“Ter—jadi?” Pertanyaan bodoh terlontar dari bibir Eve. Padahal semua sudah terlambat jika mau disesali. Tapi dia bahkan masih belum sadar penuh dengan apa yang terjadi, pada dirinya saat ini.
Benar yang dikatakan Leon tadi. Dia tidak akan bisa berhenti. Hingga hasratnya terpuaskan. Tadi Eve yang menggodanya. Dan sekarang saat Leon telah berhasil tergoda, Eve justru merintih kesakitan. Kedua tangan mungilnya berusaha mendorong tubuh kekar Leon di atasnya.
“Hentikan! Apa yang kamu lakukan? Aku—ahh … sakittt! Sudah! Cukup!” Eve terengah.
“Tidak bisa. Aku sudah peringatkan tadi, aku—huft! Tidak bisa berhenti, maaf ….” Leon terus memompa. Perlahan. Cepat. Dan kembali perlahan karena kasihan melihat gadisnya terus merintih di bawah.
Ah, jangan-jangan ….
Leon berusaha mengenyahkan pikiran itu. Dia sedang menikmati ini. Tidak mau dan tidak bisa diganggu oleh apapun, bahkan oleh isi pikirannya sendiri. Tiga tahun sudah dia mengunci diri, pada wanita manapun. Jangankan bersentuhan intim seperti ini, mengenal wanita saja ibarat haram baginya. Sekarang, semua pertahanan itu runtuh untuk gadis ini.
Air mata jatuh di wajah Eve. Bersamaan dengan Leon yang sedang melambung tinggi, sampai di puncaknya. “Arghh!” Desahan yang sejak tadi ditahannya, lolos tanpa bisa ditahan lagi.
Leon menghela napas dalam. Kening dan punggungnya berkeringat, padahal suhu ruangan begitu dingin sebab AC yang selalu terawat baik. Dia menggulingkan tubuhnya perlahan. Memang lelah, tapi itu tidak seberapa dibanding rasa puasnya. Dia berbaring di samping Eve yang terlentang pasrah. Senyum tipis menghias bibirnya.
“Aduh, uhh,” rintih Eve serak. Saat dia mencoba menggerakkan badan.
Leon menoleh, merasa kasihan pada gadis yang sudah merobohkan benteng pertahanannya selama tiga tahun ini. “Eve, sesakit itukah? Apa kamu ….”
Leon tidak melanjutkan ucapannya. Pandangan Leon kembali menelusuri tiap lekuk tubuh indah Eve, yang masih belum tertutup sehelai benangpun. Leon saja lupa, kapan dia melepaskan seluruh pakaian mereka berdua? Hingga terlihat berserak tak karuan di atas lantai.
Hingga tatapan itu berhenti pada bercak merah di sprei putih, di dekat pangkal paha Eve. Kedua bola mata Leon terbelalak.
Jadi, benar dugaanku! Dia masih perawan! Dan aku—yang telah merebut kegadisannya! Apa ini akan bermasalah? Ah, benar-benar perempuan pembawa sial!
Rutukan Leon di dalam hati terhenti ketika merasakan getaran di sampingnya. Dia menoleh lagi. Ternyata Eve sedang meringkuk memeluk guling, gemetaran. Segera Leon meraih selimut tebal dari ujung ranjang. Lalu dibentangkannya dan menyelimuti seluruh tubuh Eve hingga lehernya.
Gadis itu menggeliat sebentar lalu kembali meringkuk di balik selimut. Sekarang dia tidak menggigil lagi. Leon tidak langsung beranjak dari sana. Dia betah menatap wajah Eve, hingga satu menit lamanya. Itu termasuk rekor. Sebab Leon lebih sering melengos jika berhadapan dengan wanita.
Apalagi ada wanita yang terpesona pada ketampanannya lalu berani menatapnya. Bisa-bisa akan masuk list target Leon. Untuk dimusnahkan.
Pria jangkung dengan rahang tegas itu turun dari ranjang. Memungut pakaiannya sendiri. Lalu dengan penuh kesadaran juga memungut pakaian milik Eve. Meletakannya dengan rapi untuk ukuran pria, di atas sofa dekat ranjang.
Setelah tubuhnya telah berpakaian lengkap, termasuk jubah hitam panjang sebagai luaran, Leon melenggang keluar kamar tamu paling pojok. Lalu berjalan santai menuju kamarnya sendiri di lantai dua.
Kedua matanya mulai agak mengantuk. Dia butuh istirahat. Setidaknya dua sampai tiga jam. Ya, Leon telah terbiasa istirahat sebanyak tiga jam saja sehari, selebihnya untuk bekerja: berpikir lalu memburu.
Empat jam setelah Leon meninggalkan Eve terlelap sendirian.
Alarm dari jam bundar kecil tapi nyaring, lantang dari atas meja nakas di samping ranjang. Suaranya cukup memekikkan telinga ke seluruh sisi kamar.
“Ahh! Uhh berisik!” Eve bergerak malas. Membalik badan perlahan dengan tangan menggapai mencari guling. Namun nyaring suara alarm jam benar-benar mengusik lelapnya.
“Hemm jam siapa sih nih?!” Eve bergeser ke arah meja nakas. Masih dalam posisi berbaring, hanya sekarang dia miring ke kanan. Lalu menekan lekukan menonjol di atas jam bundar. Suara nyaring itu berhenti seketika.
Dengan kedua bola mata memicing, Eve berusaha membuka kelopaknya. Dan … sudah pukul tujuh!
“Astaga!” Dia mencoba mengingat, apakah hari ini ada kuliah pagi. Ah, ternyata tidak ada. Sedikit menghembuskan napas lega. Hanya sedikit. Sebab sebentar lagi kamarnya pasti akan digedor oleh seseorang. Menyuruhnya untuk mengurus sang papa. Sederet pekerjaan yang harus dilakoninya setiap pagi. Tapi tak mengapa, Eve menerima itu dengan lapang d**a. Yang dia tidak terima hanya cara mereka saat memerintahkan. Melebihi dari kasarnya memperlakukan seorang b***k.
“Ah, aku harus memeriksa papa,” gumamnya. Baru saja dia akan menurunkan kaki ke lantai, tiba-tiba serangan rasa perih dan nyeri membuatnya tertahan. “Uhh! Aduh!” lirihnya.
Keningnya mengernyit. Ketika dia menunduk untuk melihat bagian pangkal paha yang terasa begitu perih, kedua bola matanya terbelalak. “HAH?! Kenapa aku—telanjang?”
Ceklek. Seorang pria kelewat tampan dengan setelan jas yang sanking rapinya hingga terkesan kaku. Menatap lurus dan lekat pada Eve di sana.
“Heh! Siapa kamu?!” teriak Eve lalu sebelah tangannya menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Dia sedang duduk di tepi ranjang dengan kedua kaki menjuntai, nyaris menyentuh lantai, tapi tidak sampai. Seharusnya dengan keadaan seperti itu saja dia sudah harus mengenali kalau ini bukan ranjang miliknya. Tapi dasar Eve, dia lebih galak daripada berusaha sadar diri.
“Sudah bangun, gadis pemabuk? Sekarang sudah pukul tujuh, kuberi kau waktu satu jam lagi, untuk membersihkan diri, lalu silakan pergi dari rumah ini. Dengan—tenang.” Leon tidak mempedulikan pertanyaan Eve. Lalu dia menutup pintu dan melangkah pergi.
Tinggallah Eve sendirian. Di dalam kamar, di atas ranjang besar. Kebingungan. Pandangannya mengedar. Memindai sekitar. Dia menepuk jidat. “Astaga! Aku di mana? Ini kamar siapa? Dan—” Eve membuka selimutnya sedikit. Takut-takut. Memperhatikan tubuhnya sendiri, yang sangat mulus, sanking mulusnya tidak tertutup sehelai benangpun. “A—apa yang sudah terjadi padaku?”
Eve menoleh ke belakang. Kembali, bola mata hazel yang indah itu, terbelalak! Saat pandangannya tertumpu pada bercak merah di atas sprei putih. Jelas sekali. Dan rasa perih pada bagian inti tubuhnya.
Glek. Marissa Eve menelan saliva dengan susah payah. Apakah aku sudah melakukan hal itu semalam? Tapi dengan siapa? Kepala Eve terasa pening seketika. Satu yang paling berharga dari dirinya hilang sudah. Padahal selama ini sangat dia jaga bahkan saat Aksa memohon memintanya dengan begitu lembut. Tidak Eve berikan.
Tapi sekarang? Justru dia berikan pada pria yang bahkan tidak dia ingat. Eve berusaha berdiri dengan berpegangan pada ranjang. “Duh!” rintihnya. Eve si gadis kuat, berlinang air mata. Berjalan tertatih menuju kamar mandi di pojok ruang kamar ini yang luas.
Air hangat mengucur deras dari shower. Eve berdiri di bawah pancuran air. Air matanya luruh bersama aliran air hangat. Dia jarang menangis. Sangat jarang. Tapi sekarang, rasanya air mata tidak mau berhenti. Menyesal yang paling menyesal.
Di salah satu ruang yang termasuk paling besar, selain tiga kamar utama di mansion ini. Berdiri Leon Xaverius. Menghadap ke arah luar kaca jendela besar. Menatap jauh kesana. Tapi pikirannya masih menetap di dalam mansion ini. Tepatnya di dalam kamar tamu paling pojok.
Gadis itu, apa aku memang harus mengusirnya? Atau kutahan saja di sini?