[Kleigh’s POV] Saat kubuka mataku, bukan lagi arena pertandingan atau sosok Yohan dikelilingi aura ganas di hadapanku. Tidak ada sorak sorai penonton atau terik matahari karena aku bertanding tepat ketika matahari berada di atas kepala dan membuatku dehidrasi parah. Bukan semua itu. Di depanku kini adalah ngarai sungai dengan sebuah sampan tersemat di pinggiran sungai, dan sekelilingku tertutup oleh kabut tebal. Sampan itu kosong, tetapi ada tongkat pengayuh panjang terletak di dalam sampan, seolah-olah dikhususkan untukku naik ke sana. Kutatap kedua telapak tanganku lamat-lamat. “Pucat, apa aku memang sepucat ini?” Iseng, kucoba untuk merasakan denyut nadiku sendiri di leher sambil bergurau bahwa tidak mungkin jika aku mati lalu pergi ke akhirat secepat ini. Bukankah barusan aku cuma

