Malam belum benar-benar larut ketika Reigan berdiri di depan pintu kamar Baby. Awalnya ia hanya berniat memastikan bahwa gadis itu sudah tertidur, tapi langkahnya terhenti saat melihat cahaya lampu redup yang masih menyala dari celah bawah pintu.
Dia mengetuk pelan, tak ingin mengejutkan Baby. "Baby," panggilnya pelan. "Kau belum tidur?"
Dari dalam, suara kaki berlari kecil terdengar. Lalu pintu dibuka perlahan.
"Aku belum bisa tidur," gumam Baby, menunduk. Ada sisa keraguan di wajahnya, tapi juga rasa ingin tahu yang dalam. "Ada apa?"
"Aku ingin bicara. Boleh aku masuk?"
Baby membuka pintu lebih lebar. "Tentu."
Langkah kaki Reigan menyusuri karpet kamar itu dengan tenang. Ia menatap ruangan sederhana itu, yang kini perlahan mulai terasa akrab. Baby membiarkan dirinya duduk di pinggir ranjang, sementara Reigan berdiri, menyandarkan tubuhnya di meja kecil di sisi jendela.
"Aku... belum minta maaf padamu soal kejadian tadi," ucap Reigan pelan. "Gladys—dia terlalu emosional."
Baby menggeleng. "Itu bukan salahmu. Lagipula, kalian bertunangan. Seharusnya aku yang tahu diri."
Reigan menghela napas. "Kenapa kau terus menyalahkan dirimu? Padahal kau tidak melakukan kesalahan apa pun sejak pertama kali datang ke rumah ini."
Baby tertawa kecut. "Aku mungkin tidak salah, tapi kehadiranku membawa masalah. Aku hanya—"
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Reigan melangkah maju. Sekali gerak, ia sudah berada di hadapan Baby. Menatapnya lurus. Mendalam. "Cukup," bisiknya. "Jangan bicara seperti itu lagi."
Baby mendongak, dan saat itulah Reigan mengangkat tangannya, menyentuh bibir Baby dengan lembut. Jarinya menyusuri lekuk halus itu seolah ingin memastikan bahwa gadis di hadapannya benar-benar nyata.
“Rei, kau bisa singkirkan tanganmu dari bibirku?” ucap Baby berbicara agak susah karena Reigan tidak menyingkirkan tangannya dari permukaan bibir Baby.
“Kenapa?” tanya Reigan dengan tatapan mata yang begitu dalam pada Baby.
“A-aku...” jawab Baby terbata, dia tidak bisa menjawab karena sekarang Reigan terlalu dekat dengannya. Bibir keduanya pun nyaris bertemu. Baby menghindari semua itu. Tapi Reigan kembali menarik wajah Baby dan mengunci pergerakannya.
“Boleh kah aku mencium mu, Baby?”
Baby termangu, dia yakin dia tidak salah dengar.
“Maksudmu? Kenapa kau ingin mencium ku?”
“Bisakah kau tidak perlu bertanya. Aku dapat memberikan kau apa pun, tapi dengan satu syarat.”
“Syarat?”
“Jadilah wanitaku, Baby.”
Baby meneguk ludah. Dia pasti sedang mengigau sekarang. Jangan-jangan pendengarannya mulai terganggu?
“Kau meminta aku menjadi apa, Rei? Kurasa pendengaranku buruk sekali.”
Mata Baby memancarkan kepolosan. Tapi justru yang dilihat oleh Reigan sangat berbeda, Baby begitu mirip dengan Callista.
“Jadi wanitaku, tetaplah di sisiku, dan jangan membantah apa yang aku perintahkan padamu.”
Reigan ingin menguasaiku? Apakah itu yang dia maksud? Baby hanya bisa bertanya dalam hati.
“Kau sudah memiliki tunangan, sedangkan aku hanya orang asing yang kebetulan kau tolong. Sepertinya aku tidak mungkin bisa menjadi wanitamu, Rei,” geleng Baby tau diri. “Aku cukup tau siapa diriku ini.”
“Tapi aku menginginkanmu, lalu apa kau akan menolakku, hem?”
Baby dilanda kebingungan. Dia beruntung bisa bernapas sekarang. Reigan memperbolehkan dia untuk kembali ke kamar. Mungkin Reigan membaca gerak-geriknya yang sangat jelas tidak memiliki jawaban atas permintaannya.
“Bagaimana bisa aku menjadi wanitanya? Aku baru mengenalnya dan aku akan menyakiti hati tunangannya jika aku nekat menerima tawaran Reigan. Tapi ... jujur aku menyukai dia, aku menyukai Reigan. Dia baik, dia juga sangat... perhatian.”
Di kamarnya Reigan sedang termenung sendirian. Di hadapannya ada segelas anggur. Jika sudah ada anggur di mejanya, maka dipastikan perasaan pria itu sedang tidak karuan.
Wajah Baby terus terbayang dipikirannya. Tapi terkadang wajah itu berubah menjadi wajah mendiang istrinya.
“Siapa yang aku lihat sebenarnya? Kau kah Callista? Atau gadis itu, Baby? Apakah aku salah meminta dia menjadi wanitaku. Tapi aneh, aku ingin terus berada di dekatnya sejak dia datang ke rumah ini.”
Ponselnya berdering memecah kesunyian di ruangan itu. Reigan mengernyitkan kening begitu membaca tulisan di layar ponsel. “Gladys? Apa dia tidak cukup mengangguku tadi? Ada apa lagi sih!”
Reigan mendiamkan panggilan dari Gladys karena memang dia sedang tidak berselera untuk berbicara dengan wanita itu. Penyesalannya saja tidak habis tentang dia yang terpaksa mencium wanita itu di mobil tadi. Tindakan yang menurutnya sangat menjijikkan. Dia belum pernah melakukan hal yang seperti itu di dalam kendaraan.
“Kenapa dia tidak menjawabnya? Ah, tidakkah ini lucu? Tapi aku merasakan rindu... ya, aku merasa rindu pada Reigan untuk pertama kalinya.”
Sementara Hanzel di rumahnya hanya terus menyesali keputusannya berpisah dari Gladys. Dia harap dia bisa menarik kembali kata-katanya. Seharusnya dia langsung meminta izin dan nekat berbicara pada Maudy, dia harus mengatakan bahwa dia mencintai putrinya. Tapi dia malah berbohong tentang cinta yang lain yang sebenarnya tidak pernah ada.
“Gladys, kau pasti sedang terluka sekarang. Maafkan aku, Sayang. Tahukah, kau? Aku sekarang sangat merindukan kamu. Rindu kebersamaan kita, juga kehangatan yang selalu kita bagi berdua.”