Tidur Didekatku Bermain Dengan Bahaya

1297 Words
Gadis itu memiliki rambut bergelombang berwarna kemerahan, jatuh lepas hingga bahunya. Manik matanya berwarna hazel, tajam tapi bening, seperti menyimpan rahasia yang dalam. Hidungnya mungil, bibirnya tipis dan kemerahan, tampak segar seperti buah persik. Kulitnya putih pucat, halus seperti porselen, dan terasa hangat di bawah sentuhan Reigan tadi—sentuhan yang tidak disengaja, namun menyisakan jejak di pikirannya. "Maaf karena aku sudah menyentuhmu tadi. Itu karena kau tiba-tiba memelukku," ucap Reigan sambil menghindari tatapannya. Baby menunduk dalam, merasa malu dan bingung. Dirinya bahkan tak bisa menjelaskan kenapa reaksi tubuhnya terasa begitu spontan. "Maafkan aku, Tuan Reigan. Aku hanya merasa... ketika kulihat kau, semua rasa sakitku hilang. Seperti... aku sudah mengenalmu sejak lama." Reigan menyipitkan mata. Aneh. Rasa penasaran makin menggerogoti pikirannya. Jeritan Baby tadi seperti jeritan dari luka yang dalam, tapi lenyap seketika hanya karena mendengar suaranya. Seolah kehadirannya bisa menenangkan gadis itu. "Itu aneh," gumam Reigan. "Biasanya orang menghindariku. Mereka takut, menjauh, dan hanya datang jika butuh sesuatu." "Takut? Padahal kau tidak terlihat menyeramkan," jawab Baby, polos. "Menurutku... kau justru sangat baik." Reigan bangkit dari duduknya, berdiri mendekati Baby yang masih berada di tepi ranjang. "Tinggallah di sini. Lakukan apa pun yang kau mau. Mulai besok, kau akan mulai belajar lagi. Akan kuikutkan kau kuliah untuk mengisi kekosonganmu. Tapi ingat, aku menolongmu sebagai bentuk tanggung jawab, bukan karena ada ketertarikan pribadi." Baby menatapnya sebentar, lalu kembali menunduk. Hatinya menolak untuk mengabaikan desiran aneh yang muncul setiap kali pria itu bicara. "Jika aku hanya merepotkanmu, aku bisa pergi. Dan soal kuliah... aku tak yakin aku bisa." "Kau punya waktu untuk berpikir. Tapi pikirkan baik-baik, jika kau pergi, kau akan ke mana? Apa kau punya tempat untuk pulang? Aku akan di ruang kerjaku. Tanyakan saja pada Mark atau Fania jika kau ingin bicara." Setelah mengatakan itu, Reigan keluar dari kamar. Di koridor, pikirannya masih terganggu. Wajah Baby—senyumannya—terasa begitu familiar. Terlalu familiar. "Aneh... aku seperti pernah melihat senyum itu sebelumnya. Tapi di mana?" --- "Gladys, kau tidak bisa tinggal diam seperti ini! Kau harus menaklukkan Reigan segera!" seru Maudy, sang ibu, dengan nada tinggi. "Lagi, Ma? Apa Mama nggak capek ngomong hal yang sama setiap minggu?" sahut Gladys lelah. Maudy mencengkeram tangan putrinya. "Kau terlalu lemah! Kau membiarkan Reigan mengacuhkanmu begitu saja karena kau tidak tahu cara membuatnya tunduk." "Mama jangan bilang... mau suruh aku tidur dengan Reigan?" Maudy menyeringai. "Akhirnya kau juga berpikir ke sana. Pintar, Sayang." Gladys memutar bola mata. "Mama udah gila. Itu nggak akan berhasil. Aku sudah coba." "Apa?" Maudy membelalak. "Iya. Aku pernah mencoba menggoda Reigan. Dan dia malah bilang... cuma mendiang istrinya yang pernah membuatnya tergoda. Bukan wanita lain, termasuk aku." "b*****t pria itu!" Maudy mendesis. Gladys menatap ibunya, lelah. "Ma, Reigan bukan pria yang bisa ditundukkan dengan tubuh atau rayuan. Kalau memang Mama ingin aku menikah demi warisan Papa, cari pria lain. Aku lelah jadi boneka." Maudy tak menjawab, hanya menatap putrinya dengan pandangan penuh kemarahan dan frustrasi. --- Di rumah besar Reigan, Fania membantu Baby berganti pakaian dan menyajikan makanan. "Nona, ini makan siang dan vitaminnya. Tuan Reigan ingin Nona tetap sehat. Besok, dokter akan datang seminggu sekali. Juga, Nona akan mulai kuliah. Semua sudah diatur." Baby tertegun. "Tapi Bi... aku bahkan tak tahu caranya belajar. Aku bahkan tidak yakin bagaimana cara membaca buku teks." Fania tersenyum lembut. "Pendamping khusus akan datang sore ini untuk membantu Nona belajar hal-hal dasar. Tuan Reigan memikirkan semuanya." "Tapi... kenapa dia melakukan ini semua untukku?" "Tuan Reigan bilang, ini demi rasa kemanusiaan." Baby menatap Fania, bingung dan haru bercampur menjadi satu. Setelah Fania keluar, Baby duduk memandangi makanan di hadapannya. Segalanya terasa terlalu baik untuk gadis tak bernama sepertinya. Namun, tiba-tiba kepalanya berdenyut. Satu suara menggaung dalam pikirannya. "Kau adalah Baby Valerie Dominguez, dua puluh tahun, yatim piatu. Itu saja yang perlu kau ingat." Suaranya seperti suara wanita dewasa—tajam, dingin, menyakitkan. Baby meringis, memegangi kepalanya sambil menjerit pelan. Fania yang mendengar segera masuk. "Nona! Ada apa?!" "Kepalaku... sakit... sangat sakit!" Jeritannya menggema sampai lorong. Reigan yang sedang membaca dokumen langsung berdiri dan berjalan cepat ke kamar Baby. Begitu Reigan membuka pintu dan suara beratnya memenuhi ruangan, Baby mendadak diam. Denyutan sakit di kepalanya lenyap begitu saja. "Kau kenapa?" tanya Reigan datar, namun penuh tekanan. Baby terengah, masih berkeringat. Matanya membulat menatap pria itu. "Sakitnya hilang... begitu mendengar suaramu... Ini aneh... sangat aneh." Mark dan Fania hanya saling pandang, tak mengerti. Namun Reigan mulai sadar: hubungan antara dirinya dan Baby tidak sesederhana sekadar pertolongan. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam, dan jauh lebih rumit sedang menunggu untuk terkuak. ** Malam mulai menebarkan aroma dingin dan sepi. Langit gelap tanpa bintang, seolah ikut menyimpan rahasia yang belum sempat terungkap. Di dalam kamar Baby, suasana senyap. Hanya suara detik jam dinding yang bergema. Gadis itu sudah berganti pakaian, kini duduk di tepi ranjang, memandangi bayangan dirinya di cermin besar yang menempel di dinding. "Aku siapa sebenarnya...?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Jemarinya menyentuh bagian kepala yang tadi terasa nyeri. Kenapa senyuman Reigan terasa begitu familiar? Kenapa hanya suaranya yang bisa meredakan rasa sakit itu? Baby berdiri, melangkah pelan ke arah jendela besar. Tangannya membuka tirai sedikit, dan dari kejauhan, ia melihat siluet tubuh Reigan di balkon lantai atas rumah. Pria itu sedang berdiri memandangi langit. Baby menatapnya dari balik kaca. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak. Ketegasannya... sorot matanya... dan cara Reigan memperlakukannya, membuatnya merasa seperti... dimiliki. Apa dia benar-benar hanya orang asing yang kebetulan ditemukan? Atau... ada sesuatu yang lebih dalam? Tak lama, pintu kamar Baby diketuk. Suara pelan terdengar dari luar. “Ini aku, Reigan. Boleh aku masuk sebentar?” Baby terdiam. Jantungnya kembali berdetak tak beraturan. Ia membuka pintu, dan menemukan pria itu berdiri tegap di hadapannya. Tatapan Reigan begitu tenang. Tapi di balik ketenangan itu, ada sorot mata yang sulit ditebak—dingin, namun menuntut. Dalam, tapi... ada sesuatu yang tidak biasa di sana. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja," ucap Reigan pelan. Baby mengangguk. “Aku sudah lebih baik… terima kasih karena telah menolongku.” Reigan melangkah masuk, berdiri cukup dekat. Baby bisa mencium wangi parfum lembut dari tubuh pria itu. Harum... dan entah kenapa, menenangkan. “Kau belum makan malam?” “Sudah,” jawab Baby. “Dan… aku juga sudah minum vitamin yang diberikan Fania.” “Hm.” Hening sesaat. Reigan menatapnya. Lama. Seakan mencoba menelusuri pikirannya, membongkar setiap lapisan rasa takut dan kebingungan di dalam diri gadis itu. “Kau tahu… aku bukan pria yang mudah mempercayai orang. Tapi entah kenapa, sejak melihatmu, aku... tidak bisa membiarkanmu pergi.” Baby menunduk. Ucapan itu menusuk langsung ke jantungnya. “Aku tidak tahu siapa diriku,” ucap Baby pelan. “Tapi satu hal yang aku yakin... aku tidak ingin menipumu. Aku tidak punya maksud buruk, Tuan.” Reigan mendekat satu langkah lagi. Kini jarak mereka hanya beberapa jengkal. Baby menahan napas. “Tapi bagaimana jika ternyata kau memang punya maksud buruk, dan kau sendiri belum menyadarinya?” gumam Reigan, tajam. “Aku tidak—” “Kita lihat saja nanti.” Setelah mengucap itu, Reigan membalikkan badan dan berjalan menuju pintu. Tapi sebelum keluar, ia menoleh sekilas, matanya bersitatap dengan Baby dalam kegelapan yang nyaris menghisap. “Oh, dan satu hal lagi...” Baby menegakkan tubuhnya, menunggu. “Mulai besok, kau akan tinggal di kamar atas. Di sayap timur. Di dekat kamarku.” Deg. Reigan tersenyum tipis. Senyuman yang tak bisa Baby artikan. “Aku ingin memastikan kau tetap berada di bawah pengawasanku. Sepenuhnya.” Lalu pintu tertutup. Meninggalkan Baby yang masih membeku di tempatnya, menatap ruang kosong di depan pintu. Jantungnya berdebar hebat. Tubuhnya menggigil, entah karena udara malam… atau karena ketegangan yang mulai menjalar di balik kedekatan mereka. Entah kenapa, ia merasa... tak akan bisa pergi dari tempat ini. Atau lebih tepatnya, dari pria itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD