Hidup Kembali 🔥

1161 Words
Aurelia maju selangkah, telapak tangannya gemetar hebat. Ia berusaha menguasai diri. “Kau berselingkuh,” suaranya serak. “Di rumah ini. Di ranjangku. Setelah semua yang aku lakukan untukmu selama ini.” Septimus justru tertawa pendek, nada meremehkan itu menusuk. “Jangan mulai bermain peran suci, Aurelia. Omong kosong apa ini?” Aurelia menggeleng cepat, tatapan tidak percaya. “Apa maksudmu?” Septimus menatapnya tajam, ekspresi sinis itu menusuk hingga ke tulang. “Jangan akting seperti perempuan naif. Aku sudah lama tahu kau punya main mata dengan Andreas.” Aurelia membeku total. “Apa?! Andreas? Dia cuma sopir! Kau sudah benar-benar gila?” “Oh, tentu,” Septimus mendengus, nada jijik. “Kau selalu tersenyum centil setiap kali Andreas membukakan pintu untukmu. Kau pikir aku buta? Aku melihat cara matamu mengincar dia!” Aurelia mencengkeram dadanya, sulit bernapas. “Itu fitnah. Aku tidak pernah—” “Dan sekarang kau mati-matian membela dia?” Septimus maju satu langkah, suara rendahnya penuh ancaman. “Aurelia, hentikan drama ini. Kau bukan gadis lugu. Kau itu pemain sandiwara licik.” Di puncak tangga, Bella muncul, kini sudah memakai pakaian dan tersenyum miring, seperti ular yang merangkak. “Aku juga lihat waktu di ruang tamu sore itu. Cara Aurelia menatap sopirmu itu … jelas bukan tatapan polos." Aurelia menoleh ke Bella dengan tatapan penuh kebencian. “Tutup mulutmu, pel4cur! Aku bahkan tidak pernah bicara lebih dari tiga kalimat dengan Andreas!” “Tentu saja,” Septimus menjawab dengan nada mengejek yang membuat darah Aurelia mendidih. “Perempuan murahan sepertimu selalu bilang begitu. ‘Tidak pernah apa-apa,’ padahal seluruh gerak-gerikmu berteriak minta disentuh.” Aurelia menegang, amarahnya sudah mencapai puncak. “Kau menuduhku berselingkuh hanya karena kau ketahuan selingkuh?! Kau benar-benar tidak punya hati!” Septimus bergerak cepat, mendekat sampai wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. Tatapannya membakar. “Kau tidak pantas marah. Kita sama busuknya. Kau menikmati perhatian dari pria rendahan, jadi jangan salahkan aku kalau aku mencari perempuan yang tahu caranya membuatku puas secara jantan.” Aurelia terpaku. Kata-kata itu lebih tajam daripada pecahan kaca yang menusuk paru-parunya. “Aku tidak percaya,” bisiknya, suaranya nyaris hilang. “Kau bisa mengatakan hal sekeji ini. Kau menginjak-injak harga diriku!” “Harga diri?” Septimus mencibir, mendekatkan mulutnya ke telinga Aurelia. “Kau hanya istri di atas kertas yang membosankan. Jangan pernah berpikir kau spesial.” Aurelia mundur selangkah, rasa sakitnya kini bercampur dengan amarah yang dingin. “Kau b******n hina! Lebih baik aku mati daripada harus hidup sehari lagi dengan iblis sepertimu!” Septimus mencibir, amarah yang ditahannya kini meledak. Dia bergerak cepat, mencengkeram lengan Aurelia dengan tenaga yang menyakitkan. “Kau yang mau mati? Bagus. Setidaknya kau berguna untuk sekali ini.” “Ya, Sep. Kenapa tidak?” Bella menimpali dari puncak tangga, suaranya manis dan kejam. “Dia hanya akan merepotkan. Buat saja dia terlihat seperti bunuh diri. Kita berdua tahu tidak ada yang akan percaya omongannya sekarang.” Mata Aurelia melebar, rasa takut mencekiknya. Dia menatap Septimus, mencoba menarik diri dari cengkeraman baja itu. “Kau gila! Lepaskan aku!” “Gila?” Septimus menghardik, mendekatkan wajahnya yang bengis. “Ini yang kau sebut gila? Kau belum lihat apa-apa, Aurelia. Ini adalah konsekuensi dari kebodohanmu!” Aurelia berteriak, panik. “Tolong! Seseorang!” Teriakan itu dibalas dengan pukulan keras di wajahnya. Aurelia jatuh tersungkur di lantai. Suara benturan itu membuat suasana hening sejenak, hanya menyisakan deru napas Septimus yang memburu. “Diam!” bentak Septimus. Dia membungkuk, mencengkeram rahang Aurelia, memaksanya menatap ke atas. “Kau tidak akan memanggil siapa-siapa. Kau hanya akan diam dan menerima takdirmu.” Bella turun perlahan, berdiridi samping Septimus, menatap Aurelia yang berlumuran darah di sudut bibirnya. Dia tersenyum dingin. “Semua orang tahu betapa rapuhnya kau, Aurelia. Mereka akan mengerti,” ujar Bella. Dia berjongkok, merapikan rambut Aurelia yang berantakan. Septimus menarik napas dalam, wajahnya kini dingin dan tanpa emosi. Dia melepaskan cengkeraman pada rahang Aurelia, lalu berdiri tegak. Matanya beralih ke vas kristal berat yang diletakkan di meja samping. Septimus tidak berkata apa-apa. Dengan gerakan yang telah direncanakan, ia mengambil vas kristal itu. Sebelum Aurelia sempat bereaksi, vas itu menghantam pelipisnya dengan kekuatan penuh. Terdengar bunyi retakan yang mengerikan, dan darah segar langsung menyembur ke lantai kayu. Tubuh Aurelia kejang sesaat, lalu terkulai lemas. Matanya yang sebelumnya penuh kepanikan kini kosong, menatap langit-langit tanpa kehidupan. Napasnya terhenti. “Urus sisa kekacauan ini, Bella,” ujar Septimus, suaranya datar. Dia menoleh ke arah tangga, berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang. Bella menyeringai puas, menatap tubuh Aurelia yang diam. Dia menyentuh luka di kepala Aurelia, memastikan tidak ada denyut nadi yang tersisa. “Tentu, Sayang. Sampah harus dibuang pada tempatnya. Dan sekarang, mari kita buat ini terlihat seperti kecelakaan bunuh diri yang menyedihkan.” ** Aurelia terbangun dengan napas tersengal, seperti baru kehabisan udara. Jantungnya berdebar kencang sekali, rasanya mau copot. Tangannya refleks meraba kepala, tepat di pelipis kirinya, mencari luka menganga. Tidak ada apa-apa. Ia melihat sekeliling, matanya liar. Kamar ini terlalu terang, terlalu sunyi, terlalu bersih untuk jadi nyata. “Sialan! Apa-apaan ini!” Ini memang kamarnya. Tapi barusan saja, hitungan detik lalu, Septimus memukul kepalanya menggunakan vas kristal sampai pecah! Dia ingat jelas darahnya sendiri. Badannya terasa panas dingin, telapak tangannya dingin sekali. Ia bangkit, kakinya terasa berat, lalu berjalan terseret mendekati dinding. Matanya menatap kalender di meja, seperti melihat jebakan. “Nggak! Ini nggak mungkin! Aku sudah mati! Vas itu sudah membunuhku! Kenapa aku di sini?” Ia mundur, napasnya mulai tidak karuan, tapi matanya tetap terpaku pada tanggal. Tanggal yang menunjukkan hari Pertunangan. “Ini benar-benar gila! Aku sudah melewati hal paling mengerikan, dan sekarang aku dikembalikan lagi ke awal?” Aurelia berdiri mematung. Kepalanya pusing. Ia memalingkan muka dari kalender, mencoba menenangkan diri, tapi detak jantungnya makin cepat. Ia melihat kursi beludru di sudut. Bentuknya. Bantalan kursinya. Semuanya sama persis. Ia melirik ke meja samping. Vas kristal bening itu ada di sana, utuh, memantulkan cahaya—benda pembunuh itu. “Ini cuma halusinasi. Aku pasti cuma pingsan, bukan mati sungguhan.” Ia menjambak rambutnya sendiri. Pikirannya kacau. Ia menyerbu jendela, membukanya paksa, menghirup udara. Suara mobil, bau udara pagi—semua terasa terlalu nyata untuk sekadar mimpi. “Kalau ini mimpi, kenapa aku bisa mencium bau? Kenapa suaranya jelas sekali?” Ia membanting jendela tertutup, lalu terengah di tengah ruangan. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Tangannya gemetar. Ia berjalan ke meja rias, membuka laci bawah dengan kasar. “Ini jebakan! Aku sudah pasti gila! Siapa yang waras setelah melihat suaminya selingkuh dan berencana membuat kematianmu terlihat seperti bunuh diri!” Ia mengambil kotak kecil di laci. Isinya penuh perhiasan yang awalnya sudah dijual oleh mertuanya, oleh ibu kandung Septimus. Tapi kini, perhiasan itu ada, lengkap, berkilauan. Ia meletakkannya kembali perlahan, penuh rasa ngeri. “Semua detailnya. Sama persis.” Sebuah kesimpulan menusuk otaknya, lebih sakit dari pukulan itu. Ia menahan napas, menatap kamarnya sendiri seperti menatap tempat eksekusi. “Aku kembali. Aku belum mati. Septimus belum membunuhku. Dia baru akan melakukannya?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD