Erangan Menjijikkan Selingkuhan Suamiku

830 Words
“Aah… Ah…” suara Bella pecah, rendah dan manja, sebuah bisikan serak yang menahan luapan kenikmatan. Suara gesekan lembap kulit di atas seprai terdengar jelas. “Mmmhhhhh… Aaaaaah…” Septimus mengeluarkan napas berat, semacam geraman rendah laki-laki yang dimabukkan oleh tubuh di depannya. “Kau luar biasa, Bella. Nikmat sekali. Kau sangat menggairahkan, Sayang.” Bella mengerang pendek, napasnya memburu dan terputus, seperti tersedak sensasi. “Katakan lagi. Aku suka kalau kau memujiku seperti itu.” Septimus tertawa kecil, suara rendah yang penuh kontrol. “Kau memabukkan. Setiap inci dirimu adalah candu. Jauh lebih dari apa pun yang bisa kubayangkan.” Bella menahan napas panjang, lalu terdengar suara kepala ranjang bergeser dengan hentakan lembut. “Lihat aku. Apa aku lebih cantik daripada Aurelia?” Septimus tidak ragu. Suaranya penuh hasrat yang tidak ditutupi. “Cantik saja tidak cukup menggambarkanmu. Aurelia tidak pernah membuatku menginginkan apa pun seperti ini.” Bella mendesah keras, hampir seperti seruan puas yang tertahan. “Oh, ya…” “Jadi aku yang membuatmu seperti ini? Aku yang bisa membuatmu kehilangan kontrol?" “Benar,” ucap Septimus dengan nada terengah namun dalam. “Kau yang paling menggairahkan. Kau yang paling kunikmati.” Bella menarik napas panjang, hampir tersedu oleh intensitasnya. “Aku suka saat kau memujiku begitu. Buat aku merasa hanya aku yang kau lihat.” “Kau memang satu-satunya malam ini,” balas Septimus, suaranya pecah, maskulin. “Dan aku tidak ingin berhenti menyentuhmu.” Suara napas mereka saling bertubrukan, panas dan cepat. Seprai berkeresek liar. Ada dentuman kepala ranjang yang halus tapi jelas ritmenya, semakin mendesak. Bella mengerang lagi, kali ini lebih dalam dan memanjang. “Nngghhh… aku tidak tahan!” “Kau tidak perlu menahan apa pun,” jawab Septimus, napasnya panas dan sangat dekat. “Biarkan aku menikmati semuanya darimu.” Dan tepat saat desahan Bella meninggi menjadi rintihan yang nyaring, pintu sedikit terbuka. Aurelia berdiri mematung di ambang, membawa tumpukan pakaian bersih yang hampir jatuh dari tangannya saat melihat siapa saja yang berada di atas ranjangnya. Tumpukan kain itu jatuh ke lantai dengan bunyi tumpahan yang pelan. Mata Aurelia melotot, otaknya memproses pemandangan kotor di hadapannya Septimus dan Bella, dalam posisi telanjang dan tak tahu malu di ranjang pernikahan mereka. Wajah Bella yang memerah karena org4sme kini menoleh ke pintu, namun tatapannya kosong, seolah Aurelia tak ada di sana. Septimus, dengan punggung menghadap Aurelia, hanya mengeluarkan suara erangan dalam. Dia mencengkeram wajah Bella dan menariknya mendekat, kemudian mereka kembali saling melahap bibir dengan kasar. Bahkan suara gesekan seprai pun tidak berhenti, ritme kasarnya terus berlanjut. Mereka tidak peduli. Mereka terus bergerak, seolah Aurelia hanyalah perabotan, bukan istrinya. Kejutan itu begitu mendadak hingga Aurelia sulit bernapas. Bukan air mata yang keluar, melainkan bunyi cekukan pendek yang tertahan. Aurelia mengeluarkan suara tercekat, hampir seperti bisikan hening yang hancur. “Ti—Tidak mungkin. Kalian…” Perlahan, tubuhnya terasa kaku, Aurelia mundur. Dia menarik gagang pintu dan menutupnya pelan. Di luar kamar, di lorong yang dingin, Aurelia bersandar ke dinding, kedua tangannya mencengkeram kuat dadanya, tepat di atas jantung yang berdebar sakit. Ia memejamkan mata, mencoba menghapus gambar yang baru saja masuk ke otaknya. Tubuhnya mulai gemetar. Ini nyata. Ini terjadi. Ia tidak tahan lagi. Dengan dorongan panik dan putus asa, Aurelia berbalik dan lari. Ia menuruni tangga dengan cepat, terhuyung-huyung, mencari jalan keluar, mencari udara segar. Ia tiba di ruang tengah, tersandung di dekat sofa, ketika sebuah suara tiba-tiba memecah kesunyian. “Aurelia.” Septimus berdiri di puncak tangga, bertelanjang d**a. Ia hanya mengenakan celana pendek longgar. Wajahnya terlihat santai, hanya sedikit kelelahan, dan ketenangan yang menjengkelkan. Aurelia membeku di tempatnya. Ia mendongak, matanya yang basah menatap Septimus. Septimus turun satu anak tangga, suaranya tenang, namun kata-katanya menghantam seperti pukulan keras. “Apa nikmat mengintip orang bercinta, Aurelia? Apa kau merasa basah, juga?” Wajah Aurelia yang tadinya memerah karena berlari, kini langsung memucat pasi, darah seolah lenyap dari wajahnya. Kejutan itu langsung berganti menjadi amarah yang membuncah, mendidih dalam dadanya. Sebelum ia sempat bernapas, Septimus kembali mendekat. “Kau pasti ingin disetubuhi seperti itu, kan?” Septimus berkata dengan nada jijik yang dingin. “Tapi sayang, kau sama sekali tak membuatku ereksi. Kau terlalu membosankan.” Kalimat terakhir itu meruntuhkan pertahanan Aurelia. Ia meledak, menunjuk Septimus dengan jari gemetar. “Kau b******n gila!” teriak Aurelia, suaranya serak dan menyakitkan. “Kau tega melakukan ini padaku! Jelas-jelas Bella itu sekretarismu! Sejak kapan kalian bermain gila di belakangku, hah?!” Septimus mencibir, senyum sinis yang kejam tersungging di bibirnya. Ia berjalan menuruni tangga dua langkah lagi. “Sejak kapan?” Dia tertawa kecil. “Bella selalu membuatku bernafsu sejak awal dia melamar jadi sekretarisku, dan aku menidurinya dengan ereksi maksimal, Sayang. Kau? Kau tidak pernah sehebat itu.” Aurelia terhuyung mundur, memegang erat dadanya. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya pecah, mengalir deras membasahi wajahnya. Ia menggelengkan kepala, tangisnya tertahan, hanya suara isakan yang keluar. “Kau bukan manusia,” bisik Aurelia, penuh keputusasaan dan rasa sakit. “Kau iblis!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD