Bab 11. Suasana kantor malam hari

1243 Words
Kasih menyerahkan kotak beledu berwarna biru ke atas meja. “Ini,” katanya kepada Davina yang duduk berhadapan dengannya. “Ini apa?” “Kalung,” jawab Kasih. “Pemberian Stefan semalam.” Davina tampak sedih mendengar jawaban dari Kasih itu. “Dia memberimu kalung?” Kasih menganggukkan kepala. “Iya.” Davina mengambil kotak beledu itu lalu membukanya. Sebuah kalung dengan bandul berwarna merah delima tampak begitu indah terpampang di hadapannya. Sontak saja perasaan hancur dan merana meliputinya. “Kenapa dia tega melakukan ini kepadaku?” tanya Davina pelan dengan nada pilu. “Dia hanya pria berengsek,” kata Kasih enteng. “Lo nggak perlu sedih kehilangan pria seperti itu.” Davina terdiam mendengar ucapan Kasih. Rasanya masih sulit untuk menerima fakta bahwa pria yang dicintainya, yang juga adalah suaminya, berselingkuh. Terlebih, saat ini Davina tengah hamil anak pria itu. Melihat ekspresi wajah Davina yang tampak murung dan tidak percaya, mendadak saja membuat Kasih teringat ucapan Biantara kemarin. “Davina,” ucap Kasih mengamati temannya itu yang tampak semakin murung. Davina mengangkat pandangan ke arah Kasih. “Jika tiba-tiba saja Stefan mengaku salah dan meminta maaf ke lo karena sudah berselingkuh dari lo, apa lo akan memaafkannya? Apa lo akan memberinya kesempatan kedua?” tanya Kasih penasaran. Davina kembali terdiam. Seolah dia sedang memikirkan benar-benar pertanyaan Kasih. Hal ini tentu saja membuat Kasih merasa kecewa. Kasih pikir, itu adalah pertanyaan yang sangat mudah. Kenapa Davina harus seserius ini memikirkan jawabannya? Apa jangan-jangan benar ucapan Biantara? Davina bisa jadi memaafkan suaminya dan memberinya kesempatan kedua? “Pertanyaan gue nggak sesulit itu, Davina,” kata Kasih mendadak merasa kesal sendiri. Davina terkesiap mendengar ucapan Kasih. “Iya,” ucapnya seraya mengelus perut buncitnya. “Gue hanya merasa kasihan dengan bayi di dalam perut gue. Kalau gue dan Stefan bercerai, bagaimana dengan bayi ini? Dia akan kehilangan sosok ayah.” “Akan lebih kasihan jika bayi lo kenal dengan ayah tukang selingkuh,” balas Kasih seraya bangkit dari duduk. “Mempertahankan pria berengsek seperti Stefan hanya akan bikin lo semakin menderita,” lanjutnya. “Gue harap lo nggak akan pernah menerimanya kembali, Davina.” Setelah mengucapkan itu Kasih langsung keluar dari ruang rapat yang mereka tempati untuk membicarakan masalah Stefan ini. Ketika Kasih hendak memasuki ruangannya untuk kembali ke mejanya, tiba-tiba saja Kasih melihat Frans berjalan menuju meja Kasih. Hal ini sontak membuat Kasih berhenti melangkah menuju ruangannya. Ia memilih untuk berbalik lalu berjalan menuju lift. Kasih sedang tidak ingin berurusan dengan Frans. Jadi, sebaiknya Kasih kabur sebelum Frans melihatnya. *** Kasih mengetuk-ngetukkan jari-jari tangannya ke atas meja. Tatapannya terfokus pada layar tablet di hadapannya. Sebuah desain jaket varsity terpampang di layar. Jaket yang memiliki perpaduan warna putih dan soft pink itu tampak cukup bagus di mata Kasih. Namun, Frans berkata sebaliknya. Pria itu memiliki pendapat bahwa warna dari desain jaket itu terlalu ‘cewek’ meskipun memang ditargetkan untuk perempuan. Dan tentu saja ini bukanlah kali pertama Frans meminta Kasih untuk merevisi warna ataupun gambar pada desain itu. Kalau tidak salah hitung, Kasih sudah mengirimkan email revisi desain itu kepada Frans sebanyak lima kali. Kasih menghela napas panjang. Sepertinya yang salah bukanlah warna ataupun desain yang dibuat oleh Kasih. Melainkan Frans lah yang salah. Pria itu memang agak dendam kepada Kasih karena selalu menolaknya. “Mbak Kasih belum pulang?” tanya suara dari arah pintu. Sontak saja Kasih menoleh ke sumber suara. Seorang OB tengah berdiri di ambang pintu dengan tatapan ke arah Kasih. Pertanyaan OB itu membuat Kasih secara spontan menatap ke jam di pergelangan tangannya. Saat ini jarum jam tengah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. “Ah, iya ini mau pulang, Mas,” ucap Kasih seraya kembali menatap ke arah di mana OB tadi berada. Namun, saat ini OB itu sudah tidak ada di tempatnya tadi. “Udah pergi aja,” gumam Kasih sambil merapikan barang-barangnya yang berada di atas meja. Kasih tinggal lebih lama di kantor bukan karena ingin. Melainkan hal ini karena Frans yang menuntut Kasih untuk segera merevisi desain buatannya. Frans bilang, dia menunggu Kasih untuk mengirimkan desain itu paling lambat malam ini pukul dua belas. Frans memang berniat untuk menyiksa Kasih. Kasih memasukkan tablet miliknya ke dalam tote bag miliknya. Setelah itu, Kasih bangkit dari duduk untuk pergi meninggalkan ruangan kerjanya yang saat ini sudah sepi. Hanya ada Kasih seorang di ruangan besar ini. Ketika meninggalkan ruangan, Kasih sempat menoleh ke kanan dan kiri, mencari siapa pun yang siapa tahu masih berada di kantor. Namun, saat ini lantai dua belas tampak sangat sepi. Bahkan, OB yang tadi bertanya kepada Kasih pun tidak ada di sekitar sini. Ke mana perginya OB itu? “Sial,” gumam Kasih mendadak ragu jika yang mengajaknya berbicara tadi adalah manusia. Kasih buru-buru menekan tombol pada lift, menunggu lift turun dari lantai atas. Meskipun Kasih memang sering melihat makhluk halus dan sejenisnya, bukan berarti Kasih menyukai melihat mereka. Kasih masih sering merasakan merinding di kulitnya setiap kali mereka tiba-tiba muncul di sekitar Kasih. Seperti saat ini. Leher bagian belakang Kasih mendadak saja terasa dingin seperti ada udara lembut yang tertiup menerpa lehernya. Pintu lift tiba-tiba terbuka. Kasih sempat terkesiap ketika melihat seseorang berada di dalam lift. “Kinena,” sapa pria itu ketika mendapati Kasih berdiri di depan lift. “Pak Bian,” balas Kasih menyapa bosnya itu. Segera Kasih melangkahkan kaki memasuki lift. “Kenapa jam segini kamu masih berada di kantor?” tanya Biantara kepada Kasih dengan nada bingung. “Pak Frans meminta untuk merevisi kerjaan, Pak,” jawab Kasih yang saat ini berdiri di samping Biantara. “Apa harus sampai lembur di kantor seperti ini?” “Pak Frans meminta untuk segera merevisi kerjaan itu,” kata Kasih menekankan kata segera. “Mau tidak mau saya harus tinggal untuk menyelesaikan apa yang diminta Pak Frans.” “Pak Frans sendiri mana? Dia juga masih di kantor?” Kasih mengangkat kedua bahunya tanda dirinya tidak tahu keberadaan Frans. Kasih pun tidak peduli dengan keberadaan Frans saat ini. “By the way, Pak Bian sendiri jam segini masih di kantor? Lagi banyak kerjaan?” tanya Kaish menoleh ke arah Biantara. Malam ini Biantara tampak selesu biasanya. Auranya pun sesuram kemarin. Bahkan, kalau boleh jujur, Biantara saat ini Kasih bisa melihat sesosok makhluk tak kasat mata yang tengah berdiri di pojokan dengan ketertarikan terhadap Biantara. Setahu Kasih, orang yang sedang sedih, galau, banyak masalah dan sejenisnya memang terlihat menarik di mana makhluk gaib. Dan Biantara ini contohnya. “Ponsel saya ketinggalan,” kata Biantara dengan helaan napas dalam. “Padahal saya sudah sampai rumah,” tambahnya terlihat sangat lelah. Kasih mengamati Biantara dengan ekspresi prihatin. Entah lah, di mata Kasih sekarang Biantara terlihat menyedihkan. Kasih jadi tidak tega melihatnya. “Liburan, Pak,” ucap Kasih. “Apa?” tanya Biantara menoleh ke arah Kasih dengan kernyitan di dahi. “Kata orang-orang liburan bisa menghilangkan stres. Jadi, ambil cuti. Pergi liburan.” “Siapa bilang saya sedang stres?” Kasih menoleh ke arah Biantara sekilas sebelum akhirnya tersenyum samar. “Hanya saran,” ucapnya kembali menatap pintu lift yang saat ini sudah terbuka. “Kalau begitu saya duluan, Pak. Mari.” Setelah mengucapkan itu Kasih segera melangkah meninggalkan lift. Namun, tiba-tiba saja Kasih mendengar Biantara memanggilnya. “Kinena?” Kasih menoleh ke arah belakangnya, di mana Biantara berada. “Iya, Pak?” “Kamu pulang naik apa?” Kasih diam sejenak seraya mengamati Biantara yang tampak menunggu jawaban dari Kasih. “Karpet ajaib,” jawabnya dengan nada bercanda. “Selamat malam, Pak. Hati-hati di jalan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD