Minggu (10.48), 06 Juni 2021
------------------------
Alan melipat lengan di depan d**a dengan bosan. Dia sedang bersandar di pintu mobilnya sambil sesekali melirik jam tangan. Sudah lebih dari sepuluh menit dia menunggu di lapangan parkir Fly Club namun orang yang ditunggunya tak kunjung datang.
Alan mendongak dari posisi semula yang sedang menatap ujung sepatunya dengan pikiran melayang tak tentu arah ketika menyadari sebuah mobil parkir tepat di sebelah mobilnya. Jelas si pengendara mobil adalah orang yang ditunggunya karena tempat dimana mobil Alan diparkir khusus ditujukan untuk pegawai Fly Club dan orang terdekat Alan.
Seorang lelaki bermata abu-abu keluar dari mobil itu. Senyum khasnya tersungging namun tidak terlihat sorot bersalah di matanya padahal sudah terlambat hampir lima belas menit.
“Sedang menungguku?”
“Kau memang senang membuat orang lain kesal atau hanya aku saja?” geram Alan.
“Mungkin hanya kau.” Jelas Freddy dengan senyum geli.
“Dasar kau ini! Bahkan ini sudah lebih dari seminggu sejak aku meminta bantuanmu.” Gerutu Alan.
Freddy berdecak. “Kau meminta bantuanku tanpa membayar. Jangan menggerutu kalau aku mendahulukan kasus-kasusku.”
“Jadi kau mau membantuku atau tidak? Aku sampai berhasil membuat kesimpulan sendiri bahwa usia Destia memang dua puluh enam tahun.”
“Oh ya? Bagaimana bisa?” tanya Freddy tertarik.
“Setiap hari aku bersamanya dan melihat tingkah lakunya. Ternyata dia memang sejenis dirimu.”
Freddy merengut. “Sejenis? Kau pikir aku makhluk apa?”
Alan mengibaskan tangan. “Tidak perlu diperpanjang. Aku masih ada urusan lain.”
“Jadi, kau tidak butuh bantuanku lagi? Kalau kau bisa tahu usianya karena sering bersama, pasti mudah bagimu untuk mengetahui latar belakangnya.”
“Masalahnya aku tidak tahu bagaimana cara bertanya tanpa terlihat terlalu penasaran akan kehidupan pribadi Destia.”
Freddy menatap Alan dengan tajam. “Kak, kau menyukai wanita ini?”
Alan tertegun. Freddy tidak pernah memanggilnya ‘kakak’ kecuali dia merasa yang mereka bicarakan merupakan hal sensitif.
“Kenapa kau berpikir seperti itu?”
“Terlihat jelas dari wajahmu. Lagipula tidak biasanya kau penasaran dengan seorang wanita.”
“Aku penasaran karena Destia bekerja padaku. Bukankah itu wajar?”
Freddy hanya mengangkat bahu atas pembelaan Alan. “Terserahlah. Sekarang, dimana wanita itu?”
“Dia membantu Fajar dan Romi di bar.” Alan mendesah. “Aku memberinya pekerjaan untuk merapikan ruanganku. Tapi tiap kali aku keluar, dia pasti mengendap-endap keluar juga.”
Freddy terkekeh. “Dia pasti mengira kau tidak tahu.”
“Kurasa begitu. Destia pasti berpikir begitu aku keluar, aku tidak akan kembali sampai waktunya Fly Club tutup. Padahal aku lebih sering menghabiskan waktu di sini.” Alan menyeringai geli.
“Jadi begitu dia keluar untuk membantu di bar, kau kembali ke ruanganmu?”
“Begitulah.”
“Kau senang bermain kucing-kucingan, ya?”
“Aku hanya penasaran sampai kapan dia akan terus berpura-pura.”
“Setelah mendengar ceritamu, kurasa si Destia ini senang sekali berbohong.”
“Jangan menuduhnya seperti itu.” Tandas Alan kesal. “Dia sudah berkata jujur sejak awal. Hanya saja aku yang tidak mempercayainya. Sekarang dia hanya berusaha mengikuti aturanku yang memperlakukannya seperti anak kecil. Yah, walaupun hanya di depanku.”
Sekali lagi Freddy mengamati tiap ekspresi yang Alan tunjukkan, lalu dia tersenyum lebar. “Aku harus memberitahu Rafka bahwa sahabatnya akan segera mengakhiri masa lajangnya.”
“Apa maksudmu?”
Namun Alan tidak mendapat penjelasan karena Freddy sudah meninggalkannya menuju pintu depan Fly Club.
***
Sudah lebih dari satu minggu Destia bekerja di Fly Club dan ternyata dirinya amat menikmati pekerjaannya. Sesekali dia membantu mengantar minuman jika suasana amat ramai. Selain itu Destia baru tahu bahwa dirinya amat menyukai mencampur minuman. Para bartender di Fly Club juga tidak pelit untuk mengajarinya.
“Hai, Romi. Lama tidak bertemu.”
Suara yang terdengar begitu maskulin itu menarik perhatian Destia. Seorang lelaki berwajah tampan dengan mata abu-abu baru saja duduk di kursi bar. Postur tubuhnya yang gagah dan tinggi membuat kaum hawa tidak bisa mengalihkan pandangan.
Lelaki semacam ini harusnya tidak boleh dibiarkan berkeliaran bebas. Kalau tidak akan terjadi pembunuhan massal karena para wanita berebut ingin menjadi kekasihnya.
Sepertinya perumpamaan itu terlalu berlebihan. Tapi melihat perhatian para wanita yang teralihkan karena kedatangan lelaki itu, wajar kalau Destia berpikir demikian.
“Hai, Freddy.” Sapa Romi sambil menepuk bahu Freddy. “Memang sudah lama kau tidak datang ke sini. Mau minum apa?”
“Kuharap kau masih ingat minumanku yang biasa.”
“Tentu.” Sahut Romi lalu mulai membuat minuman untuk Freddy.
Freddy menoleh ke arah Fajar yang terlihat sibuk lalu menyapanya sekilas.
“Ini minumanmu.” Romi menyodorkan segelas gin dan tonic di hadapan Freddy.
Lelaki itu menyesap minumannya. “Seingatku Alan pernah mengatakan akan menambah meja bar di sisi yang lain ruangan ini.”
Romi mengangguk. “Iya. Tapi sekarang dia masih sibuk dengan pembangunan cabang Fly Club.” Jelas Romi sambil mencampur minuman untuk pelanggan yang lain. “Apa kau datang untuk bertemu Alan? Sayangnya dia sedang keluar.”
“Tidak. Aku datang memang untuk minum sebelum pulang.”
“Oh, kau baru pulang dari kantor?”
Freddy mengangguk. Sesekali dia melirik tidak suka wanita dengan pakaian kurang bahan yang duduk semakin merapat di sampingnya. Wanita itu terlihat sengaja menunjukkan belahan dadanya pada Freddy.
“Romi, bukankah tempat ini sudah tidak menyediakan p*****r lagi?”
Romi menatap Freddy bingung. “Memang sudah tidak lagi.”
“Jadi, wanita di sampingku ini bukan p*****r di sini?” tanya Freddy sambil terang-terangan menatap wanita di sampingnya.
Si bartender langsung terdiam dengan khawatir melihat wajah wanita itu yang memerah sedangkan Destia malah terang-terangan terkikik geli.
“Yang kau bilang p*****r adalah aku?” wanita itu melotot.
“Jadi Anda memang merasa seperti p*****r yang tidak laku?”
Wanita itu langsung berdiri dan hendak melayangkan telapak tangannya ke pipi Freddy. Tapi dengan sigap Freddy mencengkeram pergelangan tangan wanita itu.
“Kepolisian sekarang sedang gencar-gencarnya merazia PSK. Kau beruntung karena aku tidak membawa borgolku. Jadi kali ini aku akan melepaskanmu asal kau segera pergi dari hadapanku.”
Begitu Freddy melepas cengkeramannya, wanita itu langsung pergi dengan wajah memerah.
“Wah, Anda hebat sekali.” Puji Destia pada Freddy. “Jarang ada kucing yang menolak ikan.”
“Kau mengataiku kucing, Nona?” tanya Freddy dengan nada mengancam.
Destia mengangguk sambil menyeringai, sama sekali tidak terpengaruh nada suara Freddy.
Lama Freddy menatap Destia tapi lalu dia terkekeh. “Ikan di rumahku sangat lezat hingga aku tidak bisa tertarik dengan ikan lainnya.” Jelas Freddy sambil menunjukkan cincin kawin di jarinya.
“Wah, beruntungnya istri Anda karena memiliki suami yang setia.” Puji Destia kagum.
Freddy berdehem. “Sebenarnya sangat berat menjadi lelaki tampan dan gagah sepertiku. Tapi mau bagaimana lagi? Aku harus tetap menerima takdirku dengan ikhlas.”
Destia tertawa keras dengan sikap percaya diri Freddy yang sangat tinggi.
“Des, jangan percaya ucapannya.” Celetuk Fajar. “Dia bersikap setia hanya di club ini karena sebagian besar pegawai di sini mengenal istrinya. Mungkin di tempat lain malah dia yang suka menggoda para wanita.”
“Jangan mulai menyebar fitnah. Aku suami yang setia.”
“Jangan di ladenin lagi, atau dia akan membuatmu sakit kepala.” Ujar Romi.
“Aku tidak mau bicara dengan kalian lagi.” Freddy mengalihkan perhatian pada Destia yang sejak tadi hanya mengamati interaksi mereka dengan penuh minat. “Tadi Fajar memanggilmu ‘Des’.” Freddy terdiam seolah berpikir keras. “Destia, kan?”
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Destia.
“Sudah kuduga ini memang kau, Des. Apa kau sudah lupa padaku?”
Destia menatap Freddy bingung. “Aku yakin ini pertemuan pertama kita.”
“Kau Destia Kumalasari, kan?”
“Sepertinya kau salah orang.” Jelas Destia sambil tersenyum.
“Tidak, aku yakin. Namamu juga Destia dan wajahmu memang wajah Destia Kumalasari yang kukenal. Memangnya kau ganti nama ya, Des?” tanya Freddy masih ngotot.
Destia terkekeh. “Dari dulu namaku Destia Intan Rahayu.”
Freddy terlihat tidak yakin. “Kau yakin tidak pernah mengalami amnesia?”
Romi memotong pembicaraan mereka. “Hanya karena istrimu pernah mengalami amnesia, jadi semuanya kau hubungkan dengan amnesia?”
Cerita tentang keluarga Rafka memang sudah menjadi rahasia umum di Fly Club.
“Abaikan dia.” Tegas Freddy pada Destia.
Destia sendiri terlihat penasaran dengan ucapan Romi tapi tidak berani bertanya lebih jauh karena tampaknya hal itu bersifat pribadi. Menurutnya banyak rahasia di Fly Club yang menggelitik rasa penasaran. Tapi sebagai orang baru, dia harus menahan diri untuk tidak terlalu mengorek informasi.
Sebenarnya Destia sedikit kecewa karena Alan tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang Fly Club minggu lalu. Tapi tampaknya hal itu sepadan karena Destia sendiri tidak pernah menceritakan asal-usulnya pada Alan. Itulah sebabnya Destia tidak terlalu mendesak Alan agar menjawab pertanyaannya.
“Jadi, kau benar-benar tidak pernah mengalami amnesia?” tanya Freddy memecah lamunan Destia.
Destia menggeleng pelan. “Seingatku tidak.”
“Astaga, bodohnya aku! Mana ada orang yang amnesia ingat kalau dirinya pernah amnesia.”
“Des, jangan di ladenin kalau ucapannya mulai tidak jelas.” Lagi-lagi Romi mengingatkan.
“Masalahnya aku sangat yakin kalau Destia adalah orang yang kukenal.” Tandas Freddy. “Coba kau pikir, bagaimana bisa wajah yang sama dan nama yang sama tapi bukan orang yang sama.”
Tiga orang di balik meja bar saling pandang dengan bingung dengan ucapan Freddy yang menurut mereka mulai melantur.
“Kurasa Anda benar. Itu sangat aneh.”
Serempak mereka berempat menoleh ke arah lelaki yang sekarang duduk di sebelah Freddy menggantikan tempat wanita yang tadi.
Lelaki berkumis tebal itu menyeringai malu sambil mengaruk kepalanya yang tidak gatal. “Maaf, aku menguping pembicaraan kalian karena kedengarannya sangat serius dan menarik.”
“Tidak masalah.” Ucap Freddy. “Berarti Anda sependapat denganku, kan?”
Lelaki itu mengangguk.
“Coba aku tanya sekali lagi.” Freddy menoleh ke arah Destia. “Apa kau Putri Pak Aldi yang tinggal di rumah mungil bercat putih di perumahan Mawar?”
Destia menggeleng mantap. “Aku Putri Indra Effendi yang tinggal di Pusat Kota.”
“Kau yakin?”
Destia menatap Freddy semakin bingung sedangkan Fajar malah memukulkan kertas ke kepala Freddy saking gemasnya.
“Mana mungkin Destia tidak yakin dengan Bapaknya dan alamat rumahnya sendiri.” Sungut Fajar.
“Yah, mungkin saja.” Ucap Freddy sambil cengengesan. “Kurasa kau benar. Aku memang salah orang.” Akhirnya Freddy mengalah.
Sementara yang lain menertawakan sikap Freddy yang menurut mereka tidak masuk akal, Freddy sendiri hanya menyesap minumannya kembali sambil tersenyum dalam hati
Dia sudah berhasil mendapatkan informasi penting untuk menyelidiki Destia.
---------------------
♥ Aya Emily ♥