Hari-hari kembali berjalan seperti biasanya. Sisi terang dan gelap berjalan bersisian, bergantian. Sam berdiri di depan jendela kaca ruang kerjanya, memandang keluar gedung megah Heal Hospital setelah selesai dengan tugas mulianya sebagai dokter kandungan. Dari luar, semua tampak sempurna: pasien datang dengan harapan, pulang dengan senyuman. Namun, di balik dinding steril ini, rahasia besar disembunyikan.
Ponsel di mejanya bergetar. Ia mengangkat, suaranya datar.
“Bagaimana pengiriman paru-paru ke Riyadh?”
“Aman, Bos.”
“Lalu pengiriman ke Singapura?”
“Sama, aman juga. Dua ginjal dari korban kecelakaan tol semalam sudah tiba di pesawat kargo. Nama mereka kita catat sebagai ‘kadaver anonim’ di sistem rumah sakit. Tidak ada yang curiga.”
Sam mengangguk tipis. Jemarinya mengetuk meja, suaranya rendah tetapi menekan.
“Bagus. Sistem rumah sakit ini punya saya. Rekam medis bisa dihapus, data bisa dipalsukan. Satu korban tabrakan bisa tercatat sebagai doa terakhir di ICU padahal organ tubuhnya sudah dijual sebelum dingin benar.”
Panggilan suara dimatikan. Sam menyeringai.
Sam bukan hanya seorang dokter yang menyelamatkan nyawa perempuan dan bayi di meja operasi. Ia pedagang kehidupan. Selama ada uang, selalu ada nyawa yang bisa dipindahkan.
Sam tertawa rendah, getir namun penuh kuasa.
“Di dunia ini, kadang uang lebih berharga daripada doa.”
Ponsel Sam kembali berdering. Salah satu anak buahnya yang lain menelepon. Ia langsung mengangkatnya.
“Ya.”
“Bos, Hanif berhasil kami ringkus.”
“Bagus. Bawa ke tempat biasa. Saya akan ke sana setelah urusan selesai. Sebelum saya datang, kalian bebas membuatnya mainan. Asal jangan sampai mati.”
Setelah tugasnya sebagai dokter yang bersih selesai, Sam menuju tempat biasa, kebun sayuran. Meskipun terlihat selalu sendiri, sebenarnya beberapa anak buahnya setia menjaga dari kejauhan. Bayaran penjaga dan anak buahnya tidak sedikit. Namun, semuanya kecil bagi Sam. Harta warisan orang tuanya, ditambah bayarannya sebagai dokter, belum lagi hasil penjualan organ ilegal, membuat hartanya tidak habis dinikmati meskipun anak cucunya pengangguran.
Di ruang bawah tanah, ruangannya sangat luas dan lengkap. Ada tempat operasi, tempat penyimpanan organ, juga alat kremasi untuk membakar mayat-mayat yang sudah tidak berguna. Selain itu, ada juga tempat keramat. Yakni tempat menyiksa musuh atau para pengkhianat. Sementara di atas, ada rumah yang biasanya ditempati anak buahnya yang di mata masyarakat hanya pekerja kebun milik Sam.
Malam itu, beberapa anak buah Sam menyeret seorang pria dengan wajah penuh lebam. Hanif. Tubuhnya remuk, darah menetes dari bibir dan alisnya. Tangannya diikat kasar dengan rantai besi.
Mereka melemparkannya ke tengah ruangan, tepat di depan kursi kulit hitam tempat Sam duduk tenang. Jas hitam Sam terlihat kontras dengan cahaya lampu gantung redup yang bergoyang pelan, seperti ayunan maut.
“Bos, kita dapatkan dia di gudang pelabuhan. Mau kabur naik kapal.”
“Sialan ini, sudah berani melawan, makanya kami kasih sedikit hadiah dulu,” sahut anak buah yang lain.
Sam tidak langsung bicara. Ia hanya berdiri, melangkah pelan mendekati Hanif, sepatu kulitnya berdecit di lantai semen yang dingin. Matanya tajam, dingin, menusuk Hanif yang kini menunduk gemetar.
Suara Sam rendah dan pelan. “Hanif, Hanif. Kamu pikir bisa lari dari saya? Sejak malam itu, saya sudah berjanji. Saya sendiri yang akan menyayat pengkhianat.”
Hanif menggeleng, suaranya bergetar. “S-Sam. A … aku cuma ikut perintah. Aku dipaksa. Aku takut mereka—”
Sam langsung menendang wajah Hanif dengan keras. Dentuman tulang bertemu besi terdengar jelas. Darah muncrat dari mulut Hanif, giginya patah.
Sam mendekap wajah Hanif dengan tangan berdarah. “Jangan berani bawa-bawa alasan. Kamu menjebak saya. Kamu menyiksa saya sampai hampir mati di hutan, di tanganmu. Saya masih ingat aroma tanah basah malam itu. Kamu tahu rasanya sekarat, Hanif! Seperti inilah rasanya.”
Sam mengambil linggis karat yang tergeletak di dekat tumpukan kayu. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu menghantamkan ke lutut Hanif.
“Aaaarrghh!”
Jeritan itu bergema di ruangan bawah tanah tersebut. Tentu saja tidak terdengar dari luar karena ruangan berperedam suara.
Anak buah Sam hanya berdiri, sebagian tersenyum puas, sebagian menoleh karena tidak sanggup menatap.
Sam berbisik ke telinga Hanif. Nadanya dingin. “Mati cepat itu hadiah. Saya tidak akan memberikannya padamu.”
Ia menancapkan ujung linggis ke bahu Hanif, memutarnya perlahan seperti sedang menyayat daging hewan. Darah segar mungucur, membasahi lantai. Hanif meraung bagai binatang yang sekarat.
“Sam! Ampun! Aku ... aku salah! Aku—”
Sam menampar keras, lalu menekan wajah Hanif ke lantai semen berlumur darah.
“Pengkhianat hanya punya dua nasib. Mati atau hidup tanpa kehormatan. Dan kau, Hanif, akan merasakan keduanya. Katakan! Apa kamu sempat buka mulut mengenai bisnis ini?!”
Sam kembali memukulkan linggis ke punggung Hanif, membuat pria itu menjerit.
“Enggak! Se-sejak tahu kamu berhasil selamat, aku hanya punya pikiran lari. Buka mulut pun, nggak ada gunanya. Polisi jelas melindungimu.”
“Lalu apa yang sudah kamu bocorkan pada pihak musuh, hah!” Sam menekan ujung linggis ke telinga Hanif. Sedikit saja jawaban Hanif membuatnya marah, linggis akan menusuk dan nantinya akan merobek kepalanya.
“Pa-pasar bisnis kita. Tapi tidak semuanya. Ampun, Sam. Ampun.”
Sam menoleh ke anak buahnya. “Potong jarinya satu-satu. Biar dia tahu arti pengkhianatan. Setelah itu bakar jarinya dan suruh dia makan.”
Anak buah Sam mengangguk. Sementara Hanif menjerit, tubuhnya meronta, tangis dan darah bercampur jadi satu.
Sam berjalan pergi perlahan, tanpa menoleh. Senyumnya tipis, dingin, puas. Malam itu, darah pengkhianat menjadi bukti: Sam bukan sekadar dokter, bukan hanya CEO rumah sakit. Ia adalah algojo yang memperlakukan manusia layaknya hewan buruan.
Kekejaman Sam juga tidak terbentuk secara spontan. Melainkan terbentuk perlahan melalui dendam dan trauma akibat pembantaian keluarga yang disaksikan dengan mata kepala sendiri.
Sam berhati lebih keras dari baja. Entah apakah suatu hari nanti ada yang bisa melunakkan atau tidak. Yang jelas, selama 40 tahun hidupnya hanya didedikasikan untuk kepuasan duniawi saja. Tidak peduli dosa, tidak peduli penjara.