Nge-Mall

1535 Words
Binar di mata Delia kian terpancar tatkala gadis itu sudah memasuki area pusat perbelanjaan. Delia tak lagi bertingkah serba ingin tahu. Mulutnya diam. Mengunci diri dari segala kekepoan. Ia hanya menoleh kanan-kiri. Mendongak melihat-lihat objek yang ada. Delia tampak begitu takjub. Mama mertuanya dengan setia memandu Delia. Menunjukkan beberapa toko langganan berbelanja. Delia dan Rima masuk ke sebuah toko baju. Ada banyak pakaian bagus dan mewah di dalamnya. Tangan Delia terulur menyentuh dress berwarna putih dengan aksen renda brokat di bagian lehernya. "Kamu suka?" tanya Rima memperhatikan menantunya yang tengah membolak-balik baju itu di depan tubuhnya. "Mahal, Ma." Rima tersenyum mendengarkan. "Yang lain saja." Delia sudah beralih ke pakaian yang lainnya. "Ini juga, lebih mahal, ya?" Dress dengan model hampir sama, berwarna merah menyala Delia tunjukkan pada Rima. "Sayang, di sini memang rata-rata harganya segitu. Kalau kamu suka, coba saja dulu … ." Rima menunjuk kamar pas di pojok kanan, tak jauh dari tempat keduanya memilih pakaian. Delia menoleh pada apa yang ditunjukkan ibu mertuanya. Ia ragu. "Eum … di sana?" tanya gadis itu polos. "Iya," jawab Rima. "Mbak, tolong bantu menantu saya." Rima memanggil pelayan toko untuk membantu Delia mencoba baju-baju yang dipilihnya. Tak lupa Rima menambahkan pilihan pakaian lain yang menurutnya pantas untuk dipakai Delia. Selepas perjalanannya berburu baju, Rima mengajak Delia memilih tas, sepatu dan perhiasan. Delia sudah acapkali menolak, tetapi itu tidak berarti. Penolakannya justru malah menjadikan ibu mertuanya semakin membelikan banyak barang untuknya. Delia memang tidak begitu tertarik dengan membeli kebutuhannya sendiri. Rata-rata apa yang dibeli dan dibayar adalah pilihan Rima. Mama Dirga itu memiliki selera yang sangat bagus. Tak berhenti sampai di sana, Delia dibawa ibu mertua untuk pergi ke salon. Mengubah gaya rambut. Melakukan SPA dan Creambath. Wajah Delia yang cukup manis pun dipoles make-up sedemikian rupa. Gadis desa yang semula biasa-biasa saja kini berubah menjadi luar biasa berkat di makeover oleh pegawai salon yang sudah profesional. Lagi-lagi tempat tersebut langganan ibu mertuanya. "Gimana, Sist? Sudah bak bidadari turun dari langit, kaaan?" Seorang hair stylist menuntun Delia menghampiri Rima. Cowok kemayu, bicaranya saja membuat Delia meringis geli, dia membangga-banggakan hasil pekerjaannya di depan Rima. "Sempurna." Rima menyambut Delia. Takjub melihat perubahan yang terjadi setelah Delia didandani. "Luar biasa, cantik banget mantu mama ini." Rima mencium pipi Delia dengan penuh sayang. *** "Kamu nanti ikut Mang Kasim, ya, Del?" ucap Rima selepas mereka berterima kasih pada si cowok kemayu itu. "Jangan lupa pake ini lagi!" Rima menyodorkan pengharum mulut atau mouth spray pada Delia dan gadis itu menerimanya. "Mulut kamu masih bau pete, dikit," cicit Rima menahan tawa. "Masih, ya, Ma. Duh, padahal dari tadi Delia ngomong terus, sama Mama sama Mang Kasim, sama pegawai toko, juga petugas salon yang begini." Delia menirukan gaya hair stylish yang menanganinya tadi. "Hehe … jadi malu Delia." Cengiran gadis itu membuat Rima tertawa kecil. "Gak terlalu, sih. Tapi, Dirga itu paling anti sama bau pete. Makanya jangan sampe kecium walaupun cuma sedikit," tutur Rima. Berjalan menuju eskalator diikuti oleh Delia. Gadis itu memegang erat tangan Rima. Sama seperti saat naik ke lantai atas tadi. Delia yang dari desa, baru pertama kalinya masuk Mall. Naik-turun menggunakan tangga berjalan sungguh membuatnya sedikit ketakutan. "Cium?" "Kecium baunya," jelas Rima. "Oo … ." "Kamu pikir, cium apa coba?" goda Rima. Membuat Delia tersipu. "Enggak, ih, Mama." Keduanya sudah keluar dari dalam Mall. Mama Rima tampak menghubungi seseorang menggunakan ponselnya. Tak berselang lama, Mang Kasim datang membawa mobil tepat ke hadapan mereka. Delia berjalan menuju kendaraan yang baru saja sampai itu. Ia membuka pintu untuk segera masuk. Namun, niatnya urung ketika mendapati ibu mertuanya justru tidak ikut serta. "Lho, kok Mama diem aja. Ayo … kita pulang sekarang, kan?" tanya Delia. "Tadi, Mama bilang apa sama kamu?" Bukan menjawab, Rima justru balik bertanya pada sang menantu. Delia hanya mengernyitkan dahi. Mungkin gadis itu tidak mendengar apa yang dikatakan Rima sesaat setelah mereka selesai melakukan pembayaran di meja kasir. "Mama bilang, kamu ikut Mang Kasim. Mama udah ada yang jemput ... tuh!" Tunjuk Rima pada sebuah mobil lain yang baru saja memasuki pelataran Mall. Mobil yang juga Delia lihat ada di rumah Dirga. Kendaraan roda empat milik keluarga Bagaskara, entah ada berapa lagi yang belum Delia lihat. "Ke mana, Ma?" "Temuin suami kamu. Dirga pasti senang dapat kejutan dari kamu, Sayang." Rima menghampiri Delia di samping mobil. "Dan ini, bawa ini untuk kalian makan berdua di sana. Ayo!" Rima memberikan bingkisan yang ia minta dari sopirnya yang lain—yang baru sampai. Ia meminta sopir tersebut untuk singgah di toko kue dan membelikan satu kesukaan Dirga untuk dibawa oleh Delia sebagai kejutan. Rupanya, Rima sudah merencanakan hal ini sejak berburu banyak pakaian mahal. Membawa Delia untuk dipermak alias di make over. Kecantikan Delia saat ini membuat Rima optimis jika Dirga akan menyukainya. "Delia ke sana sendiri, Ma?" tanya Delia lagi. Ragu di hatinya untuk pergi seorang diri sebab ia belum terbiasa. Lebih-lebih menemui Dirga dengan penampilan baru yang membuatnya masih belum merasa nyaman. Delia seperti orang lain dan itu membuatnya kaku hingga salah tingkah. Rima memegangi kedua pundak Delia. "Dengar! Kamu itu cantik, Sayang. Lihat di kaca, Dirga pasti gak percaya kalau ini kamu," ucapnya memberi semangat. "Tapi, Ma … Delia masih gak nyaman sama penampilan Delia yang sekarang. Baju, tas, sepatu. Delia susah jalan pakai sepatu begini." High Heels setinggi lima sentimeter itu sungguh menyiksa kaki Delia yang tidak terbiasa memakainya. Ia bahkan berulang-kali hampir terjatuh. "Tadi, kan udah latihan jalan. Pelan-pelan, anggun, jangan ragu ngambil langkah. Harus percaya diri, ngerti!" Delia menggaruk pelipis, menggigit bibir, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "I-iya, nge-ngerti, ngerti, Ma. Tapi nanti Delia ngapain di sana?" tanya Delia lagi. "Kebanyakan 'tapi' nih anak, Mang Kasim ayo berangkat, bawa Delia buat ketemu Dirga!" "Iya, Nyonya." Mang Kasim mengangguk patuh. "Ayo, Non," ajaknya pada Delia. Membukakan pintu belakang agar Sang Nona segera masuk. "Ma, tapi … ." *** Percuma saja memprotes apa maunya ibu mertua, memang tidak terbantahkan. Delia terpaksa harus anteng di belakang mobil. Hatinya berkecamuk. Bagaimana reaksi Dirga nanti saat melihatnya tiba-tiba datang? Apa Delia harus menghubunginya terlebih dahulu? Gadis itu teringat sesuatu. Delia merogoh tas dan mengeluarkan benda dari dalam sana. Satu barang lagi yang tadi dibelikan oleh Rima. Ibu mertuanya itu sengaja membelikan sebuah ponsel baru untuk menggantikan hape jadul Delia yang sudah ketinggalan jaman—yang bahkan tidak Delia bawa. Ia tinggalkan benda bersejarah tersebut di laci kamar Dirga. Delia mulai membuka layar benda pipih tersebut demi mengusir kejenuhan. "Ah … percuma aku belum bisa pake ini." Delia baru kali ini menggunakan handphone layar sentuh. Ia tidak terbiasa. Beberapa hal sudah Rima ajarkan padanya. Namun, ia masih belum begitu paham. "Nanti minta Dirga ajari." Ucapan Rima tentang ponsel barunya pun kembali ia ingat. Delia menoleh ke samping saat mobil yang ia tumpangi berbelok memasuki area perkantoran. Gedung bertingkat yang tadi hanya Delia lewati, kini, bangunan kokoh yang menjulang tinggi itu siap Delia singgahi. Mang Kasim keluar lebih dulu, membukakan pintu untuk nonanya."Non, ayo kita sudah sampai." Delia masih bergeming. Butuh beberapa detik sampai akhirnya Delia pun ragu-ragu turun dari dalam mobil. "Ayo masuk, Non. Kok malah bengong?" tegur Mang Kasim. Ucapan sopir menyentak Delia yang tengah takjub akan kenyataan di depan matanya. Bagaimana tidak, ia kini berstatuskan istri dari seorang CEO perusahaan besar. Meskipun kini penampilannya telah jauh berbeda, tetapi tetap saja, Delia merasa tidak percaya diri. "Pak, kita pulang aja, yuk! Delia gak usah temuin Mas Dirga, deh. Delia malu," katanya sambil terus kembali mendekati keberadaan mobil. "Lho, Non. Jangan gitu! Ayo, saya yang antar sampai ruangan Den Dirga," tawar pak sopir. "Delia gemetaran. Tuh, Pak Kasim lihat sendiri deh, tangan Delia. Sampe keringetan gini, Delia pulang saja, ya? Ya, Pak? Ayo!" Gadis itu masih bersikukuh enggan menemui Dirga. "Lagian, Pak, buat jalan saja Delia kesulitan pakai sepatu begini." Delia menunjukkan high heells-nya "Dicoba, ya, Non. Tadi, kan bisa. Dari pada saya kena omel nyonya nanti kalau enggak anter Non Delia ke Den Dirga." Permohonan Kasim membuat Delia luluh. Gadis itu melangkah sambil berdecak. Ingin menolak lagi, tetapi kalau urusannya Pak Kasim yang terkena masalah gara-gara dirinya nanti, Delia sungguh tidak akan tega. Ia pasti akan sangat-sangat merasa bersalah. Delia kembali berhenti diundakan tangga menuju pelataran gedung. Ia menoleh ke belakang. "Pak, Bapak duluan. Delia, kan enggak tau di mana ruangan Mas Dirga," ucap Delia pada Kasim yang tengah mengekorinya. "I-iya, Non." Kasim mengangguk, ia berjalan sedikit membungkuk melewati nona-nya. "Mari, Non!" Delia pun menurut, melangkah perlahan di belakang sopir itu. Meminta Pak Kasim untuk tidak terburu-buru sebab ia kesulitan mengatur irama sepatunya. Terkadang Delia bahkan hampir terjatuh. Di sisi lain beberapa karyawan-karyawati yang ia lewati tampak memperhatikan Delia. Tatapan mereka sulit Delia artikan. "Katanya, sih, itu istrinya Pak Dirga. Aku lihat dari medsosnya Sinta kemarin. Lumayan, sih, tapi kampungannya masih kelihatan banget, ya? Lihat tuh!" Di ujung pendengaran, Delia menangkap sebuah celotehan yang sukses menyayat hati. Namun, apa pun itu, Delia cukup bisa menerimanya sebab itu memang kenyataan. Lagi pula, ini bukan kali pertama Delia dicela. Walaupun demikian, saat ini yang Delia pikirkan bukan masalah ia malu atau tidak, tetapi Dirga, mungkin saja dia yang akan malu saat melihat Delia datang dengan segala kekurangan. Kalau mereka yang di sana saja masih mencela padahal secara penampilan Delia sudah setara, atau bahkan mungkin lebih dari mereka. Lalu, bagaimana dengan Dirga?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD