Tertangkap Basah

1393 Words
Delia dan sopirnya sudah sampai di depan pintu ruangan Dirga. Berhubung tidak ada orang di meja sekretaris, Kasim si sopir berinisiatif untuk langsung menemui majikannya. Keduanya pun langsung masuk begitu saja ke ruangan Dirga setelah suara sahutan dari dalam menyambut ketukan pintu. Namun, Kasim pria paruh baya yang mengantar Delia itu spontan meminta maaf. Dia menganggukkan kepala berkali-kali saat Dirga memelototinya. Kasim merasa bersalah telah membukakan pintu untuk nona-nya tanpa membuat suara terlebih dahulu agar Dirga tahu siapa yang datang. Dirga mengira sekretaris-nya lah yang mengetuk pintu. Sehingga ia begitu saja mempersilakan masuk tanpa menyamarkan keadaan di dalam. Jika wanita lain di posisi Delia saat ini, pasti dia akan langsung mengamuk, mendapati sang suami tengah memangku seorang perempuan. Delia melihat Dirga melingkarkan tangan di pinggang cewek seksi itu. Namun, bukannya marah Delia justru hanya bergeming. Dirga menyoroti sang sopir dengan tatapan yang sulit Delia mengerti. Gadis itu hanya menoleh pada yang ditatap Dirga sedemikian rupa. "Ini, Non." Kasim paham, ia segera meninggalkan tempat setelah memberikan paper bag yang ia bawa, tak lupa pria asli tanah sunda itu menutup kembali pintu ruangan Dirga. Setelah pak sopir pergi, Delia makin salah tingkah. Ia tidak tahu harus mengatakan apa pada Dirga atas kedatangannya yang tiba-tiba. "De—" "Maaf, Mas. Tadi, mama yang minta Delia untuk ke sini," potong Delia. "Delia pulang aja, deh. Maaf sudah ganggu Mas Dirga." Gadis itu sudah memundurkan kaki satu langkah, hendak berbalik. "Tunggu, tunggu. Ini ... ." Dirga bingung harus menjelaskannya seperti apa. Delia pasti sudah salah paham. "Kamu pulang dulu, ya. Nanti kuhubungi lagi. Soal itu, kamu jangan khawatir aku pasti tanggung jawab," bisik Dirga pada perempuan yang menemaninya sebelum Delia datang. "Oke, Sayang. Jangan lupa loh," respon perempuan itu manja. Ia menggerakkan ponsel di genggaman tangannya ke telinga. Memberi isyarat agar Dirga menghubunginya lagi. Dirga hanya mengangguk samar. Setelahnya, wanita blasteran itu dengan berani mencium pipi Dirga lalu beranjak pergi. Wanita berpakaian kurang bahan tersebut melangkahkan kaki jenjangnya mendekati Delia. Dia tersenyum miring begitu sampai di sisi sebelah kanan Delia. "Jadi, kamu istrinya Dirga?" Tidak ada yang salah dengan pertanyaannya mengenai Delia. Namun, decihan diujung kalimatnya seolah tengah menghina gadis desa yang kini sudah sah menjadi istri Dirga. Bukan hanya decihan, bahkan tatapan mata—yang lagi-lagi tidak dimengerti Delia—bermanik hazel itu tak lepas membingkai setiap lekuk tubuh Delia. "Yang kayak gini ... pilihan Sultan Bagaskara? Ck ck ck!" Dia berdecak. "Sudahlah, selamat menikmati penderitaanmu, gadis bodoh!" bisiknya, menghujam pertahanan Delia. Delia hampir oleng mendengar kalimat wanita asing itu. 'Dasar bodoh!' kata-kata umpatannya membuat Delia hampir meneteskan air mata. Namun, dengan cepat, Delia kembali menegarkan hatinya. *** Hening. Sepeninggal wanita itu tak ada satu pun di antara Delia maupun Dirga yang memulai pembicaraan. Hampir sepuluh menit berlalu, yang dilakukan Dirga hanya memperhatikan penampilan Delia. Gadis itu memakai dres pink yang manis. Rambutnya tak lagi lurus melainkan ikal bergelombang. Namun, tetap dengan warna hitamnya yang amat legam. Riasan di wajah Delia memang sederhana, tetapi sangat menarik di mata Dirga. Delia jadi terlihat manis dengan sedikit rona di pipi serta bibir berpoleskan lipstik berwarna Peace. Jangan lupakan alis tegas yang ia miliki, kini semakin tampak rapi. Belum lagi bulu mata lentik milik Delia yang menggoda, terlebih saat gadis itu mengerjap-ngerjapkan mata. Dirga pelahan mendekati. Tatapannya lurus pada wajah Delia. Tepat dua langkah jarak mereka, Dirga berhenti. Lagi-lagi tak sepatah pun terucap. "Mas ... Mas Dirga!" tegur Delia. Melambaikan tangannya tepat di depan wajah Dirga. "Heum ... ya! Cantik," ujar Dirga spontan. "A-apa, Mas?" Dirga dibuat salah tingkah. "Enggak, itu ... eum." Tangannya mengusap tengkuk lalu menunjuk ke arah pintu. "Teman Mas Dirga memang cantik." "Teman?" Dirga tersenyum simpul. "Iya, tadi itu teman Mas Dirga, bukan?" Delia berspekulasi dengan segala keluguannya. Dirga kemudian duduk di sofa dan menyuruh Delia turut duduk di sampingnya. Dirga merogoh saku celana, mencari keberadaan ponselnya. "Itu tadi ... namanya Angel," ucap Dirga. Jemarinya sibuk bermain di atas layar benda canggihnya. Entah apa yang dilakukan Dirga. Mungkin juga mengirim pesan untuk gadis bernama Angel itu. "Angel." Dirga mengangguk. "Namanya bagus. Teman Mas Dirga?" "I-iya." Gugup Dirga. Ia kembali meletakkan ponselnya di atas meja. Dirga melirik apa yang dibawa Delia. "Itu apa?" Delia tersenyum sebelum akhirnya membuka paper bag. "Kata Mama, ini kue kesukaan Mas Dirga." "Oh, ya?" Dirga antusias menyambut apa yang dibawakan Delia untuknya. Keduanya pun menikmati kue bersama-sama setelah seorang office boy mengantarkan dua cangkir teh. Tak lupa, Dirga juga meminta kepada sekretarisnya yang bernama Sinta untuk tidak mengganggu ia dan Delia, juga untuk membatalkan sementara jadwal-jadwal pekerjaannya. "De," panggil Dirga. Lelaki berjambang tipis itu semakin merapatkan tubuhnya, mendekati Delia. "Saya betul-betul gak nyangka kamu bisa secantik ini, De." Delia tersipu. Gadis itu salah tingkah. Beberapa kali dia membetulkan poni rambutnya ke belakang telinga hanya sebatas menyembunyikan kegugupannya. "Mama yang buat seperti ini, Mas. Delia, sih, sebetulnya enggak nyaman," ucap Delia. "Kenapa? Cantik tau. Omong-omong, kamu ... tadi ... ." Dirga duduk menyamping, sebelah kakinya bersila di atas sofa. Tangan Dirga membelai rambut Delia sebelum melanjutkan kalimatnya. "Tadi, gak ngerasa apa gitu? Lihat saya sama Angel." "Hah, ngerasa, ngerasa apa memangnya?" Delia balik bertanya. "Cemburu atau apa gitu?" "Eum ... gimana, ya. Delia biasa aja, Mas. Lagian cuma temen, kan?" Delia ini polos beneran, atau hanya pura-pura tidak paham, sih? Batin Dirga. Aku peluk-peluk Angel lho tadi, tapi dia tidak bereaksi apa pun. Dirga menjauhkan tangannya dari telinga Delia. Moodnya berubah kesal saat tahu Delia benar-benar tidak merasa cemburu. "Kamu, mau lama di sini?" tanya Dirga tak acuh. "Delia enggak tahu." Dia menggelengkan kepala perlahan, manik hitamnya mengerjap dua kali diiring cengiran, menunjukkan deretan gigi putih. Lagi dan lagi, Dirga dibuat geregetan oleh perempuan di sampingnya itu. "Ah, Deliaaa! Kamu tuh serba gak tau. Apa tidak ada jawaban lain, selain geleng kepala." Dirga mendengkus. "Makan siang aja, yuk!" ajaknya kemudian. Dirga berdiri lebih dulu sebelum mendengar apa jawaban Delia. "Mas, kan baru abis makan cake, emangnya gak kenyang." "Wow, cake? Lidah kamu cakap banget bilang 'Cake'. Bisa Bahasa Inggris, De?" Dirga membungkukkan kembali tubuhnya di depan Delia yang masih duduk anteng. Wajah Dirga begitu dekat dengan Delia, sampai-sampai gadis itu memundurkan kepalanya hingga membentur sandaran sofa. "Bi-bisa, sedikit," ucapnya nanap. "Ma-Mas, Mas Dirga mau apa, sih?" Delia mendorong pelan bahu Dirga menggunakan telunjuknya. Dirga merebut, menggenggam jemari Delia posesif. Tatapannya membingkai setiap garis wajah Delia, penuh damba. Dirga kembali duduk di sisi kanan Delia. Satu tangannya yang lain membelai pipi Delia. Merayap hingga ke tengkuk leher gadis itu. Delia mulai salah tingkah oleh perlakuan Dirga. Mata bulat Delia mengerjap-erjap. Bibirnya sedikit terbuka dan hal itu seperti memberi kesempatan bagi Dirga. padahal, Delia hanya ingin mengucapkan sesuatu, tetapi sayang sudah terlambat. Dirga sudah lebih dulu berhasil menjangkau telaga madu milik Delia. Menciumnya rakus. Saking agresifnya sampai-sampai Delia kewalahan. Gadis itu tentu saja tidak bisa mengimbangi Dirga. Sejatinya, ia memang pria dewasa yang sudah sangat pro—dalam hal menaklukan wanita. Terlepas dari prinsipnya yang enggan terikat hubungan. Dirga memberanikan diri menyentuh Delia. Sepolos apa pun gadis desa itu, tidak mungkin dia tidak tahu arti sebuah pernikahan. Pikir Dirga. Baginya, apalagi kalau bukan memberi kenikmatan. Walaupun sebelumnya, Dirga merasa takut jika harus merusak masa depan Delia, tetapi insting lelakinya muncul begitu saja melihat Delia secantik bidadari. "Astaga!! Maaf, Pak. Aduh gimana ini? Maaf, maaf. Saya lupa, maaf." Kegiatan Dirga terpaksa terhenti oleh teriakan Sinta. Sekretarisnya itu membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Sial. Padahal Dirga tengah menikmati apa yang ia tunda kemarin malam. Sinta datang mengagetkan dan wanita itu kabur begitu saja setelah mengganggu Dirga. "Ah ... SINTARANI NUGRAHA!! Mau saya pecat kamu?" geram Dirga. "Maaf, Pak!" Sahutan si sekretaris itu dari luar membuat Delia sadar akan apa yang baru saja terjadi. Ia menunduk, menggigit bibir yang baru saja bersentuhan dengan milik suaminya. "Ini bukan mimpi, ya?" gumam Delia. "Maaf, ya, De. Sinta emang reseh." Kalimat Dirga membuyarkan lamunan Delia. "Enggak apa-apa, kok, Mas. Cuman ... Delia malu ini jadinya sama sekretaris Mas Dirga." "Sudah, cuek saja." Dirga pun sudah berdiri, merapikan stelan jasnya. "Mending kita makan siang aja, yuk! Soal tadi bisa kita lanjut di rumah nanti." Bisikan Dirga sukses membuat tubuh Delia—yang baru saja ikut berdiri di samping Dirga—kembali menegang. "Kamu mau, kan?" "I-iya, Mas. Delia emang udah laper lagi. Ayo kita makan!" "Astagfirullah, bukan 'mau' itu maksudnya." Dirga mengusap tengkuknya kasar. "Iya, deh, makan aja dulu. Nanti kalau kamu sudah kenyang tinggal saya yang makan kamu, Delia," gerutunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD