus bener-bener bertanggung jawab ya,” ujar pak guru akhirnya. Jerome hendak membuka mulutnya untuk protes, ia tidak terima dan tidak mau kalau bukan Jeza yang bukan mentornya. Tapi di sisi lain, ia juga tidak ingin punya mentor. Seolah-olah ia tidak bisa mengatur dirinya sendiri. “Saya aja, Pak.” Seorang siswi yang duduk paling depan mengangkat sebelah tangannya. Ia tersenyum manis dan berkata, “Saya bisa jadi mentor Jerome, Pak. Itu kalau Jerome-nya juga bersedia.” “Disa, ya? Oke. Jerome, gimana?” “Kalau saya enggak punya mentor gimana, Pak?” Pertanyaan Jerome ini sebenarnya sedikit menyakiti hati si perempuan tadi, hanya saja Jerome tak sadar dengan kalimatnya sendiri. “Gak bisa. Ini udah perintah dari kepsek. Kamu sendiri udah dikasih tau, kan?” Jerome menghela nafas pelan. Benar, ia memang tidak bisa menolak. “Yauda kalau gitu.” Jerome kemudian menoleh pada Disa, mentornya. “Thanks ya,” ujarnya singkat dan dibalas senyuman oleh Disa. Setelahnya, Jerome mulai melangkah ke arah kursi kosong di belakang, tempat duduknya mulai sekarang hingga nanti. Untuk sejenak, Jerome melirik ke arah kirinya, ke arah Jeza yang santai tanpa beban padahal sudah menolak menjadi mentornya. Lihat saja, Jerome akan mewawancarai gadis itu nanti. Dan kemudian, pelajaran yang sempat terhenti tadi dilanjutkan kembali. Juga diulang sedikit karena Jerome yang ketinggalan. Pak guru juga begitu memperhatikan Jerome dan sering menanyakannya banyak hal. Ini karena dari informasi yang di dapat, Jerome sering tidak memperhatikan pelajaran ketika kelas sedang berlangsung. Jadi mungkin saja Jerome akan paham jika betul-betul memperhatikan pelajaran. Yang menakjubkan ialah Jerome yang menjawab semua pertanyaan dengan luwes seolah ia sudah mempelajari topik pembahasan mereka dari hari-hari sebelumnya. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah Jerome diam-diam membuka internet. Dari tempatnya duduk, tentu tidak kelihatan kalau ia sedang memegang ponsel. Namun yah, jika hanya membaca apa yang tertera di layar ponsel, tentu tidak akan seluwes gaya bicaranya sekarang. Jadi, apa Jerome pintar? Tidak juga. Jerome bodoh? Tidak juga. Yang benar adalah Jerome yang sedang mematikan kinerja otaknya karena sebuah alasan besar yang ia simpan rapat-rapat. “Baiklah. Sampai sini pembelajaran kita. Terima kasih untuk semuanya atas partisipasi kalian. Untuk Disa, jangan lupa ya, anggap aja Jerome jadi anak kamu,” ujar pak guru yang membuat satu kelas tertawa. “Saya tinggal, ya. Semoga kita semua sehat selalu dan sampai jumpa di pertemuan berikutnya,” sambung pak guru memberi senyum unjuk gigi dan melangkah pergi dari sana. Jeza melirik Jerome melalui ekor matanya. Lelaki itu sedang sibuk membereskan barang-barangnya. Dan ketika kelas cukup riuh karena jam istirahat, Jeza menggunakan kesempatan itu untuk segera pergi dari sana. Di sisi lain, Disa berdiri dan melangkah mendakti Jerome. “Hai, Jer. Gue Disa. Gue sekretaris di kelas ini,” ujarnya memperkenalkan dirinya singkat. Jerome menatap Disa dan menganggukkan kepalanya. “Oh oke.” “Kalau lo kesulitan sama pelajaran apapun, lo bisa tanya ke gue. Dan kita juga bisa belajar bareng kalau lo mau,” ujarnya lagi dan hanya mendapat anggukan dari Jerome. Seorang teman Disa, Nila mendekatinya dan mengajaknya ke kantin dan Disa menyetujuinya lalu meninggalkan Jerome yang masih sibuk dengan barang-barangnya. “Gue tau kenapa lo mau jadi mentor Jerome,” celetuk Nila, membuat Disa tertawa pelan. “Seneng banget lah ya lo sekarang.” Disa mengibaskan rambutnya dan terkekeh kecil. “Iyalah. Gue suka banget tipe cowok badboy kayak Jerome. Kapan lagi coba, kan? Haha.” “Lo emang pinter cari kesempatan.” Di samping itu, Jerome yang telah selesai dengan kesibukannya, mengedarkan pandangannya di mana anggota kelas sudah berkurang banyak, hanya beberapa orang yang tersisa karena masih sibuk dengan buku-buku mereka. Jerome menggelengkan kepalanya, rajin sekali. Ia kemudian menoleh ke arah sisi kirinya dan mengernyit sudah tidak ada Jeza di sana. “Kemana dia?” gumam Jerome bermonolog. Ia berpikir sesaat, memikirkan tempat apa yang paling cocok untuk orang seperti Jeza. “Apa perpustakaan, ya?” Dan tanpa mengulur waktu lebih lama, Jerome berdiri dan melangkah cepat ke arah perpustakaan yang memang selalu menjadi tujuan Jeza setiap kali jam istirahat tiba. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD