2. Terjebak di dalam lift

1102 Words
Banyak yang menyebut Gia memiliki dua kepribadian atau wanita itu memiliki kepribadian ganda. Sebutan itu memang tidak salah, Gia menyadari dua kehidupan yang dijalaninya saat ini. "Perawat Gia," Panggil anak kecil berusia lima tahun saat melihatnya datang untuk memeriksa. "Hai Natasya. Apa kabar? Gimana hari ini, perutnya sudah tidak sakit lagi?" Tanya Gia dengan ramah pada gadis kecil itu. "Sudah. Aku sudah sembuh!" Serunya dengan suara lantang dan nyaring, bahkan senyumnya terus menghiasi wajah Natasya . "Syukurlah. Perawat Gi, periksa dulu ya, nanti kalau Dokter Steven bilang Oke, Natasya boleh pulang sore ini." "Hore!" Ia mengangkat kedua tangannya seraya tepuk tangan. Tapi raut kebahagiaannya tidak berlangsung lama, wajah Natasya kembali muram. Gia yang menyadari perubahan itu langsung mendekat dan mengusap pipinya yang begitu lembut. "Kenapa murung?" Tanya Gia. "Kalau aku pulang, nggak bisa ketemu Perawat Gi lagi." Natasya menundukan kepalanya. "Nanti kita ketemu lagi, di lain tempat. Gimana?" Bujuk Gia. "Dimana?" "Dimana saja Natasya mau." "Janji?" "Janji." Gia mengulurkan jari kelingkingnya, begitu juga dengan Natasya. Tidak berselang lama Steven sebagai Dokter spesialis anak datang. Raut wajahnya yang masam berubah saat Natasya melihat ke arahnya. Steven dan Gia tidak jauh berbeda, mereka sama-sama memiliki dua kepribadian. Saat menghadapi pasien mereka akan berperilaku baik dan ramah tapi saat sedang di tempat lain, khususnya di dunia mereka sendiri, mereka akan berubah menjadi orang asing. "Kondisi Natasya sudah sangat stabil, kamu tinggal cek berkala saja. kalau semua hasilnya oke, dia boleh pulang sore nanti." Jelas Steven saat keduanya keluar dari kamar rawat Natasya. "Baik, Dok." Steven jarang bicara, sekalinya bicara lelaki itu akan mengeluarkan kalimat-kalimat pedas yang bisa membuat Gia naik darah. Oleh karena itu ia memilih untuk diam dan menuruti apapun perintah Steven saat masih jam kerja. Tapi setelah di luar jam kerja jangan harap Gia akan mendengarkan ucapannya. Gia dan perawat lainnya berjalan menyusuri koridor saat jam makan siang. Rencananya mereka akan makan siang bersama di kantin karena jadwal kerja hari ini cukup padat. Langkah Gia terhenti saat salah satu temannya menghentikan langkah secara mendadak. "Itu Olivia?" Tunjuknya ke arah lain. Gia pun menoleh ke arah yang ditunjuk temannya dimana ia melihat Olivia tengah berjalan terburu-buru mengejar Bastian. "Olivia istrinya Pak Bastian?" Tanya temannya yang lain. "Iya. Yang model papan atas itu. Kayaknya rumah tangga mereka nggak harmonis ya, beberapa kali aku lihat Olivia mengejar Pak Bastian, kayak mau jelasin sesuatu gitu tapi Pak Bastian nggak mau dengar." Gia masih memilih diam, mendengarkan celotehan teman-temannya. Memang tidak banyak yang tau kalau Gia dan Olivia berteman baik. Saat di rumah sakit dan saat Gia mengenakan pakaian kerjanya, ia benar-benar menjadi seseorang yang berbeda. "Aku dengar hubungan mereka semakin tidak harmonis setelah Olivia melahirkan. Mungkin Olivia nggak menarik lagi setelah punya anak, padahal badannya masih sexy dan cantik Nggak ada perubahan apapun." "Mungkin ada hal lain, misalnya bosen sama yang cantik. Mau ganti sensasi nyari yang jelek." Beberapa perawat tertawa bersama, tapi tidak dengan Gia. Ia justru memperhatikan Olivia dan Bastian dari kejauhan, sayangnya pasangan suami istri itu hilang saat pintu lift tertutup membawa mereka entah kemana. Olivia tidak pernah menceritakan bagaimana kehidupan rumah tangganya, begitu juga dengan Gia. Ia tidak pernah ikut campur urusan orang lain, kecuali saat Olivia bercerita tanpa harus dipaksa. Hubungan mereka memang dekat, tapi untuk urusan pribadi mereka punya cara masing-masing untuk menyelesaikannya. "Lo di rumah sakit?" Tanya Gia, saat ia menghubungi Olivia. "Iya. Lo dimana?" Balas Olivia di seberang sana. "Di kantin. Ngapain lo di rumah sakit ngejar-ngejar laki lo? Nggak cukup ketemu di rumah?" Sindir Gia sambil tersenyum. "Kurang jatah semalam, sampai minta jatah tambahan di rumah sakit. Atau kalian mau cari sensasi lain main di ruang kerja Bastian?" Gia terkekeh. "Sialan!" Umpat Olivia. "Gua mau balik sekarang. Lo masih kerja?" "Iya." "Gue balik duluan, sampai ketemu di tempat biasa." "Oke." Panggilan terputus dan waktu masih menunjukan pukul satu siang. Gia masih memiliki beberapa jam lagi, sampai jam kerjanya usai. Ia dan teman lainnya kembali ke ruang kerja masing-masing untuk mengurus beberapa keperluan pasien dan memeriksa pasien baru lainnya. Bekerja sebagai seorang perawat memang sedikit melelahkan. Tapi bukankah tidak ada pekerjaan yang menyenangkan? Apapun yang namanya kerja, pasti ada dua sisi. Menyenangkan dan tidak. Tapi sampai saat ini Gia masih menikmati perannya sebagai seorang perawat. "Selamat sore Pak," Gia menyapa Bastian yang juga berada dalam satu lift yang sama dengannya. "Sore." Jawab Bastian singkat. Entah Bastian atau Steven, keduanya sama-sama irit bicara. Sola sikap kedua lelaki itu memang agak sedikit menyebalkan, tapi soal tampang jangan tanya lagi. Mereka memiliki wajah keturunan dewa Yunani, selain tampan dan memiliki dompet tebal, jangan lupa mereka pun sama-sama memiliki masa depan cerah. Bastian si hot daddy, sementara Steven si bujang matang yang mempesona. Bastian menggulung lengan kemeja biru muda yang dikenakannya secara asal hingga memperlihatkan tato di lengan kirinya. Ya ampun, itu sangat sexy. Bastian juga melonggarkan dasi yang melingkar sempurna di lehernya seolah benda tersebut mencekik erat lehernya. Semua gerak-gerik lelaki itu tidak luput dari perhatian Gia. Meski sesekali ia menoleh ke arah lain agar Bastian tidak menyadari sedang diperhatikan. Tiba-tiba saja lampu lift mati dan lift berhenti mendadak. Suasana menjadi sangat gelap apalagi di dalam lift hanya ada mereka berdua. "Ya ampun!" Gia mengaduh, saat ia tidak sengaja menabrak dinding karena tidak bisa melihat apapun. "Gelap banget, Pak." "Ponsel kamu mana? Nyalain ponsel." Ucap Bastian. "Saya nggak bawa Hp." Saat jam kerja, Gia lebih sering meninggalkan ponselnya di loker. "Ponsel Pak Bastian aja." "Saya juga nggak bawa." Dobel sial. Mereka sama-sama tidak membawa ponsel. "Kayaknya ada korsleting di bagian lift. Gimana ini?!" Gia mencoba memukul pintu lift berharap ada yang mendengar dan menolong mereka. Tapi mungkin saat ini mereka terjebak di tengah-tengah antara lantai satu dan lainnya, suara mereka pasti tidak akan terdengar. "Percuma kamu pukul lift sampai tangan terluka, nggak akan ada yang mendengar." Bastian justru terdengar jauh lebih santai, padahal bisa saja mereka terjebak dan kehabisan nafas dalam kotak besi itu. "Pak Bastian ko kedengeran nggak takut, padahal kita bisa saja mati di dalam lift ini. Ingat kasus lift di Bali beberapa waktu lalu? Lift jatuh, terjun bebas." "Kalau memang harus mati kenapa takut?" "Saya takut lah! Saya masih gadis, belum menikah pulak. pak Bastian udah nikah dan punya anak, jadi nggak bakal mati penasaran." "Kenapa kamu begitu ingin menikah?" "Bukan mau menikah, Pak. Tapi.". Tiba-tiba saja Gia merasakan Lift mulai meluncur dengan cepat, tidak terkendali. "Pak Bastian!" Gia melempar sesuatu dari tangannya dan berusaha mencari Bastian. "Liftnya mau jatoh!" Akhirnya Gia berhasil menyentuh Bastian, dan dengan tidak ragu ia memeluk Bastian. "Meskipun hidup saya nggak bahagia, saya nggak mau mati dulu!" Gia benar-benar memeluk Bastian, tanpa memperdulikan bahwa lelaki itu suami sahabatnya dan Bos besar di tempatnya bekerja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD