BAB 2. Istri Saya – Sedang Hamil Muda

1215 Words
“Hei!” teriak seseorang dengan suara lantang lalu berlari menuju mobil yang ditunjuknya. Dia yakin sekali, melihat sekelebat bayangan orang di sana. Kondisi tempat parkir yang hanya diterangi lampu-lampu yang saling berjarak, membuat dia kesulitan melihat wajah si pengintai. Pria berjas formal yang berlari menuju mobil hitam itu langsung menodongkan pistol begitu langkahnya terhenti. Namun … kosong. Tidak ada orang di sana. Sorot matanya tajam memindai sekitar, tapi sepi. Bahkan suara mesin AC dapat dia dengar. Meskipun tadi dia mengejar si penguntit yang entah siapa. Tapi dalam hatinya merasa sedikit lega. Setidaknya malam ini dia selamat, pikirnya. Cepat orang itu berjalan menuju mobilnya sendiri, dengan sesekali menoleh ke segala arah dengan tangan masih menggenggam gagang pistol. Pria berjubah hitam ternyata sudah masuk ke dalam mobilnya sendiri. Diam-diam dia memperhatikan gerak-gerik targetnya, yang lolos malam ini. Setelah mobil si target terlihat bergerak keluar dari area parkir, dia menghela napas, kesal. Pria berjubah hitam dengan rahang tegas dan sepasang alis tebal itu bernama Leon Xaverius. Dia mendelik tajam pada gadis si pembuat onar yang sedang duduk bersandar di sampingnya. Cengengesan dengan kelopak mata nyaris tak mampu dibukanya lagi. Apa dia sadar telah menggagalkan rencana besar malam ini? Tentu saja tidak. Dia mabuk berat, dan membuat Leon mengepalkan kedua tangannya kencang, menahan amarah pada si gadis biang onar. “Huh! Siapa kamu sebenarnya dan mau apa menghampiriku tadi? Hah?!” Suara bariton Leon tidak membuat Eve berpaling. Padahal Leon tidak sabar menanti jawaban hingga gadis itu tersadar. Dia menepuk pipi di gadis beberapa kali, tidak kencang. “Hei! Siapa namamu? Dan, mau apa kamu di parkiran? Mau pulang sendirian? Yang mana mobilmu?” Gadis itu menoleh sekilas pada Leon, lalu terkekeh kecil padahal Leon bukan sedang melawak. “Eve … namaku—Marissa Eve. Iya—itu namaku … sepertinya ….” Lalu jatuh ke samping, sekarang dia bersandar di bahu kekar Leon, tanpa dosa. “Ah, sial! Wanita memang pembawa sial!” desis Leon semakin kesal. “Dia tidak boleh lama-lama di mobilku.” Leon berniat akan menendang Eve dari dalam mobil. Namun dia kesulitan membuka pintu mobil bagian Eve. Dan ketika tangannya hampir mencapai gagang pintu, Eve justru menyergapnya. Memeluk begitu saja. “Ohh Aksa, kenapa kamu tega? Aksa, kamu—jahat!” racau Eve dengan masih terus memeluk Leon dari samping. Memeluk begitu saja hingga d**a Eve menempel erat di lengan Leon. Dengan sekali sentakan, tubuh ramping Eve kembali ke tempatnya. Tapi karena terlalu kencang, kepalanya terbentur kaca jendela. “Aduh! Sakittt!” ringisnya sambil mengusap kepala. Tapi kemudian dia kembali bersandar di posisi yang benar. “Aksa sialan! Sudah selingkuh berani-beraninya mukul kepala gue!” Leon menghela napas dalam. Pikirnya, dia akan menyingkirkan gadis ini, tapi nanti. Sekarang dia hanya ingin keluar dari area parkir, sebelum keadaan semakin kacau. Sedan hitam milik Leon mulai melaju dan keluar dari area parkir. Keadaan jalan raya sepi. Hanya beberapa mobil dan motor terlihat melaju dengan kecepatan sedang. Sambil menyetir, Leon mengedarkan pandangan. Mencari-cari tempat yang cocok untuk membuang gadis pembawa sial ini. Tadinya dia mau masuk ke jalan tol. Berpikir jika dia membuang si gadis di pinggiran jalan yang penuh pepohonan, mungkin tidak akan ada mobil yang berhenti. Lebih tepatnya tidak peduli. Mungkin mereka akan berpikir, hanya seseorang yang kebelet buang air kecil saja. Namun detik kemudian, ide itu disanggah pikiran lain. Tapi bagaimana kalau ada mobil patroli? Melihat ada mobil menepi, pasti mereka akan mengecek. “Arghhh! Kalau nggak ada dia semua rencana pasti sudah beres dan aku tinggal mengirim laporan saja. Ck ah!” Leon menoleh sebentar pada Eve yang sekarang sedang tertidur lelap di sampingnya. Mengusap kening lalu kembali fokus pada jalan raya. Mobil Leon sengaja keluar dari jalan utama ibu kota. Sekarang dia menyusuri pinggiran perkotaan yang lebih sunyi. Hanya beberapa titik daerah pemukiman penduduk, lalu mobilnya melewati area perkebunan di sepanjang sisi kanan dan kiri jalan. “Hemm sepertinya di sini saja. Orang mabuk begini pasti nggak akan sadar kalau kutaruh di atas tanah atau rumput,” gumamnya. Dia menghentikan mobil di sisi jalan, tapi tidak mematikan mesinnya. Keluar dari mobil lalu membuka pintu mobil bagian Eve. Masih sempat Leon menghela napas dalam sebelum kemudian mulai mengangkat tubuh ramping gadis itu dengan kedua tangan kekarnya. Tidak ada kesulitan sama sekali. Marissa Eve si anak teater sekaligus atlit renang yang hanya punya bobot 45kg dengan tingginya 160 centi. Begitu mudahnya diangkat oleh tubuh jangkung Leon. Dia mulai berjalan semakin ke pinggir dan sekarang sepatunya telah menginjak rumput basah. Di sana, gelap sekali. Hanya terlihat ujung-ujung daun pucuk merah yang bergerak senada tertiup angin dingin. Leon mulai menurunkan tubuh Eve dengan perlahan. Begitu juga dia masih punya hati, sedikit. “Selamat tidur malam, Nona pemabuk. Dan semoga kita tidak bertemu lagi,” “Hei! Ada orang di sana?!” Teriakan seseorang sontak membuat kedua tangan Leon menahan tubuh Eve. Tapi bagian bawah tubuh gadis itu terlanjur turun ke tanah. Dia kaget bukan main. Menoleh dan melihat dua orang berjalan mendekat di sana. Cahaya senter dari handphone menyorot tepat ke mata Leon. Membuatnya harus sedikit memiringkan kepala dan memicingkan mata. “Loh! Mas? Lagi apa di sana?” Nada suara yang jelas sekali mengandung kecurigaan. “Umm ini, Pak—istri saya ini. Dia sedang hamil muda dan mual-mual. Ini—baru saja … muntah. Ya, baru saja muntah.” Leon berdiri dengan kedua tangan masih memegangi tubuh Eve, supaya tidak benar-benar terjatuh. “Ummhh,” erang Eve seraya menggerakkan kepalanya pelan. Kedua matanya masih tertutup. Dia mendengar samar-samar. Tapi rasanya berat sekali untuk membuka mata. Leon menunduk dan dia langsung terbelalak karena kedua tangannya ternyata sedang melingkari d**a Eve. Erat sekali. Pantas saja terasa agak aneh tadi. Segera dia mengubah posisi. Dengan kembali menggangkat tubuh Eve. “Kugendong saja ya, Sayang. Tubuhmu lemah sekali. Sebentar lagi kita sampai rumah kok. Jadi kamu bisa beristirahat,” ucapnya lembut. Lalu kembali menoleh pada dua pria paruh baya di sana. Yang masih menatapnya lekat-lekat. Dan juga masih menyorot dengan lampu senter. “Permisi, Pak.” Leon melewati kedua pria itu. “Hati-hati ya, Mas. Kalau ibu hamil muda memang begitu, suka muntah-muntah. Sebaiknya Masnya ini siap kantong plastik loh. Supaya nggak repot harus turun segala.” “Iya betul itu, Mas. Waktu istri saya hamil muda juga begitu. Selalu siap kantong plastik dan sapu tangan. Dijaga istrinya baik-baik, Mas. Ada loh Mas, obat dari dokter kandungan untuk anti mual. Coba saja konsultasi nanti saat periksa.” Leon mengangguk seraya tersenyum kaku. “Iya, Pak. Mari, Pak.” Eve sudah duduk di kursi penumpang depan kembali. Leon juga segera masuk ke mobil. Dan kemudian pergi dari sana. “Hah! Sudahlah! Nanti biar Vito saja yang mengurus.” Leon sudah malas ambil pusing. Dia membelokkan mobil ke jalan menuju perkomplekan mansion, The Platinum Palace. Gerbang besi tinggi nan megah berwarna hitam terbuka. Leon memarkir mobil tepat di depan teras utama yang begitu luas. Seorang security segera berlari menghampiri. Leon memberikan kunci mobil padanya. “Masukkan saja ke garasi, mungkin pagi nanti saya tidak pergi ke kantor.” “Siap, Tuan.” Security itu sudah akan masuk ke dalam mobil tapi seketika gerakannya berhenti dan terdiam mematung. Sang tuan muda menggendong seorang gadis dan berjalan begitu saja masuk ke dalam mansion. Security itu masih hanya terdiam memperhatikan, mulutnya sedikit menganga. “Tuan Leon membawa wanita? Wahhh … langka.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD