Eve menggunakan kembali pakaiannya semalam. Dia menyusut sisa air mata di wajah. Ada cermin besar di sana. Eve berdiri di depan cermin. Masih terlihat wajahnya yang sembab. Diambilnya sisir besar dengan tangkai berukir, lalu menyusuri rambut ash grey yang masih setengah basah. Bahkan semua peralatan kecil di dalam kamar ini terlihat mahal. Tidak ada sisir atau sabun murahan di sini.
Kulit mulus Eve beraroma bunga Lilac. Harumnya sangat manis dan pekat. Berasal dari sabun yang tadi dia pakai, dan baru kali ini dia lihat bentuk botolnya. Jelas mewah.
“Jadi, di mana aku?”
Eve melirik ke atas meja nakas. Sling bag putih miliknya tergeletak di sana. Segera dia meraih lalu membukanya. Ternyata seluruh isinya masih lengkap. Dirogohnya handphone dari dalam tas. Tertera di layar puluhan panggilan tidak terjawab dari Bella dan Reyyan. Dua orang sahabat yang paling mengerti tentang dirinya.
Eve mendengkus sedih. Apa yang harus dia katakan pada dua sahabatnya ini? Apa dia harus bilang kalau dia sudah tidak perawan lagi sekarang? Ah, tidak! Tidak mungkin dan tidak perlu.
Dan ada satu panggilan tidak terjawab dari nama ‘Mama Arini Jahat’. Pagi ini. Sudah pasti dia baru sadar kehilangan anak tirinya di pagi ini. Tepatnya kehilangan karena merasa tidak ada yang mengurus sang papa di pagi ini.
Deretan pesan yang sudah tentu paling banyak dari Bella dan Reyyan, tidak dibukanya. Eve hanya harus satu, keluar dari rumah yang entah milik siapa ini, lalu pulang.
Sekali lagi dilihatnya pantulan wajah sembab dari cermin. Handphone dimasukkan kembali ke dalam tas. Lalu dia raih pelembab wajah dan bibir. Mengoleskannya supaya sedikit saja membuat wajah terlihat lebih segar. Inilah tampilan wajah Eve yang sebenarnnya. Entah dia akan berangkat kuliah atau pergi main dengan dua sahabatnya. Begitu natural. Tidak seperti semalam dengan polesan lipstik merah di bibirnya.
Semalam? Eve mencoba mengingat. Ah, semalam aku mabuk! Lalu … aku berjalan sendirian. Aku—melihat deretan mobil. Itu pasti tempat parkir! Dan—aku melihat seorang pria … berjubah. Wajahnya … dia. Pria ketus tadi. Ya, itu pasti dia!
Stop. Hanya sampai di situ Eve bisa mengingat. Setelahnya dia lupa apalagi hal bodoh yang dia lakukan semalam. Apalagi Eve bepergian tanpa dikawal kedua pawangnya, Bella dan Reyyan. Sudah tentu dia melakukan hal-hal aneh.
“Aku harus mencari pria tadi! Dan aku harus tau, dia atau siapa yang telah melakukan ini padaku. Jahat!” geramnya. Lalu menyampirkan tali tas di bahu.
Eve mengulurkan tangan membuka knop pintu. Dan dia langsung menghela napas lega karena bisa-bisanya sempat terpikir adegan film tentang mafia yang baru kemarin dia tonton. Seorang gadis menjadi tawanan dan berada dalam kamar yang mewah … terkurung.
Langkah penuh hati-hati, Eve menyusuri lantai marmer mengkilap. Sepi. Sorot matanya terpesona pada interior rumah yang begitu megah. Terkesan klasik, tidak modern, bahkan penuh misteri. Tapi semua tampak mahal. Lebih tepatnya, benar-benar mahal.
Eve justru bergidik. Berjalan sendirian di dalam rumah yang sangat luas tapi sepi, benar-benar misterius. Tidak habis pikir, bisa-bisanya dia ada di dalam rumah besar bertingkat dua ini. Kenapa pria itu membawanya kesini? Ini rumahnya? Berbagai pertanyaan melesak dalam kepala Eve.
“Nona!”
Eve berhenti mendadak. Menoleh. Seorang wanita berpakaian rapi seperti seragam, tinggi besar untuk ukuran perempuan. Berdiri di sana. Kerut di keningnya menandakan dia tidak suka ada orang lain di sini. Dan orang lain itu tentu saja Eve.
“Nona, Anda siapa? Dan sedang apa di sini?” tanyanya dengan nada dingin.
Cling. Kilatan sesuatu mengalihkan pandangan Eve. Dia terbelalak ketika melihat tangan kanan wanita berseragam itu sedang memegang pisau daging. Besar dan sudah pasti sangat tajam. Kilatan dari besi tipis jelas terlihat.
Cepat! Eve berpikir harus melarikan diri dari sini. Dia membalik badan dan melangkah cepat. Baginya, wanita itu tampak mengerikan.
“Hei Nona! Berhenti sekarang juga!” teriaknya dan Eve tidak berhenti. Bahkan langkah cepatnya semakin cepat dan berlari. Meskipun sambil menahan rasa nyeri di pangkal paha yang semakin terasa perih saat berlari begini.
Dia sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun. Sedang tidak ingin menjelaskan pada siapapun, siapa dirinya. Dia hanya ingin bertemu dengan pria itu untuk memastikan, diakah p****************g yang telah merenggut kesuciannya?!
Eve menoleh ke belakang. “Huft! Hampir saja.” Dia menarik napas lega. Wanita tadi sudah tidak terlihat. Dia memindai sekitar. Ini masih di lantai bawah, tapi sudah di ruangan berbeda lagi. Entah ada berapa banyak ruangan di rumah ini. Yang jelas, Eve sampai lupa ada di arah mana tadi kamar yang dia tempati?
Mengendap. Eve menyusuri ruangan demi ruangan. Sampai dia mendengar sesuatu. Suara pria sedang berbicara. Ya, di sana, beberapa langkah di depannya. Eve berharap itu pria tadi, yang sedang dicarinya.
Pintunya tidak tertutup rapat, ada celah sedikit saja. Eve memberanikan diri mengintip. Dia sungguh tidak ingin terlibat apapun dalam rumah misterius ini, tapi hanya satu, harus bertemu dengan pria b******k itu. Setidaknya satu tamparan untuk dia.
Kekehan kecil, berat. “Ternyata, bisa juga kamu gagal.” Lalu tawa itu berhenti tiba-tiba. “Waktunya hanya sampai besok, Leon. Kalau orang itu masih terlihat berkeliaran, kita yang mati.”
Seseorang yang dipanggil Leon, mendongak dari posisi menunduk. Eve langsung mengepal kedua tangan dengan kencang. Itu pria yang tadi dia lihat di kamar.
Raut tampan Leon, terlihat bengis. Matanya yang memicing tajam bagaikan tatapan elang saat menukik dari langit. “Lucca, apa aku pernah mengecewakanmu dan Papa? Mengecewakan Klan Xaverius? Kupikir kau yang paling mengenalku.” Leon mencibir.
Pria yang sama tingginya, bahkan garis wajah dan warna rambut juga mirip dengan Leon, mengangguk seraya tersenyum. “Oke. Oke. Aku cuma mengingatkanmu, Leon. Abirama harus tumbang sebelum pemilu.”
Kriekk … gedubrak.
“Eh!” Eve mengusap kedua lutut yang terasa sedikit nyeri. Dia cepat bangkit dan balas menatap kedua pria yang sedang sama-sama menatapnya dengan terheran.
Salahnya Eve, dia terlalu menempel pada pintu. Hingga tak sadar tubuhnya mendorong pintu tanpa sengaja dan lalu terjerembab ke lantai. sekarang, pintu itu terbuka lebar.
Itu adalah ruang kerja Xaverius bersaudara. Tapi lebih banyak dipakai oleh Leon. Sedangkan Lucca lebih suka berkutat di dalam paviliun miliknya.
“Ma—maaf! Eh tidak, tidak. Aku nggak perlu minta maaf,” ralatnya cepat.
Lucca menoleh tenang pada sang adik, yang hanya berbeda dua tahun dengannya. “Kamu memasukkan wanita ke rumah ini? Apa aku nggak salah lihat?” Ada senyuman tipis menggoda di bibir Lucca. Namun tatapannya penuh selidik. “Wahh! Hebat! Adikku akhirnya sudah bisa move on.” Lucca bertepuk tangan lambat. Namun terkesan bukan sedang mengagumi, tapi lebih pada mengejek.
“Ternyata seleramu sekarang gadis muda yang … lancang. Berani menguping pembicaraan kita berarti dia datang untuk menyerahkan nyawa.” Lucca kembali menoleh pada Eve di sana. Dia akui wajah gadis yang satu ini bisa membuatnya tidak berpaling dalam hitungan detik. Menarik. Tapi sayang, gadis cantik ini telah melakukan kesalahan besar.
Leon terlihat mendengkus kesal. Masih menatap Eve dengan kening mengernyit. “Gadis itu, biar aku yang urus.”
Lucca tersenyum miring. “Kalau kamu perlu bantuan, bilang saja, adikku. Dengan senang hati aku akan membantu. Kamu kan tau, aku paling suka bermain-main dengan seorang gadis sebelum—”
“Sudah kubilang, biar aku saja!” Sentakan Leon membuat Lucca berpaling dari menatap wajah Eve. Demikian juga dengan Eve, dia terkejut sampai tersadar apa maksud tujuannya mencari pria ini.
Eve berjalan tegap dengan tubuh rampingnya, sampai dia berdiri berhadapan dengan Leon. Dan Lucca di samping mereka, sedang duduk santai, kembali memperhatikan gerak-gerik Eve. Tapi Eve justru seperti tidak peduli sama sekali pada Lucca. Sorot matanya hanya tertuju pada Leon.
Plak! Sebuah tamparan cukup kencang mendarat di pipi kiri Leon, begitu saja.
“Wahh,” desis Lucca. Terkagum. Lalu menutup mulutnya dengan satu tangan. Sorot matanya sekarang tampak sedang menahan tawa. Mentertawakan derita sang adik.
Leon meluruskan lagi wajahnya. Kulit putih pucat membuat pipinya dengan cepat bersemu kemerahan. Akibat tamparan tiba-tiba dari Eve. Namun tidak ada ekspresi apapun pada wajah tampannya.
Eve justru mengusap telapak tangan yang terasa panas. Dia menyeringai, memelototi Leon. “Rasakan! Itu belum seberapa dibanding dengan apa yang telah kamu lakukan padaku!”