Reigan belum sempat mengganti pakaiannya ketika sampai di rumah. Setelan jas mahal itu masih melekat sempurna di tubuh tinggi tegapnya. Ketika berjalan melewati ruang tengah, langkahnya terhenti.
Seseorang tertidur di sofa, dengan posisi meringkuk dan napas pelan yang teratur.
Baby.
Dengan rambut panjangnya yang terurai sedikit berantakan dan gaun santai berwarna pastel yang membungkus tubuh rampingnya, gadis itu tampak... terlalu tenang. Terlalu nyaman. Terlalu menggoda untuk ukuran seseorang yang seharusnya bukan siapa-siapa.
Reigan melangkah pelan, mendekati gadis itu tanpa suara. Wajahnya sedikit menunduk, memperhatikan leher jenjang Baby yang terekspos samar, detak nadinya berdetak tenang... terlalu tenang dibandingkan gejolak dalam dadanya saat ini.
“Menungguku?” gumamnya lirih, hampir seperti bisikan yang hanya dimaksudkan untuk dirinya sendiri.
Seketika, Baby menggeliat kecil, napasnya berubah tidak beraturan. Matanya mulai membuka perlahan.
“T-Tuan Reigan?” ucapnya pelan, suaranya serak mengandung sisa kantuk.
Mata mereka bertemu. Untuk satu detik, dunia seperti berhenti. Tatapan Reigan menusuk masuk, membuat Baby seketika sadar bahwa jarak di antara mereka terlalu dekat... terlalu berbahaya.
“Aku menunggumu... karena aku ingin bicara...”
“Kau tidur sambil menungguku. Berbahaya.”
“Berbahaya?”
“Ya,” ucap Reigan, duduk di sisi sofa. Jarak mereka kini tak sampai satu lengan.
“Karena kau belum tahu... tempat ini bisa membuatmu kehilangan arah.”
Baby menelan ludah. Suara Reigan berubah, ada sesuatu dalam nada rendahnya yang tidak biasa. Lebih dalam. Lebih kelam.
“Reigan... aku—”
Jari telunjuk Reigan menyentuh bibir Baby. Diam. Ia tidak ingin mendengar alasan. Ia hanya ingin... mengamati.
Tatapan matanya menjelajah, dari mata Baby yang membulat, turun ke lehernya, lalu ke jemari tangan Baby yang mengepal gugup di pangkuan.
“Kenapa menungguku?” bisik Reigan di dekat telinganya.
“Ada yang ingin aku tanyakan...” jawab Baby pelan.
“Besok pagi pun kau bisa menanyakannya.”
“Tapi aku tidak bisa tidur tanpa tau jawabannya...”
Dan jawaban itu tidak sempat keluar dari mulut Baby, karena Reigan tiba-tiba berdiri. Wajahnya tidak menunjukkan emosi, tapi bola matanya dalam, gelap, dan dalam sekejap ia membungkuk sedikit, membisikkan sesuatu di telinga Baby.
“Kau terlalu sering membuatku penasaran, Baby.”
Baby membeku. Napasnya tercekat. Wajahnya memerah.
“Pulanglah ke kamar. Sekarang.”
Suara itu... penuh perintah. Dingin. Tapi entah mengapa, tubuh Baby menurut tanpa perlawanan. Langkahnya pelan menuju kamarnya, sementara jantungnya berdentam tanpa irama.
Di belakangnya, Reigan masih berdiri. Menatap punggung Baby yang menjauh.
Dan untuk pertama kalinya, dalam enam tahun, ia merasa tubuhnya bereaksi hanya karena kehadiran satu gadis muda yang bahkan tidak tau siapa dirinya sendiri.
Reigan mengepalkan tangannya. Dingin. Tapi bukan karena udara malam.
"Ini gila..." gumamnya.
Lalu suara itu datang lagi dalam kepalanya—suara Callista, suara kenangan lama yang belum mati.
"Jangan biarkan orang lain menggantikan aku di hatimu, Rei..."
Namun senyum Baby terus menghantui pikirannya, dan malam itu, untuk pertama kalinya, Reigan memilih tidak tidur di kamarnya.
Dia memilih berdiri lama di depan pintu kamar Baby.
Dan tak seorang pun tau... bahwa gadis itu sedang duduk bersandar di balik pintu dari sisi seberangnya, sama-sama terjaga, sama-sama bertanya:
"Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkan dia?"
**
Baby masih berdiri kaku di ruang kerja Reigan. Suara detak jam terdengar begitu jelas di antara sunyi yang menyelimuti. Tapi lebih jelas lagi adalah detak jantungnya sendiri yang berdegup cepat, seperti ingin meloncat keluar dari d**a.
Nafasnya tersengal pelan. Tangannya gemetar. Ia menunduk, berusaha mengatur napas, tapi tubuhnya masih merasakan jejak sentuhan Reigan di pipinya—singkat, tapi cukup membakar.
Kenapa dia menyentuhku seperti itu...?
Pertanyaan itu berkecamuk dalam benaknya. Wajahnya memanas, bukan karena marah, melainkan perasaan yang tidak ia mengerti. Bingung. Canggung. Tapi entah kenapa... juga ingin lagi.
Matanya menatap lantai, namun pikirannya masih memutar ulang sorot mata Reigan, suara beratnya yang memanggil namanya, dan tatapan itu—tajam, dalam, dan membuat seluruh tubuhnya lemas tak berdaya.
Kenapa aku seperti ini... aku bahkan tidak mengenalnya lama... tapi...
Tangannya mengusap pipi yang tadi disentuh Reigan. Jantungnya kembali berdebar, kali ini lebih hebat dari sebelumnya. Ia bahkan tidak sadar bibirnya sedikit gemetar.
“Apa ini... perasaan apa ini...?” bisik Baby lirih, hampir seperti gumaman untuk dirinya sendiri.
Dia tidak tahu harus senang atau takut. Yang jelas, Reigan tidak pernah bersikap biasa padanya. Tatapan pria itu terlalu intens, suaranya seolah bisa menghentikan waktu, dan saat berada terlalu dekat, Baby merasa... seperti dirinya bukan gadis yang hilang ingatan—melainkan gadis yang sedang jatuh.
Ia menyandarkan tubuh di sandaran sofa ruang kerja itu. Matanya menatap langit-langit sambil mencoba mengatur napasnya. Tapi tubuhnya masih menghangat, pipinya masih merah, dan rasa aneh di dadanya terus menari tanpa arah.
Jangan bodoh, Baby. Kau bahkan belum tahu siapa kau sebenarnya...
Namun tetap saja, pikirannya terus berputar—mengulang momen singkat ketika Reigan menatapnya seolah ia adalah sesuatu yang berharga. Sesuatu yang... dia kenal. Atau mungkin... pernah dia miliki?
Baby memejamkan mata rapat-rapat. Ia takut berharap. Tapi ia juga tak bisa memungkiri satu hal:
Malam ini, Reigan kembali membuat hatinya kacau. Dan untuk pertama kalinya sejak ia kehilangan ingatan, ia tidak merasa hilang. Ia merasa... hidup.
Dan itulah yang paling menakutkan.
____
Di sudut lain rumah itu, Reigan berdiri di balkon lantai atas. Rokok di antara jarinya telah lama padam. Tapi pikirannya masih menyala—membakar rasa bersalah yang terus bergumul dalam dirinya. Antara masa lalu... dan sesuatu yang mulai tumbuh tanpa bisa ia cegah.
Dan di ruang belajar, seorang gadis dengan hati yang belum mengenal siapa dirinya, mulai mengenal satu hal lebih dulu daripada siapa pun: debaran yang tak bisa dikendalikan.