Empat

2064 Words
Minggu (10.45), 06 Juni 2021 --------------------- “Paman, waktunya bangun!” Alan mengerang kesal karena suara berisik yang mengganggu tidurnya. Tangannya meraba samping ranjang lalu meraih bantal untuk menutupi telinga. “Paman, ini sudah siang.” Bersamaan dengan kalimat itu, cahaya matahari dari tirai jendela yang dibuka menerpa tubuh Alan. Namun Alan tidak bergeming karena posisi tidurnya membelakangi jendela dengan kepala ditutup bantal. “Paman!” Destia menghampiri ranjang lalu menarik bantal dari kepala Alan. Butuh kerja ekstra agar ia bisa menarik tubuh Alan hingga telentang di ranjang. Garis cahaya yang masuk melalui jendela langsung jatuh tepat di wajah Alan. “Lely, hentikan! Biarkan aku tidur beberapa jam lagi.” Alan bergumam. Destia menatap Alan heran. Lely? Apa itu pacar Alan? “Paman, ini aku Destia. Cepatlah bangun! Kau sudah berjanji akan membelikanku pakaian lagi.” Gumaman tidak jelas terdengar dari bibir Alan. Lalu mendadak lelaki itu menarik tubuh Destia hingga terbaring di sebelahnya, membuat Destia memekik kaget. Tidak berhenti sampai di situ, lengan dan tungkai kekar Alan membelit tubuh Destia seperti memeluk guling hingga wanita itu tidak dapat bergerak. Deg deg deg. Destia seperti bisa mendengar debar jantungnya sendiri. Wajahnya tepat berada di sebelah wajah Alan. Bahkan nafas hangat lelaki itu terasa menghembus daun telinga Destia, membuatnya merasakan geli yang aneh. “Paman,” gumam Destia. “Sebentar saja, Mia.” Belitan lengan Alan semakin erat. Destia menoleh dan pandangannya langsung tertuju ke bibir tipis Alan yang sedikit terbuka. Jantung Destia berdebar keras. Seperti ada desakan aneh dalam dirinya untuk memajukan tubuh lalu menyentuhkan bibirnya sendiri ke bibir Alan. Semakin lama Destia menatap wajah Alan—yang kini diakuinya sangat tampan—semakin dia ingin mengecupnya.  Akhirnya Destia mencapai titik dimana dia membiarkan keinginan tubuhnya mengambil alih. Dengan ragu, dia menggesekkan bibirnya di atas bibir Alan. Karena tidak ada reaksi balasan, Destia semakin berani. Perlahan dia membuka bibirnya lalu mengulum dengan lembut bibir bawah Alan yang terasa lembut dan kenyal. “Hmm, Rinda.” Gumaman Alan yang lagi-lagi menyebut nama wanita yang berbeda membuat Destia langsung tersadar. Dengan kesal dia mendorong d**a Alan. Tidak tanggung-tanggung, Destia yang menggunakan seluruh tenaganya dan Alan yang belum terjaga membuat dorongan itu berhasil menjatuhkan tubuh Alan ke lantai dan sukses menarik Alan secara paksa dari alam mimpi. “Astaga, siapa yang mendorongku?” geram Alan sambil berusaha bangkit dari lantai. Tapi baru saja dia berhasil duduk, sebuah bantal menghantam wajahnya. “Paman menyebalkan!” Tanpa penjelasan Destia turun dari ranjang lalu bergegas meninggalkan Alan yang menatap punggungnya dengan bingung. Jelas gadis itu terlihat marah padanya. Destia kembali ke dapur sambil menghentakkan kaki. Tadi dia sedang memasak sarapan lalu berhenti sejenak untuk membangunkan Alan. “Lely? Mia? Rinda?” gerutu Destia sambil menyalakan kompor. “Dasar buaya!” Destia membereskan peralatan dapur dengan kesal. Sesekali dia memaki Alan pelan sambil mencampur bahan makanan dengan tidak sabar. Mendadak Destia terdiam ketika menyadari tingkah anehnya. Kenapa dirinya harus marah? Bukankah hak Alan untuk memiliki kekasih sebanyak yang lelaki itu mau? Apa urusannya dengan dirinya? Destia memukul kepalanya sendiri untuk menyadarkan diri. Bayangan bibir Alan merasuk ke benaknya. Wajahnya langsung terasa panas hingga Destia harus menangkup pipi dengan kedua telapak tangan. Destia bahkan tidak tahu kalau dirinya bisa seliar itu sampai berani mencium lelaki yang sedang tidur. Ciuman itu memang bukan ciuman pertama Destia. Dia sudah pernah berciuman dengan cinta pertamanya ketika masih SMA. Tapi saat itu bahkan Destia tidak membalas. Dia hanya diam membiarkan kekasihnya yang mengeksplorasi bibirnya. Setelah dengan cinta pertamanya itu Destia tidak pernah memiliki kekasih lagi karena fokus untuk menyelesaikan pendidikan. “Aku tidak menyangka kau bisa masak.” Alan muncul mengganggu lamunan Destia. “Hmm, baunya enak sekali.” Lanjut lelaki itu. Destia memalingkan wajah dari Alan. Selain karena wajahnya langsung memerah ketika melihat bibir tipis Alan yang tampak menggoda, dia juga masih kesal karena tadi Alan mengabsen nama kekasihnya di depan Destia. “Aku belum sempat bertanya.” Alan berkata sambil menuang air dingin dari kulkas. “Bagaimana pekerjaan pertamamu kemarin?” “Baik.” “Apa ada sesuatu yang kau butuhkan untuk menemanimu di ruanganku? Buku tulis atau buku bacaan, misalnya?” “Tidak.” Alan mengerutkan kening melihat tingkah Destia yang tidak seperti biasa. Walau baru mengenal gadis itu belum sampai satu minggu, namun Alan langsung tahu bahwa sekarang ada yang sedang mengganggu pikiran Destia karena kelakuannya yang berubah drastis. “Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” “Tidak.” “Kau berubah pikiran dan ingin pulang?” Mendadak Destia berbalik menatap Alan dengan wajah garang. “Kenapa? Mulai merasa terganggu karena kehadiranku? Apa kau merindukan kekasih-kekasihmu?” “Destia, kau bicara apa?” “Baiklah, aku akan segera pergi. Jadi kau bisa mengundang pacarmu yang mana saja untuk menginap.” Destia sudah hendak melangkah pergi namun Alan menahan lengannya dan memaksa Destia menatap dirinya. “Aku tidak mengerti apa maksudmu.” Destia terdiam. Mendadak dia merasa malu karena tingkahnya yang tidak masuk akal. Sebenarnya ada apa dengannya? Perlahan Destia mengangkat wajahnya untuk menatap Alan. Dia nyengir untuk menyembunyikan perasaan malunya. “Paman, aku sedang belajar akting. Bagaimana menurutmu? Apa sudah bagus?” “Untuk apa belajar akting?” tanya Alan tidak percaya. “Cita-citaku menjadi artis.” Alan mendesah. Dia tahu Destia berbohong tapi tidak mau mengakuinya. “Lama-kelamaan aku semakin merasa sedang bersama Freddy.” “Maksud, Paman?” “Sudahlah, lupakan!” Alan melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Destia lalu mundur menjauh. “Apa kita bisa sarapan sekarang?” Destia terkesiap lalu langsung menuju kompor yang masih dibiarkannya dalam keadaan menyala dengan cemas. “Astaga, aku hampir lupa. Untung tidak gosong.” Alan hanya menatap semakin tertarik melihat Destia begitu luwes memasak di dapurnya. Sungguh, sekarang dia mulai percaya kalau Destia berkata jujur mengenai usianya pada pertemuan pertama mereka.   *** Begitu Alan meninggalkan Destia di ruangannya, wanita itu segera menuju kamar mandi yang menjadi satu dengan ruangan itu sambil membawa tasnya. Dia langsung mengenakan seragam pelayan Fly Club yang kemarin malam diberikan Dian sebelum Alan kembali. Baju itu lebih besar dari ukurannya. Tapi beruntung karena lebih sering menghabiskan waktu di rumah bersama Mamanya, Destia jadi banyak belajar pekerjaan ibu rumah tangga, salah satunya menjahit. Dia jadi bisa menyesuaikan sendiri ukuran pakaian itu setelah membeli peralatan menjahit ketika pergi berbelanja bersama Alan. Mama, pikir Destia sedih. Dia tidak pernah sebelumnya berpisah terlalu lama dari Mamanya. Walau belum satu minggu dia pergi, Destia sudah sangat merindukan Mamanya. Mungkin karena kepergiannya yang tidak meminta izin dengan baik sehingga Destia merasa begitu jauh dari Mamanya. Sejak kepergiannya, Destia hanya satu kali menelepon Mamanya. Dia hanya memberitahu bahwa keadaannya baik-baik saja dan sekarang sudah mendapat pekerjaan serta tempat tinggal. Juga tidak bisa sering-sering menelepon. Untung Mamanya mengerti walau Destia bisa merasakan kekhawatiran yang kental dari nada suara sang Mama. Sambil berusaha menepis lamunan tentang Mamanya, Destia mengeluarkan high-heel yang juga baru dibelinya tadi siang, tentu dengan uang Alan. Destia menatap pantulan dirinya di cermin lalu tersenyum puas.      Setidaknya sekarang dia beberapa centi lebih tinggi dan penampilannya sedikit lebih dewasa. Yah, sudah cukup bagus walau hanya sedikit. Selesai dengan pakaiannya, Destia segera keluar kamar mandi. Sejenak dia membereskan ruang kerja Alan—yang sebenarnya selalu dalam keadaan bersih dan rapi. Setelah itu barulah Destia keluar tanpa ragu karena yakin Alan tidak mungkin kembali sebelum lewat tengah malam nanti. “Wah Des, kau langsung bertambah tinggi hanya dalam semalam.” Goda Romi si bartender yang langsung mendapat pelototan dari Destia. Destia memang sudah lumayan akrab dengan si bartender. Selain itu tentu saja dia juga akrab dengan Dian dan seorang wanita yang berbicara dengannya pertama kali di bar, namanya Puput. “Jangan membuatku kesal atau kau akan melihat macan mengamuk.” Romi tertawa. “Kurasa kau lebih cocok diibaratkan kucing kecil yang manis.” Mau tidak mau akhirnya Destia terkekeh. Mereka masih terus bercanda sambil menata botol-botol dan gelas di meja bar sambil menunggu para pelanggan datang. “Di, apa aku sudah boleh mengantar minuman?” tanya Destia pada Dian yang mendatangi meja bar untuk membuat pesanan pelanggan. “Tidak. Kau masih harus membantuku di sini.” Ujar Romi. “Dasar kau! Baru sehari saja sudah bersikap posesif pada Destia.” Goda Dian. “Terserahlah. Yang penting aku tidak mau sendirian lagi di sini.” Romi tidak mau kalah. “Hei, Rom. Jadi selama ini kau tidak menganggapku.” Destia terkekeh melihat Fajar—bartender selain Romi—melingkarkan lengannya di leher Romi dengan posisi seperti hendak mencekik. Romi berusaha melepaskan diri sambil mengomel ke arah Fajar. “Kau lebih sering menggoda para pelanggan wanita daripada mengajakku mengobrol. Jangan heran kalau aku merasa sendirian.” Pegawai Fly Club yang lain hanya bisa tertawa melihat tingkah kedua bartender itu. Satu hal yang tidak pernah disangka Destia akan ditemuinya di sebuah bar adalah tali persaudaraan yang terlihat jelas dari para pegawainya. Bahkan dengan si bos pun, mereka sangat akrab. Beberapa saat kemudian, bar itu mulai ramai pengunjung seperti biasa. Semua pegawai sibuk melayani pelanggan “Fajar, lama tidak bertemu.” Seorang wanita paruh baya dengan penampilan glamor duduk di kursi bar. “Kau pasti Romi, kan?” Destia memperhatikan dengan tertarik wanita bergaun merah itu. Mungkin dia pelanggan tetap, pikir Destia. “Oh, Nyonya Shiren.” Fajar menyapa setelah mengenali wanita itu. “Iya. Sudah lama Anda tidak main ke sini.” Wanita itu mengedarkan pandang ke sekeliling Fly Club. “Tempat ini sudah banyak berubah. Sekarang terlihat lebih berkelas.” Shiren memuji. Kedua bartender itu hanya mengangguk sebagai tanggapan. “Oh ya, mana Rafka? Apa dia sudah memiliki klien malam ini?” Shiren bertanya sambil menyesap minuman yang dipesannya. Fajar dan Romi saling pandang sementara Destia menatap wanita itu bingung. “Rafka sudah tidak bekerja di sini lagi.” Akhirnya Fajar menjelaskan. Shiren mendesah kecewa. “Kenapa? Apa dia pindah ke kelab malam lain?” “Dia sudah menikah sekarang.” Jelas Fajar lagi. Dia melotot kesal pada Romi karena rekannya itu memilih diam dan tidak membantu menjelaskan. Shiren tampak kaget selama beberapa saat tapi lalu tersenyum. “Beruntungnya wanita yang dipilih Rafka. Kalau begitu bagaimana dengan Alan? Dia masih bekerja di sini?” Destia menajamkan pendengaran ketika nama Alan disebut. “Iya, Alan masih di sini.” Lagi-lagi Fajar yang menjawab. “Aku ingin ditemani Alan saja. Kalau tidak malam ini, besok malam juga tidak masalah.” “Ditemani bagaimana maksud Anda?” akhirnya Destia bersuara. Dia sungguh tidak suka nada sensual wanita itu. Hatinya langsung panas dan Destia sangat ingin mencakar wajah si Shiren itu. Shiren menoleh ke arah Destia. Dia memperhatikan Destia selama beberapa saat sebelum berujar, “Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Apa kau p*****r baru di sini?” “p*****r?” Destia membeo dengan mata terbelalak. “Ah, maaf. Aku tidak memperhalus ucapanku.” Wanita itu tersenyum menyesal yang tampak tulus. “Begini, Nyonya Shiren.” Fajar buru-buru menengahi ketika dilihatnya Destia seperti hendak melempar botol minuman ke kepala wanita itu. “Kami sudah tidak menyediakan jasa pekerja seks lagi.” “Kenapa?” Shiren tampak kaget. “Pemilik Fly Club sudah bukan Maya lagi. Sekarang club ini dikelola Alan.” Fajar menjelaskan hati-hati. “Astaga, sepertinya aku ketinggalan banyak berita.” Seru Shiren. “Sungguh sangat disayangkan. Fly Club tanpa pekerja seksnya pasti sangat membosankan.” Gerutu Shiren. “Bagaimana bisa Anda berulang kali mengucapkan kata ‘p*****r’ dan ‘pekerja seks’ tanpa merasa malu sedikit pun?” tangan Destia mengepal dan siap menjambak rambut bergelombang wanita itu. “Kau pasti belum sempat menikmati masa kejayaan Fly Club ketika masih di tangan Maya. Itu sebabnya kau merasa tabu dengan kata-kata itu, kan?” Shiren mencemooh. “Maaf, Nyonya. Anda sudah lihat bahwa Fly Club tidak lagi seperti dulu.” Romi akhirnya memutuskan untuk turut bicara. “Kalau Anda merasa kecewa, Anda bisa pergi kapan pun Anda mau.” “Apa kau mengusirku?” geram Shiren sambil melotot ke arah Romi. “Saya hanya berusaha membantu Anda. Kalau Anda terlibat masalah di sini, bisa-bisa media akan mengendus. Tentu Anda tidak mau publik mengetahui bahwa Nyonya Shiren yang merupakan istri pejabat suka menyewa gigolo untuk menemani malam-malamnya, kan?” Perlahan Shiren bangkit dengan mata berkilat marah. Lalu tanpa sepatah katapun, wanita itu pergi meninggalkan meja bar. Destia masih termangu menatap tempat perginya Nyonya Shiren. Beribu pertanyaan berkecamuk di benaknya tapi dia memilih tidak langsung menanyakannya pada Romi maupun Fajar. Destia berencana ingin menodong Alan untuk menjawab pertanyaannya, terutama karena nama Alan juga sempat menjadi bahan perbincangan.     --------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD