“Kur4ng ajar kamu, Indra!” Ivone memukul kepala Indra dengan keras.
“Aw!” pekik Indra. “Br3ngsek!”
Ivone juga memukul tangan pria itu sampai akhirnya laju sedikit oleng dan sepeda motor sedikit melambat.
Tanpa berpikir lebih panjang, Ivone loncat turun. Ia lantas berlari terseok-seok entah ke arah mana meskipun kakinya terasa sakit. Yang jelas, ia terus berlari di jalanan dengan harapan jika sewaktu-waktu ada kendaraan melintas bisa meminta tolong.
Ivone tidak berteriak meminta tolong sebab yakin itu percuma. Tidak ada yang menolongnya di hutan segelap ini. Justru akan membuat tenaganya habis.
“Ivone! Kamu nggak akan pernah bisa lari!” pekik Indra yang masih bisa didengar Ivone. Sorot lampu sepeda motor masih menyorotnya.
Ivone terus berlari sambil menangis. Langkahnya kacau, terhuyung. Ketika sedikit lagi sepeda motor menjangkaunya, ia memutuskan untuk masuk, menembus hutan gelap. Tidak ada cara lain selain ini.
Tawa Indra masih terdengar mengejar.
“Allah. Hamba percaya padamu. Tolong lindungi hamba dari Indra,” gumam Ivone. Ia terus membaca selawat di dalam hati.
Napasnya terengah-engah sampai hampir putus. Namun, ia terus menguatkan diri agar terus berlari sekencang mungkin.
“Kamu nggak akan bisa lari dariku!” Indra terus mengejar dengan sepeda motor.
Begitu jarak sudah dekat, Indra menghentikan laju dan mematikan kendaraan roda dua tersebut. Ia lalu turun, mengejar Ivone dengan berlari. Senter di ponsel dinyalakan untuk penerangan.
“Ivone! Jangan kabur kau!”
Ivone kian ketakutan. Sesekali ia melihat ke belakang, di mana Indra terus mengejar.
“Aw!” Kaki Ivone tersangkut ranting. Ia pun terjatuh.
Indra terbahak-bahak, mendekat dan mencekal lengan Ivone. “Kamu nggak akan bisa lari, Ivone!”
“Lepas! Jangan kur4ng ajar kamu! Niatnya bareng, tapi ini yang kamu lakukan!”
“Ya! Karena aku sudah menahannya terlalu lama.”
“Aku akan laporin kamu ke polisi!” Ivone terus berusaha melepaskan cekalan.
“Kalau sampai kamu lapor, ibumu yang sakit-sakitan itu akan aku habisi.”
“Indra kepar4t kamu!”
“Ya! Memang! Beberapa hari ini aku selalu mengawasimu. Sekarang saatnya aku bertindak.”
Ivone diam. Jadi, firasat buruknya selama ini setengah benar, separuh salah. Benar karena memang ada yang mengintai dan salah karena mengira pelakunya Sam. Rupanya Indra.
Dengan kekuatan penuh, Ivone mengeluarkan jurus terakhir. Yaitu menendang sel4ngkangkan Indra.
“B4ngsat!” Cekalan Indra mengendur. Ivone lalu menggigit lengan pria itu sangat keras.
Indra terus mengumpat.
Saat itulah, Ivone berhasil lepas dari Indra setelah tendangan kedua kembali dilayangkan pada inti tubuh Indra. Ia kembali berlari dengan sisa tenaga. Rasa sakit di kaki berusaha tidak dirasakan. Ia hanya ingin berlari, lepas dari ibli1s ini.
“Ivone! Aku akan menangkapmu!”
Ivone tidak menggubris. Ia terus berlari, tidak makin masuk ke hutan, tetapi berusaha keluar dari sana, yang artinya kembali ke arah ia masuk tadi. Kakinya yang sakit dan perih tidak diindahkan. Rasa takut menyamarkan rasa yang lain.
Sampai suara Indra dan sorot senter ponsel tidak lagi terdengar dan terlihat.
“Semoga aku selamat.” Kini, Ivone berjalan terseok-seok. Napasnya terengah-engah. Bajunya basah dengan peluh.
Ia lalu bisa tersenyum ketika berhasil menjangkau jalan raya. Wanita itu menangis, sangat bersyukur.
“Bu, aku takut.” Ivone memeluk tubuhnya sendiri, mencari kekuatan dari dalam dirinya.
Ivone terus berjalan cepat dengan sesekali memasang kewaspadaan, takut Indra kembali muncul. Sejauh ini semua aman. Namun nahas, sampai jauh ia berjalan tidak ada satu kendaraan pun melintas.
Rasa lelah dan lemas menguasai. Sampai akhirnya Ivone melihat adanya cahaya lampu. Itu artinya ia sudah sampai perkampungan. Mungkin.
“Alhamdulillah,” gumamnya sambil terus menangis.
Ivone belum puas jika belum bertemu orang untuk meminta bantuan. Lalu ia melihat ada sebuah bangunan ada gerbangnya di kelilingi persawahan. Tanpa berpikir panjang, ia mendekat dan mengetuk.
“Permisi! Bisa bantu saya!” pekik Ivone.
Tidak ada sahutan.
Ivone terus melihat ke arah jalan. Lalu ia melihat sebuah lampu yang menyorot. Itu bisa jadi sepeda motor.
“Jangan-jangan itu Indra.” Tangan Ivone yang gemetar, berusaha mendorong gerbang dan untungnya berhasil terbuka. Ia pun segera masuk. Sekadar untuk bersembunyi.
Seluruh tubuh Ivone gemetar. Ia berdiri, menyandarkan tubuh ke dinding. Mulutnya dibekap ketika ada suara sepeda motor yang melintas. Kakinya kotor, hijabnya acak-acakan, bajunya basah, juga ada beberapa luka yang baru terasa perih di kaki. Tadi, ia belum merasakan apa-apa. Hanya rasa takut. Sekarang, semua terasa.
Pandangan Ivone mengedar.
Di dalam gerbang itu rupanya ada kebun sayuran yang sangat luas dan ada sebuah bangunan. Ivone lalu melihat ada seseorang masuk ke sebuah lubang, lalu menghilang setelah lubang itu tertutup.
Dengan langkah pelan, Ivone mendekat karena penasaran sekaligus ingin bicara pada orang tadi. Setelah didekati, lubang itu rupanya tidak ada. Hanya ada rumput. Ia mencari pintu atau sekadar alat untuk menarik. Ada besi yang dilapisi rumput. Begitu ditarik, sangat berat karena terbuat dari besi.
“Apa aku tunggu di sini aja?” Ivone duduk di sana.
Ia menunggu untuk waktu yang lama. Perlahan-lahan, rasa takutnya berangsur hilang. Berganti rasa penasaran.
Ivone lalu menuju bangunan. Sebuah rumah berukuran besar.
“Permisi! Pak, Bu! Ada orang? Sa-saya izin masuk karena ada yang berniat jahat pada saya!”
Tidak ada sahutan ataupun tanda kehidupan.
Ivone pun dilema. Jika masuk, kesannya tidak sopan. Namun, jika keluar, ia takut ada Indra dan kembali menangkapnya.
Rasa penasaran pada orang yang masuk lubang tadi menyedot atensi Ivone. Ia kembali mendekat dan berusaha membuka sampai akhirnya terbuka. Ada anak tangga ke bawah di lubang itu. Ia pun turun tanpa menutup pintu. Pencahayaan ruang remang-remang.
“Sopan nggak sih aku masuk tanpa izin kayak gini?” gumam Ivone lagi. “Kesannya lancang emang. Tapi aku kan cuma nyari bantuan.”
Ivone terus turun sampai akhirnya tiba di ruangan lebih luas. Ia berjalan lebih jauh. Suara besi, bau darah, dan lampu terang menyambutnya. Ivone menutup hidung. Lantas ketika sampai pada satu ruangan, ia menutup mulut, terperanjat melihat apa yang terjadi di depannya.
“Astagfirullah. Sepertinya aku salah masuk.”
Kaki Ivone rasanya terpaku. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Keluar dari mulut singa bernama Indra, sepertinya kini ia masuk sarang buaya yang siap menerkam dan mengoyak lebih brutal.
Ivone menutup mulut rapat-rapat. Ia mundur pelan, bersembunyi di balik tiang.
Di depan sana, ada seorang pria memakai masker medis sedang mengenakan sarung tangan steril. Di atas meja operasi darurat, seorang pria terbaring tidak sadarkan diri, tubuhnya penuh ikatan. Ada beberapa alat medis juga di ruangan tersebut.
Pria itu Sam. Suaranya dingin. Hanya saja, Ivone belum melihat sebab wajahnya tertutup masker. “Retraktor. Buka lebih lebar. Saya butuh akses ke ginjal kiri.”
“Siap, Bos. Tekanan darah stabil.”
Pisau bedah berkilat di tangan Sam. Sayatan dilakukan dengan cekatan. Darah segar langsung mengalir.
Ivone mengingat-ingat. Seperti tidak asing, pernah mendengar suara itu. Namun siapa? Di mana?
“Clamp vena renalis. Cepat!” perintah Sam lagi.
“Sudah, Bos. Ginjal terlihat jelas.”
Sam mulai terlihat tenang. “Lepaskan dengan hati-hati. Jangan sampai kapsul robek.”
Ivone membeku, matanya membelalak.
Ivone bergumam, hampir berbisik dengan tubuh bergetar hebat. “Astaghfirullah. I-ini apa yang aku lihat?”
Sam mengangkat organ itu dengan tenang, seolah hanya prosedur biasa.
“Masukkan ke kotak pendingin. Pastikan suhu tetap 3 derajat. Pembeli sudah menunggu di Singapura.”
“Baik, Bos.”
Sam melepas sarung tangan sambil mencuci tangan. Lalu ia membuka masker.
Saat itulah, jantung Ivone hampir melompat keluar saking kagetnya. “D-dokter Sam?”
Ivone tanpa sengaja menginjak kaleng kosong di lantai.
Teng!
Semua kepala serempak menoleh. Sam mendongak, tatapannya tajam seperti pisau.
Sam bersuara pelan, tetapi mencekam. “Siapa di sana?”
Salah seorang anak buah langsung berlari melihat Ivone yang berusaha kabur dengan menaiki anak tangga.
“Bos, ada penyusup!”
Ivone panik, berusaha kabur.
“Bed3bah! Bagaimana keamanan malam ini, hah! Kenapa sampai ada penyusup!” Sam membanting wadah peralatan medis sampai menimbulkan bunyi nyaring.
“Tangkap an*ing itu dan bawa ke hadapan saya!”
Semua anak buah Sam yang ada di sana bergerak. Pintu ruang bawah tanah ditutup otomatis, membuat Ivone tidak bisa keluar.
Plak!
Tamparan salah satu anak buah Sam mendarat di pipi Ivone. Tanpa kesulitan sedikit pun, Ivone berhasil ditekuk.
“Saya ... saya tidak lihat apa-apa. Saya cuma tersesat. Tolong jangan apa-apakan saya.” Ivone bicara sambil tergagap.
Tubuh lemas Ivone pun dibawa ke hadapan Sam dengan sedikit didorong sampai terduduk.
Ivone menunduk ketakutan.
Sam menampar satu per satu anak buahnya. “Lukai tubuh kalian entah dengan apa! Saat ini juga! Ini hukuman karena kalian teledor!”
Sam lalu mendekati Ivone. Ia duduk untuk menyejajarkan tubuh pada Ivone yang terduduk. Tatapan matanya begitu dingin. Pria itu mengangkat dagu Ivone dengan ditekan keras. Raut terkejut tergambar di wajah Sam. Ia tidak menyangka penyusup itu adalah Ivone.
“Kamu!”
“D-dokter. Ampuni saya. Saya tadi dikejar orang jahat.”
“Bohong! Siapa yang menyuruhmu!”
Ivone menggeleng sambil menyentuh telapak tangan Sam yang ada di dagunya. “Sakit.”
Perlahan, tekanan di dagu Ivone mengendur.
“Ti-tidak ada yang menyuruh saya. Sa-saya beneran tersesat.”
Sam mendekatkan wajah. “Kamu sudah lihat terlalu banyak. Jadi, kamu harus mati.”
Ivone hanya bisa menangis, sudah pasrah. Kalaupun harus habis di tangan Sam, ia bisa apa? Sebab kabur pun rasanya percuma.