Yang Datang Tanpa Jejak

1120 Words
Keesokan paginya… Suara langkah kaki pelan dan aroma roti panggang yang lembut membuat Baby terbangun. Pelayan perempuan membawakan sarapan, menaruhnya di meja kecil dekat tempat tidur. Wajahnya tampak dingin, tapi tetap sopan. “Silakan sarapan. Tuan Reigan ingin Anda pulih secepatnya,” ucapnya datar, lalu pergi begitu saja. Baby duduk perlahan, menatap roti dan sup ayam yang mengepul di hadapannya. Perutnya bergemuruh. Dia bahkan tidak tahu sudah berapa hari terakhir dia tidak makan dengan layak. Saat dia menyuapkan sesendok sup ke mulut, pintu kembali terbuka. Dan Reigan muncul. Kali ini dengan pakaian kasual. Kemeja putih lengan panjang yang digulung sampai siku dan celana hitam. Rambutnya yang basah sedikit acak, baru selesai mandi, membuat penampilannya nyaris terlihat seperti aktor drama gelap—tampan, dingin, tapi terlalu penuh teka-teki. "Bagaimana keadaanmu pagi ini?" tanyanya sambil berjalan masuk. Baby mengangguk, menelan dengan gugup. "Aku… lebih baik. Terima kasih." “Kau makan dengan lahap. Itu pertanda bagus,” ujarnya sambil menarik kursi dan duduk di depannya. “Tapi aku tidak suka orang yang berhutang budi terlalu lama. Aku ingin cepat tahu siapa kau sebenarnya.” Baby menunduk, menatap tangannya sendiri. “Aku benar-benar tidak tahu apa-apa, Tuan Reigan.” “Reigan,” koreksinya tegas. “Jika kau tinggal di sini, jangan berpura-pura tak tahu aturan. Aku tidak suka kebohongan, apalagi drama.” Nada suaranya tajam. Tapi yang membuat Baby gugup adalah caranya menatap lurus ke mata, seolah ingin mencabik lapisan kebohongan terdalam dari dirinya—padahal dia sendiri tidak yakin apakah dirinya memang berbohong atau tidak. "Aku tidak punya siapa-siapa... bahkan wajahku sendiri seperti asing untukku," lirih Baby, hampir terdengar putus asa. Reigan diam beberapa saat, lalu menggeser kursinya sedikit mendekat. Hanya sebatas jarak nafas. “Kalau begitu, anggap saja mulai hari ini kau adalah milikku.” Baby menahan napas. “M-maksudnya?” "Aku yang menolongmu. Aku yang memberimu tempat tinggal. Dan sekarang, hidupmu berada di tanganku." Suara Reigan dalam dan dingin. Baby menunduk lagi, tubuhnya bergetar. Dia tidak tahu apakah pria ini tulus menolong, atau hanya sedang memainkan sesuatu yang lebih besar. Tapi satu hal yang ia sadari: sejak menatap mata Reigan untuk pertama kalinya… hidupnya tidak akan pernah sama lagi. *** Mark mengerutkan kening saat hasil penyelidikannya terhadap nama "Baby Valerie Dominguez" kembali menunjukkan nihil. Bahkan rekaman CCTV di area gerbang rumah Reigan—tempat Baby ditemukan pingsan—menampilkan kejanggalan. Tidak ada apa pun. Video kosong. Seolah seseorang sudah menghapus keberadaannya dari dunia nyata. “Tidak mungkin ini hanya error biasa,” gumam Mark sambil memutar ulang file yang sudah diperiksa teknisi dua kali. “Ada yang sengaja menghilangkan jejak gadis itu... tapi siapa?” Dia mulai curiga, terlalu banyak keanehan sejak gadis itu datang. Apakah Baby benar-benar gadis malang yang kehilangan ingatan? Atau... seseorang dengan agenda tersembunyi, yang menyamar sebagai korban agar bisa masuk ke rumah bosnya? Mark menahan desah napas, sadar bahwa untuk sekarang ia hanya bisa menjalankan perintah: mengawasi gadis itu. Reigan jelas-jelas tidak akan mentolerir pembangkangan, apalagi dalam hal yang ia tangani sendiri. --- Pagi itu, Reigan sibuk dengan rapat penting di kantor pusat. Mark berdiri di sampingnya, mencatat dan menjawab panggilan penting. Tapi perhatian Reigan tidak sepenuhnya fokus. "Mark, sampai jam berapa kita rapat hari ini?" tanyanya, suaranya datar namun terdengar tergesa. “Pukul tiga belas ada makan siang dengan klien. Malam nanti, Nona Gladys dan keluarganya menunggu Tuan di restoran Rafflesia untuk membahas—” “Batalkan semuanya.” Mark terdiam sejenak. “Tapi, Tuan... makan malam itu berkaitan dengan pembicaraan pertunangan Anda.” Reigan menatapnya tajam, satu alis terangkat. “Apakah aku harus mengulang perintahku dua kali, Mark?” Mark langsung menunduk. “Baik, Tuan. Saya akan kabari mereka.” Dalam diam, Reigan menggertakkan rahang. Ingatannya kembali pada wajah Baby yang polos dan suara lirihnya yang membuatnya tidak bisa berhenti memikirkan gadis itu. Ada misteri yang belum bisa dia pahami, dan obsesi yang pelan-pelan merayap ke dalam pikirannya—menggerogoti kewarasannya. --- Di sisi lain kota, Gladys menatap cermin dengan gaun yang belum sempat ia lepas. Wajahnya merah karena emosi. “Dia membatalkan lagi?! Sudah lima tahun aku bertahan, dan Reigan selalu saja—” “Dia memang keterlaluan!” seru Maudy, ibunya. “Dia bahkan tidak menghormatimu sebagai calon tunangannya!” “Cukup, Ma! Aku muak! Mungkin memang sudah waktunya aku berhenti. Cinta sepihak ini menyakitkan.” Gladys meremas gaun itu kuat-kuat. “Kalau Reigan berpikir aku akan menunggu seumur hidup, dia salah besar.” Ia melangkah pergi, meninggalkan ibunya yang terdiam di ruang rias. Untuk pertama kalinya, Gladys merasa ingin benar-benar menghilang dari bayang-bayang pria dingin itu. Atau... membuatnya sadar kehilangan. --- Di rumah, Baby mulai terbiasa berjalan di sekitar ruang makan. Dia menunduk saat meminta izin pada pelayan untuk membantu mencuci piring. “Bi, aku boleh bantu?” suaranya lembut. “Jangan, Nona. Itu tugas saya. Tuan Reigan melarang Nona melakukan pekerjaan rumah.” “Tapi aku hanya ingin membalas kebaikannya... setidaknya jangan biarkan aku merasa tidak berguna,” jawab Baby tulus. Sebelum Fania sempat menjawab, suara sinis terdengar. “Kalau kau memang ingin membalas kebaikan Tuan, kau seharusnya tidak menyusahkan,” celetuk Maria dari ujung ruangan. “Kau bahkan belum jelas siapa dirimu. Bisa saja kau cuma gadis jalanan yang ingin menjebak majikan kami,” tambah Martha sambil menyilangkan tangan di d**a. Baby menunduk. Ucapan itu seperti panah yang tepat menusuk dadanya. Dia tidak tahu siapa dirinya, tapi tuduhan itu tetap menyakitkan. “Sudahlah. Pergi saja kalau merasa terganggu,” desis Maria. Namun Fania mendekat, berdiri di sisi Baby. “Cukup! Tuan Reigan tak akan membiarkan kalian berlaku seperti ini. Nona Baby tinggal di sini atas keputusan beliau, dan itu tak perlu dipertanyakan.” Martha mendengus. “Kalau nanti gadis ini mengacau, jangan salahkan kami.” Baby menggigit bibir. Dia ingin membalas, tapi tak tahu harus berkata apa. Di kepalanya hanya ada satu kalimat: "Aku bahkan tak tahu siapa aku. Tapi aku bukan penipu." --- Sore mulai datang. Reigan baru tiba di rumah ketika dia melihat Fania menuntun Baby menuju kamar. Wajah gadis itu tampak pucat. “Kau sakit?” tanyanya langsung. Baby menoleh, menatap Reigan, dan seketika... rasa sakit yang menghantam kepalanya sejak tadi lenyap begitu saja. “Sangat aneh... barusan kepalaku terasa seperti akan pecah, tapi begitu mendengar suara Tuan Reigan... semuanya hilang.” Reigan diam. Matanya tak berkedip menatap wajah Baby yang kini menggigil dalam selimut. Di belakangnya, Mark yang mendengar percakapan itu juga mengerutkan kening. Ada pola... sesuatu yang belum bisa dia pecahkan, tapi pasti ada hubungan antara Reigan dan kondisi Baby. “Masuk,” perintah Reigan pada Baby. “Aku ingin bicara.” Baby masuk kembali ke kamarnya, jantungnya tak tenang. Setiap kali pria itu menatapnya, dia merasa dirinya... seolah bukan dirinya. Dan anehnya, rasa takut itu tidak membuatnya ingin pergi. Melainkan... membuatnya ingin bertahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD