Wangi masakan Bi Asih menguar. Aromanya yang menusuk hidung berhasil menggugah rasa lapar. Namun, sedap ini tak berlaku bagi Ina maupun Meli, sebab keduanya tahu apa yang akan disajikan dihadapan mereka bukanlah sesuatu yang mereka sukai.
Tak berselang lama, Bi Asih sudah melenggak-lenggok layaknya model di atas karpet merah. Bedanya, bukan peragaan busana yang ditampilkan dengan tubuh ramping si Peragawati itu sendiri. Melainkan, dua piring berisi makanan yang dibawa di tangan kanan dan kiri wanita bertubuh gempal tersebut. Ya, dia sudah sampai kembali ke samping meja makan, senyum merekah di bibir dia tampilkan. "Hidangan datang!" serunya.
Rima berdiri menyambut. Tersenyum mengapresiasi hasil kerja Asih. Matanya beralih pada dua terdakwa yang masih mematung di belakang kursi. Dua-duanya terpaksa harus siap dieksekusi. Baik Ina maupun Meli hanya menunduk takut dan saling menyikut satu sama lain ketika suara Rima kembali terdengar, "Mari makan!"
Glekk!
Lagi, Ina dan Meli meneguk pahit ludah mereka. Memejamkan mata sesaat. "Harus, ya, Nya?" Keduanya kompak meringis.
"Kenapa? Gak suka?" Kedua ART itu menggelengkan kepala. "Enak, loh!" Rima kemudian menyuruh mereka duduk.
"Yang lain aja, Nyonya. Jangan hukuman begini. Ina kapok, janji deh gak bakal gosip lagi."
"Meli juga, Nyonya!" seru Meli menimpali.
"Hukumannya enak loh, dikasih makan. Kalian kok malah gak mau. Gimana, sih?" Rima menggelengkan kepala, menahan senyum.
"Enak, sih, Nya. Kebetulan kami lapar. Tapi, makanannya itu loh yang gak enak, Nyonya."
"Pala-mu gak enak!" Bi Asih tersinggung. Dia melempar lap ke sisi Meli. "Masakan Jumiasih selalu paling top markotop, nyaho!"
Rima membenarkan. Wanita yang masih tampak cantik di usianya itu mengangsurkan piring berisi makanan yang masih panas itu ke hadapan dua ART-nya. "Di mulai dari sekarang!" serunya mengintruksi.
Namun, baru saja suapan pertama hampir masuk, suara dari arah belakang Rima menginterupsi.
"Ini ada apa, ya?" tanya Delia yang tiba-tiba sudah berada di dekat meja makan. Delia menatap bingung ke arah Asih, Ina dan Meli. Netranya beralih pada ibu mertua. "Ma ... ?"
"Gak ada apa-apa, Sayang. Mama ... cuma negur mereka," jawab Rima. Ia bangkit dari tempat duduknya. Mengusap pundak sang menantu.
"Teguran? Apa gara-gara di luar tadi?" Rima mengedipkan mata sebagai jawaban atas pertanyaan Delia, lalu ia kembali menepuk pundak gadis itu.
"Jangan gitu, Ma. Delia gak apa-apa, kok. Jangan tegur mereka. Toh, bener juga apa yang dibilang Teh Meli sama Mbak Ina, kalau Delia memang gadis kampung."
"Enggak gitu dong, Sayang. Tetap harus diperingatkan supaya tidak terulang. Sekarang, kan kamu menantu mama, terlepas kamu berasal dari mana, itu tidak penting."
Rima masih mempertahankan dua pembantunya itu tetap berada di sana. Tatapan sang nyonya menghujam mereka seakan mengatakan 'Inilah menantuku yang kalian hina. Dengan ketulusan hatinya dia mengatakan 'tidak apa-apa' padahal sudah kalian hina'. Lewat sorot matanya, Rima ingin menegaskan bahwa Delia bukan sekedar gadis desa biasa.
"Kami minta maaf, Nona. Maafkan atas kelancangan kami." Meli mewakili.
"Iya, Non. Mbak Ina juga minta maaf, ya, Non," timpal Ina.
Delia tersenyum lebar. "Sudah Delia maafkan sebelum Teh Meli sama Mbak Ina meminta maaf sekalipun."
"Terima kasih, ya, Non." Meli tampak menyeka air mata.
"Kita ndak jadi dihukum toh, Nyonya?"
"Hukum?" Delia menoleh pada mama mertuanya. Mempertanyakan.
"Enggak. Sudah balik kerja sana! Kalian selamat karena saya mau ajak menantu saya jalan-jalan. Ayo, Sayang!" ajak Rima. Ia hendak menuntun Delia menjauh dari keberadaan meja makan tempat sidang kecil berlangsung, tetapi Delia justru bergeming.
Sedangkan, Ina dan Meli, keduanya menghela napas lega. Mereka selamat dari sang nyonya. Ya, meskipun disebut hukuman, sebetulnya itu hanya keisengan Rima saja. Rima selalu senang mengerjai dua asistennya itu dengan memberi mereka makanan yang tidak disukai sebagai hukuman. Itung-itung hiburan gratis, katanya.
"Delia laper," ucap gadis itu polos.
"Bukannya tadi baru aja sarapan, ya?" Rima melongo ketika Delia dengan cepat sudah menyambar piring. Menyendok nasi beserta lauk pauk yang dimasak sepenuh hati oleh Jumiasih.
"Ini Bibi yang masak?" tanya Delia. Mulutnya mengunyah suapan pertama. "Tumis pare-nya enak, gak pahit." Gadis itu mengacungkan ibu jarinya. "Apalagi sambel pete-nya. Mantap, Bi. Persis masakan almarhumah ibu." Celoteh Delia.
Rima bengong menatap pemandangan yang ia saksikan. Delia lahap menyantap makanan itu di atas meja makan tanpa rasa canggung. Wanita dengan potongan rambut bob layer sebahu itu menggeleng tak percaya.
"Eeh, Non Delia suka makan itu ternyata." Ina kembali menoleh, begitupun dengan Meli. Dua-duanya meringis.
***
"Sudah dong makannya, Sayang. Bisa kita pergi sekarang?" tanya Rima.
Delia sudah menghabiskan makanan di piringnya. Meneguk air putih yang ia minta dari bi Asih. "Ke mana, Ma?"
"Lho, kan tadi mama ajak kamu jalan-jalan. Papa tadi minta, supaya mama sedikit mengubah penampilan kamu. Mau, ya?"
"Penampilan Delia? Tapi kenapa? Delia malu-maluin, ya, Ma?"
Gadis itu berdiri canggung. "Maaf, Ma. Delia juga khilaf main makan aja. Habisnya masakan Bi Asih enak. Bi, simpenin ini buat Delia nanti, ya?" Cengiran di bibir Delia makin melebar.
Rima meringis mendengar kalimat itu, matanya melotot ke arah Jumiasih memerintah supaya tidak menuruti permintaan Delia. "Buang aja," katanya tanpa mengeluarkan suara.
"Gimana, Ma?"
"Eh, enggak. Eum ... Delia gak malu-maluin kok, Sayang. Kamu cantik. Ya ... dipermak dikit pasti oke," ucap Rima. Tangannya membetulkan rambut yang sebetulnya sudah rapi. Tangannya mengibas memberi tanda pada Jumiasih. Sementara Delia bergantian menyaksikan sikap aneh ibu mertua serta bibi pembantunya.
"Permak? Kayak celana levis, ya, Ma?"
Jumiasih tak tahan lagi untuk tidak terbahak begitu mendengar Delia berucap. Wajah polos gadis itu benar-benar membuatnya terpingkal-pingkal. Kalau saja Rima tidak menyuruhnya diam ia pasti sudah mengompol karena tak dapat berhenti tertawa.
"Kamu tuh, memangnya levis aja apa yang bisa dipermak."
"Manusia juga bisa?" tanya Delia lagi, menimpali.
"Sudah, ah. Kapan berangkatnya kalau kamu banyak tanya. Siap-siap sana!" titah Rima.
"I-iya, Ma. Maaf."
Delia berlalu meninggalkan tempatnya berdiri sejak tadi dengan sederet pertanyaan menggelitik yang dilontarkannya. Rima menggeleng-geleng, menghayati perannya sebagai ibu mertua dari gadis desa yang sepertinya memang tidak banyak tahu apa-apa. "Delia sayang, jangan lupa itu kamu gosok gigi dulu!" Rima tak kuasa lagi menahan tawa.
"Lucu, ya, Nyah!" seru Jumiasih yang masih belum juga beranjak.
"Eh, kamu masih di sini, Bi. Sana bawa makanannya ke dapur! Makan kalau enggak, buang aja. Jangan bawa itu ke meja makan lagi. Apalagi kalau Delia minta. Bi Asih tau, kan, Dirga gak suka itu."
"Muhun, Nyonya. Dimengerti!" jawab Jumiasih manut.
***
Tidak butuh waktu lama bagi Delia bersiap-siap. Ia hanya mengenakan baju sederhana. Kaus dan rok sebatas lutut. Wajah tanpa polesan. Bahkan Delia tidak membawa apa pun. Tas ataupun ponsel. Ia sudah berada dalam satu mobil bersama Rima.
"Kita mau ke mana, Ma?"
Untuk pertama kalinya Delia di ajak ke luar rumah. Ia tidak tahu Jakarta seperti apa. Sebab Delia hanya tahu dari cerita beberapa temannya saja yang pergi merantau. Setiap temannya itu pulang kampung pasti akan menceritakan banyak hal padanya. Karena itu pula membuat Delia cukup antusias ketika Rima memintanya segera berdandan untuk pergi jalan-jalan.
"Kita mau ke Mall," jawab Rima diplomatis.
"Mol?" Ulang Delia dengan bibir maju beberapa mili.
Risma tertawa kecil. "Iya, kita mau beli segala kebutuhanmu, Sayang. Baju, tas, sepatu, make-up. Semuanya."
Delia tersenyum canggung. Bukan mimpi di siang bolong yang sedang ia alami. Benar-benar nyata. Namun, ia masih saja tidak percaya. "Bu-buat apa, Ma. Delia enggak mau repotin Mama. Gini aja Delia enggak apa-apa."
"Kamu mungkin gak apa-apa. Tapi mama yang apa-apa, loh. Masa mantunya dibiarkan begini. Eum ... maksud mama ... ." Risma tergagap begitu melihat air muka Delia berubah. Rima merasa sudah salah bicara.
"Oiya, Delia kan malu-maluin, ya, Ma. Mau dipermak biar gak bikin mama malu. Gitu, ya, Ma?"
Rima terkekeh pelan, "Iya, iya begitulah."
Sepanjang perjalanan menuju Mall mereka isi dengan obrolan kecil. Rima juga menanyakan pendapat Delia tentang Dirga—putranya.
"Mas Dirga itu baik, lucu ... ganteng." Delia tersenyum malu.
"Iya, dong. Anak mama pasti ganteng," aku Rima, membanggakan.
"Pacarnya banyak pasti, ya, Ma?"
"Ya, enggak dong. Dulu mungkin iya. Sekarang kan dia sudah menikah sama kamu."
Hening sejenak. Lalu-lalang jalan Kota Jakarta menjadi pemandangan baru bagi Delia. Ia menoleh kanan-kiri menyaksikan keajaiban yang ada. Gedung tinggi menjulang, jalanan ramai sampai bangunan yang ia lihat memenuhi sudut kota tanpa celah. Delia merapatkan wajahnya ke kaca mobil saat melewati semua itu.
"Ada jalan di atas!" serunya antusias.
"Itu namanya jalan layang, Non." Sopir memberitahu.
"Oooh! Jalan layang." Delia mengangguk-anggukkan kepala.
"Wah, kita ada di atas!" seru Delia lagi semakin antusias. "Itu di bawah banyak rumah, ya?"
"Itu perkampungan padat penduduk, Non." Sopir kembali menanggapi.
"Kampung? Di Jakarta juga ada kampung, ya?"
"Banyak, Non. Disetiap sudut Jakarta. Ada perkampungan ada perumahan."
"Perumahan?"
"Iya, Del. Yang tempat kita tinggal, itu namanya perumahan." Rima ikut menyahuti.
"Bedanya apa, perumahan sama perkampungan."
"Duh, jelasin, Mang!" titah Rima pada sopirnya. Wanita itu mengurut kening.
"Bedanya apa, ya? Non Delia perhatikan sendiri lah. Nih, kita mau lewati perumahan."
Delia memperhatikan, tadi dia melewati perkampungan padat penduduk yang kumuh. Ia membandingkan dengan yang dilalui selanjutnya. Rumah-rumah berjejer rapi. Sopir sengaja membawa mereka memutar ke dalam sebuah perumahan sebelum tembus jalan menuju pusat perbelanjaan, yaitu Mall Central Park. Mall yang dibangun pada tahun 2009 itu merupakan Mall terbesar di Jakarta Barat.
"Oh, iya, Delia paham."
"Sudah tahu bedanya sekarang?"
"Sudah, Pak!"
Delia kembali melongok ke depan ibu mertuanya. Sisi sebelah kanan itu ada gedung menjulang. Tindakannya tentu saja membuat Rima terpaksa memundurkan posisi tubuhnya yang semula tegak menjadi bersandar pada jok tempat duduknya. Kembali mengurut pelipisnya meski tak berdenyut sekalipun.
Anak ajaib ini benar-benar tidak tahu apa-apa. Batin Rima. Senyumnya merekah takjub.
"Itu gedung apa namanya?"
Pertanyaan kembali terlontar dengan polosnya. "Itu namanya Apartemen, Sayang. Dirga juga punya beberapa unit. Nanti mama minta ajak kamu main ke sana, ya," jawab Rima.
"Wah, beneran, Ma? Delia diajak naik ke atas sana? Naiknya gimana, Ma. Pake tangga? Capek banget kalau gedungnya setinggi itu, kan?" Celotehan Delia kembali mengundang tawa. Rima menutupi mulutnya. Sementara dari balik cermin dashboard sang sopir yang bernama Kasim juga tampak menahan tawa.