BAB 3. Malaikat Pencuri Kegadisan

1238 Words
Tanpa pikir panjang, Leon membawa Eve ke salah satu kamar tamu di lantai dasar. Mansion milik keluarga Xaverius ini sangat luas, terdiri dari dua lantai. Dan memiliki sebuah paviliun terpisah dari bangunan utama. Di bagian belakang mansion juga terdapat satu lagi bangunan terpisah yang berbentuk panjang, yaitu deretan kamar-kamar untuk ditempati para pekerja. Dan, kamar tamu di dalam mansion ini berjumlah lima. Karena rencananya Leon akan mengenyahkan Eve besok hari, maka Leon memasukkan Eve ke kamar tamu paling ujung lorong. Agak terpencil sebab menuju jalan pintas ke taman samping. Namun begitu, semua kamar tamu di mansion ini memiliki fasilitas lengkap yang sama. Dan pula, selalu rutin dibersihkan setiap harinya, meskipun lebih sering kosong. “Diam di sini!” Leon melirik jam di meja nakas. Hampir pukul tiga dinihari. “Oke. Kuberi waktu sampai jam tujuh. Dan kamu harus angkat kaki dari sini!” Namun Leon tidak yakin Eve mendengar dan mencerna ucapannya barusan. Dia mendengkus kesal lalu berdiri dari tempatnya duduk di tepian ranjang yang besar. “Eunghh.” Gadis itu merubah posisi tidurnya. Yang tadinya terlentang, lalu menjadi miring ke arah Leon. Dan tiba-tiba saja tangannya menarik ujung jubah hitam Leon yang menjuntai. “Jangan pergi! Temani—aku … di sini. Aku mohon.” Suaranya serak dan nyaris hilang di ujung kalimat. Tanpa menjawab, Leon menyibak jubahnya dengan cukup kencang sehingga tangan Eve terlepas. Dia sudah membalik badan dan akan melangkah pergi ketika sekarang lututnya justru dipeluk oleh kedua tangan Eve. “Argh!” Leon tidak siap. Dia langsung terduduk kembali di tepian ranjang. Dengan mata setengah terbuka. Lebih tepatnya hanya seperempat yang terbuka, Eve mencoba mengenali pria yang duduk di dekatnya. “Ah, tampan sekali,” racaunya lalu satu tangan menyentuh dagu Leon. “Apakah kamu malaikat yang turun untuk menggantikan si b******k Aksa? Hem?” “Singkirkan tanganmu, gadis pemabuk!” Leon menepis dengan kasar. Eve tersentak. Namun detik kemudian dia tergelak. “Namaku—Eve … bukan … gadis—pemabuk. Kamu ah … siapa namamu?” “Tidak penting! Yang kamu harus lakukan sekarang adalah, tidur! Hanya itu. Lalu bangun paling lambat jam tujuh, dan pergi dari sini!” Leon geram melihat reaksi Eve yang justru kembali terkekeh, seperti mengejeknya. Tidak peduli sama sekali dengan perintahnya. Padahal pikir Leon, gadis itu seharusnya bersyukur, karena dia masih dibiarkan hidup. Padahal sejak tadi Leon ingin sekali mencekiknya supaya terdiam. Tapi ditahannya dengan alasan … tidak ada alasan sebenarnya. Mungkin Leon hanya sedang malas mengotori tangannya dengan darah. Leon berdiri, sudah akan beranjak dari sana, tapi kemudian tubuh jangkungnya membungkuk. Tangan kanannya mencengkeram dagu mungil Eve sampai ke pipi, hanya dengan sebelah tangan dan wajah itu seperti sedang diraup. Leon mendekatkan wajahnya hingga hanya berjarak tiga senti. Tatapan mata mengkilat, aura kebengisan pekat sekali. Andaikan Eve sedang dalam keadaan sadar sekarang, dia mungkin akan gemetar. Terasa dingin, dan menikam. “Dengarkan aku—Eve. Jangan buat kekacauan atau kamu bisa saja mati tiba-tiba di sini.” Tapi apa yang terjadi sungguh di luar nalar manusia maupun bangsa jin. Eve dengan santainya justru memajukan wajahnya hingga … bibir keduanya menyatu. Tangan kanan Eve memegang belakang kepala Leon, sedangkan tangan kirinya merengkuh pria itu lalu menariknya dengan sisa tenaga yang dia punya. Hei! Apa yang kamu lakukan?! Lepaskan atau kamu akan menyesal! Lancang sekali kamu—Eve! Leon menolak keras, tapi hanya di dalam hatinya. Entah kenapa segala teriakan ancaman itu tidak dikeluarkannya. Padahal sejak tadi dia sudah membenci gadis ini. Leon Xaverius, pria 30 tahun berwajah tampan—ralat … sangat tampan. Pahatannya nyaris sempurna. Namun setampan itu, nyaris tidak pernah tersenyum. Setidaknya sejak tiga tahun lalu hingga saat ini. Bukan hanya senyumannya yang hilang, perasaannya pun bagaikan sudah terkikis habis dengan kerasnya tempaan dunia. Diam, dingin, kejam. Marissa Eve, gadis 21 tahun, bengal tapi polos, judesnya minta ampun setara dengan kebodohannya karena terlalu mudah percaya orang lain. Mudah tertipu, cerewet dan berisik, dan … sederet panjang lagi sifatnya yang bertolak belakang dengan Leon. Namun kini, di atas ranjang mewah ini, sebuah kamar tamu paling pojok di mansion megah milik keluarga Xaverius, keduanya mendekap erat dengan bibir berpagut panas, hasil dari kebodohan Eve yang tiada tara. Eve melepas bibirnya, tapi tidak dengan dekapan tangannya. “Huft!” Dia menarik napas dalam untuk mengisi ulang oksigen yang nyaris habis. “Ohh malaikatku, ayolah … buat aku melupakan si b******k Aksa dan kakak tiri laknat, Mikha anj***. Kamu—penyelamatku,” racaunya kembali dengan bibir merah muda pucat yang disodorkan tanpa syarat. Leon mengerjap. Dia tersadar, baru saja terlena dalam ciuman penuh gairah. Tapi … siapa yang b*******h? Hanya gadis ini atau dirinya juga? Heran. Leon heran bukan main, setelah tiga tahun …. “Sudah! Stop! Atau kamu akan menyesal!” Leon memundurkan badannya, tapi masih di atas ranjang. Pikirnya, jika tidak berhenti sekarang, bisa jadi dia tidak akan bisa berhenti nanti. Sebab, ada yang berbeda dari gadis ini. Dari yang dirasakannya. Namun Eve memang semenyebalkan itu. Dalam keadaan sadar saja dia keras kepala, apalagi dalam keadaan mabuk begini.”Aku—butuh seseorang. Tapi—kamu lebih dari seseorang. Kamu … malaikat penyelematku.” Eve meraih apa saja yang bisa diraih. Dan dia berhasil menarik kerah jubah panjang yang masih melekat di tubuh jangkung Leon. Leon menghela napas dalam. Ditatapnya sepasang mata sendu milik Eve. Ternyata, maniknya berwarna hazel. Unik, menarik. Rambutnya yang berwarna ash grey tampak bergelombang lembut yang jatuh hanya sebatas di bawah bahu. Entah mengapa, baru kali detak jantung Leon berdegup menjadi lebih kencang. Padahal biasanya dia sangat tenang. Bahkan saat menangkap buruannya saja dia bisa lebih tenang dari ini. “Umphh malaikatku,” bisik Eve yang lebih terdengar seperti desahan bagi Leon. Ah, gila! Ada apa denganku? Apa ada yang salah? Aku harus sadar, ini bisa kacau! Leon menghela napas dalam. Namun bibir gadis ini terlalu menggoda. Bahkan aroma parfum manis yang sama sekali bukan aroma wanita dewasa yang elegant. Justru memikat indera penciuman Leon. Leon mendekati wajah gadis bersemu merah muda karena pengaruh alkohol. “Eve, kumohon, berhenti sekarang, oke? Atau kau benar-benar akan menyesal,” bisiknya lembut. Sangat berbeda dengan biasanya yang selalu terdengar dingin atau bahkan ketus. Eve mengerling, menjatuhkan kepalanya di bahu bidang Leon. “Menyesal kenapa? Hem?” Leon mendengkus kesal. Entah sudah ke berapa kali di hari ini, kesabarannya diuji oleh gadis yang tiba-tiba datang ini. “Sebab kalau kamu tidak berhenti sekarang … maka aku yang tidak bisa berhenti nanti.” Eve, masih bersandar, santai. Pada bahu pria yang bahkan belum dikenalnya ini. Dan juga bahkan bukanlah malaikat seperti yang disebutnya, tapi lebih menyerupai iblis bagi sebagian orang yang telah mengenalnya cukup dalam. Eve tersenyum tipis, tanpa sadar kalau senyuman itu adalah … maut. Bagi dirinya sendiri. “Kalau begitu, jangan berhenti,” bisiknya lalu mendongak. Isi pikiran seorang gadis yang sedang patah hati, kacau hancur lebur, ditambah keadaannya yang sedang mabuk. Sama dengan, kosong. Sorot mata Leon yang selalu tajam. Perlahan berkabut, redup, menunduk. Lalu menyesap bibir manis Eve. Perlahan, tapi intens. Semakin larut, semakin dalam. Detik jam di atas meja nakas seakan sebagai lagu pengiring saat keduanya tak lagi bisa berhenti. Tangan kekar Leon yang terbiasa mengokang senjata, yang biasanya menggenggam gagang belati. Kini menelusuri dengan lembut, setiap inci lekuk tubuh Eve. Gadis yang tiba-tiba mendatanginya hari ini. Seperti jatuh dari langit. “Umhh,” desah Eve saat sesuatu yang belum pernah dirasanya, seakan menikam dan menggoncang. Dagunya terangkat, jari-jarinya mencengkeram sprei putih hingga ujung-ujung jarinya ikut memutih. “Apa—yang ….”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD