Baby Valerie Dominguez
Langit kelabu baru saja menyerah pada mentari pucat yang malu-malu menembus awan. Udara basah masih mengambang, membawa aroma tanah yang baru saja dipeluk hujan. Di depan gerbang besi berukir milik pria paling tertutup seantero ibukota, terbaring tubuh seorang gadis. Wajahnya pucat, bibir membiru, napasnya begitu ringan hingga nyaris tak terdengar.
Mobil hitam berhenti pelan di pelataran rumah megah itu. Saat kaca jendela terbuka, Reigan Fabian Aditama menyipitkan mata tajamnya. Pria berusia tiga puluh empat tahun itu terkenal dingin dan nyaris tak memiliki empati. Tapi pagi ini, sesuatu mengusik naluri alaminya.
Dia membuka pintu mobil tanpa sepatah kata. Langkah panjangnya membelah gerimis sisa yang masih jatuh dari pepohonan. Ia berhenti tepat di depan tubuh gadis itu.
"Siapa dia?" tanyanya dingin pada asisten pribadinya, Mark.
Mark menelan ludah gugup. "Saya... tidak tahu, Tuan."
"Bawa dia masuk."
"Tapi, Tuan... kita bahkan tidak mengenalnya."
Reigan menoleh. Tatapan matanya membuat udara di sekitar seolah membeku. "Apa kau ingin membiarkan dia mati di depan rumahku?"
"Ti-tidak, Tuan."
"Jangan banyak bicara. Bawa. Masuk. Sekarang."
Mark langsung memberi instruksi pada dua pelayan untuk membantu. Dalam waktu singkat, tubuh gadis itu sudah terbaring di atas tempat tidur kamar tamu. Reigan tak menunggu lama. Ia masuk ke ruang kerjanya dan menyuruh Mark memanggil dokter.
"Ganti pakaiannya. Bersihkan tubuhnya. Siapkan alat infus. Jangan tanya macam-macam."
Kamar tamu mendadak dipenuhi desas-desus. Malika dan Maria, dua pelayan wanita yang biasa menjaga rumah, saling berbisik di sela tugas.
"Apa Tuan Reigan sudah gila? Menolong perempuan asing begitu saja?"
"Dia bukan pria yang impulsif. Pasti ada alasan."
Mark segera menegur. "Kalian dibayar untuk bekerja, bukan bergosip."
Tak lama, dokter datang. Ia memeriksa gadis itu. "Dia dehidrasi parah. Gizi buruk. Tapi setelah diinfus, kondisinya mulai stabil."
"Rawat di rumah ini saja," ucap Reigan tanpa banyak pikir. "Mark, siapkan semua kebutuhannya."
Mark mengangguk. Meski dalam hati bertanya-tanya, siapa gadis itu? Dan kenapa Reigan—pria yang bahkan tak pernah membiarkan siapa pun menyentuh hidup pribadinya—mau membawanya masuk?
Beberapa jam berlalu. Gadis itu membuka mata perlahan. Lampu gantung menyilaukan matanya. Ia berusaha bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah.
"Ini... di mana?" suaranya serak.
Mark yang sedang tertidur di sofa langsung terjaga. Ia mendekat. "Kau sudah sadar?"
Gadis itu menggeleng lemah. "Siapa... kamu?"
"Kau tidak ingat?"
Gadis itu mengerutkan kening. "Aku... tidak tahu siapa aku."
Dokter datang segera setelah Mark memanggil. Ia memeriksa, lalu berkata pelan, "Dia kemungkinan besar mengalami amnesia."
Malam berganti pagi. Reigan, dengan kemeja setengah terbuka dan rambut sedikit basah, memasuki kamar gadis itu. Sorot matanya tetap dingin, tapi ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan: rasa ingin tahu.
Gadis itu menatap pria itu dengan gugup. Tatapan matanya begitu intens.
"Siapa namamu?" tanya Reigan, langsung, tanpa basa-basi.
Gadis itu menunduk. Tangannya gemetar saat menggenggam selimut.
"Aku... tidak ingat. Maaf."
"Kau tidak punya identitas. Tidak ada yang mencarimu. Kau yakin bukan penipu?"
Mark menyela, "Tuan, dia masih syok."
Reigan mendekat. Duduk di tepi ranjang. Wajahnya hanya sejengkal dari wajah gadis itu.
"Kau tidak ingat apapun?"
"Baru satu hal... Aku ingat aku baru berulang tahun. Dua puluh tahun. Aku kelaparan... dibuang seseorang... di depan rumah ini."
"Nama?"
"Baby Valerie Dominguez. Itu satu-satunya nama yang muncul di kepalaku."
Reigan bangkit. "Mulai hari ini, namamu Baby Valerie. Tinggal di sini sampai kau ingat siapa dirimu. Tanyakan semua ke Mark."
"Tapi kenapa kau menolongku?"
"Entahlah," gumamnya dingin. "Mungkin aku suka menampung masalah."
Dia pergi, meninggalkan Baby yang masih terpaku.
Yang tak gadis itu tahu: rumah itu menyimpan lebih dari sekadar rasa iba. Ada sesuatu yang lebih gelap di balik tatapan dingin Reigan Fabian Aditama. Dan mungkin... dia tak benar-benar ingin Baby sembuh dari amnesianya.
Belum tentu Reigan menyelamatkannya karena belas kasihan. Mungkin... karena obsesi. Atau karena masa lalu yang belum mati.
Dan kini, semuanya baru saja dimulai.
***
Baby memandangi pintu kamar yang baru saja ditutup pria itu. Jantungnya berdetak lebih cepat, entah karena masih syok, atau karena pria yang bernama Reigan itu—dengan mata dingin dan suara yang dalam—menyebabkan sesuatu dalam dirinya terasa goyah.
Dia menarik napas perlahan. Aroma antiseptik, selimut bersih, dan makanan hangat masih menyelimuti kamar itu, tapi hati Baby tetap tak tenang. Wajah Reigan masih terbayang jelas. Tatapan matanya menusuk, bukan dengan kebencian, tapi dengan sesuatu yang tidak bisa Baby baca.
"Apa dia benar-benar akan membiarkanku tinggal di sini?" gumamnya pelan.
"Setidaknya sampai kamu sadar siapa dirimu," jawab Mark dari arah pintu, rupanya dia masih berdiri di sana. "Tapi kau harus tahu satu hal, Tuan Reigan bukan orang sembarangan. Kalau dia memilih menyelamatkanmu, itu artinya dia melihat sesuatu dalam dirimu. Entah itu pertanda baik... atau buruk."
Baby mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Mark tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap gadis itu beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum samar. "Beristirahatlah. Dokter akan kembali pagi nanti untuk mengecek kondisimu."
Baby kembali bersandar di atas ranjang, namun kali ini lebih tenang. Sekilas ia sempat melihat sorot ragu di mata Mark, seolah pria itu menyembunyikan sesuatu tentang majikannya.
Dan Reigan… lelaki itu terasa terlalu sempurna untuk sekadar duda kaya. Wajahnya tajam, bahunya bidang, cara bicaranya seperti menyimpan terlalu banyak rahasia. Belum lagi fakta bahwa dia tinggal sendirian di rumah sebesar ini, hanya ditemani beberapa pelayan dan asistennya. Ada sisi gelap yang Baby rasakan dari pria itu, walau ia sendiri belum bisa menyebutnya apa.
---
Sementara itu, di ruang kerja Reigan, pria itu tengah berdiri di depan jendela besar yang menghadap taman belakang. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya remang, menciptakan siluet yang membuat tubuh tegapnya tampak lebih menakutkan.
“Baby Valerie Dominguez,” gumamnya pelan, menyebut nama gadis itu sekali lagi. Ia mengulangi di kepalanya, seperti hendak menguji rasa familier dari nama tersebut.
"Aku belum pernah mendengar nama itu di daftar siapa pun," katanya pada dirinya sendiri.
Reigan bukan tipe pria yang percaya pada kebetulan. Fakta bahwa seorang gadis pingsan tepat di depan gerbang rumahnya... sesuatu dari itu terasa direncanakan.
Dan cara gadis itu menatapnya—meski ketakutan—ada sesuatu di dalam mata bening itu. Sesuatu yang entah kenapa… mengganggunya.
Reigan menyalakan rokok, menariknya dalam-dalam, lalu membuang asapnya perlahan.
"Aku akan cari tahu siapa kau sebenarnya, Baby Valerie."