Kai tiba di rumahnya, dan sekali lagi yang dia dapatkan hanyalah kesunyian. Ingin rasanya dia kembali ke rumah Ayu, dan menghabiskan waktu di sana. Tapi niatnya dia urungkan, Kai takut kecewa lagi. Di kala dia sudah berharap jika kali ini dia tidak sendirian lagi, tapi bisa saja kenyataannya tidak seperti itu. Bisa saja kali ini dia dipermainkan oleh takdir.
Dan Kai tidak ingin kembali merasakan kesendirian lagi. Rasanya benar-benar sepi, sunyi, hampa. Tanpa rasa dan warna, datar dan tidak menyenangkan.
Kai memilih untuk masuk ke dalam kamarnya, dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Tak lupa dia juga menyalakan lagu yang cukup keras, untuk menepis rasa sepinya.
"Enaknya ngapain, ya?" gumam lelaki itu. Dia sedang tak ingin belajar, karena menurutnya belajar di sekolah saja sudah lebih dari cukup, dia tak ingin membebani lagi otaknya dengan datang ke rumah dan belajar lagi. Beruntungnya Kai memiliki otak yang cukup encer, sehingga pemuda itu tak perlu takut ketinggalan pelajaran karena pada dasarnya Kai adalah tipe murid yang mudah mengerti.
"Enaknya sih balik lagi ke rumah Ayu. Rebahan di sana sambil beca komik, dan dengerin jari-jemarinya yang lagi ngetik," ucapnya sambil melirik ke arah rumah Ayu yang terlihat dengan jelas dari jendela kamarnya.
Entah kenapa Kai merasa kalau kamar Ayu sangat nyaman. Sejuk, angin sepoi-sepoi yang masuk melalui jendela yang dibuka, dan aroma lavender samar-samar menyapa indera penciuman nya.
Pada akhirnya Kai lebih memilih untuk tidur, karena tak ada kegiatan yang bisa ia lakukan. Bunda nya akan pulang malam hari, dan ayahnya akan pulang mungkin nanti besok lusa.
****
Ayu kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Kepalanya sudah dipenuhi oleh ide yang membuat dia bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dia tak akan di demo lagi oleh para pembacanya jika bisa double update seperti ini.
"Aduh, pegel amat, ya," ucapnya sambil merenggangkan otot-otot tangannya.
Duduk berjam-jam di depan layar laptop membuat tubuhnya menjadi kaku. Ayu tau kalau berhadapan dengan layar laptop terus menerus akan membuat matanya tak sehat. Tapi mau bagaimana lagi? Ini adalah hobi dan pekerjaan yang sangat dia sukai.
Dengan ini, Ayu bisa menepis rasa sepinya. Tak munafik kalau sebenarnya Ayu sangatlah kesepian. Dia dipisahkan dari kedua adiknya, dan juga bundanya yang sibuk bekerja. Kalau saja salah satu dari adiknya tinggal bersama dengannya, mungkin dia tidak akan seperti ini.
Saat sedang beristirahat sambil rebahan di atas kasur empuk miliknya. Aroma dari parfum Kai masih tertinggal di sana, dan hal ini membuat Ayu jadi sedikit berdebar. Pasalnya ini pertama kalinya dia mencium aroma parfum lelaki dari barang-barang milik pribadinya.
Sayup-sayup Ayu mendengar kalau pintu rumah dibuka, sudah pasti itu bunda nya. Kalau bukan bunda nya, lalu siapa lagi? Ayah dan kedua adiknya sudah tak pernah pulang ke rumah. Palingan bunda yang menengok adik-adiknya ke sana setiap hari, setiap selesai bekerja.
"Bun," panggil Ayu sambil membuka pintu kamarnya.
Tapi matanya seketika membulat, kala yang ia dapati bukanlah bunda nya, melainkan ayahnya. Yang sudah hampir empat bulan tidak pernah ia temui.
"A - ayah?" panggil Ayu karena dia bukanlah tipe anak yang menempel pada ayahnya. Ayu lebih dekat dengan bunda nya.
Bagi Ayu, Shinta bukan hanya sekedar bunda yang sudah melahirkan dirinya ke dunia. Shinta adalah teman, sahabat, kakak, dan juga tempat berpulang bagi Ayu di saat dunianya sedang tidak baik-baik saja.
"Ah, ada Ayu ternyata." Hanya itu yang keluar dari mulut lelaki yang ia panggil ayah.
Ayu tersenyum kecut, sebenarnya apa yang dia harapkan dari ayahnya, sih? Berharap kalau lelaki itu akan memeluk dirinya, dan menanyakan kabarnya selama ini? Astaga, Ayu terlalu banyak menghayal sampai-sampai dia menghayalkan sesuatu yang tidak mungkin.
"Tumben pulang, mau ngapain?" tanya Ayu sedikit dingin. Dia tau betul kalau sikapnya saat ini sangatlah tidak baik, bersikap dingin pada ayahnya. Tapi mau bagaimana lagi? Fauzi lah yang memulai pertamanya.
"Kamu nggak perlu tau," jawab lelaki itu sambil masuk ke dalam kamar milik bunda nya.
Ayu mengepalkan tangannya erat-erat, Demi Tuhan dia tak tau apa yang membuat ayahnya berubah seperti ini. Rasanya Ayu dan Fauzi perlahan-lahan menjauh saat Ayu mulai beranjak dewasa.
Tak lama setelah itu Fauzi kembali keluar dengan sebuah tas besar, Ayu juga tak tau isi nya apa.
"Itu apa, Yah?" tanya Ayu penasaran, takutnya uang hasil kerja keras bundanya selama ini di gondol habis oleh ayahnya. Meski Ayu tau kalau pikirannya terlalu berlebihan, tapi tidak ada salahnya kalau berhati-hati, kan?
"Kata ayah juga kamu nggak perlu tau."
Setelah urusannya selesai, Fauzi hendak kembali keluar dari dalam rumah itu. Tapi, suara Ayu justru menahan langkah laki pria itu.
"Kenapa Ayah kayak gini?" tanya Ayu dengan suara yang bergetar. "Kenapa Ayah nggak tinggal sama bunda dan aku lagi? Kenapa, Yah?" teriak Ayu dengan wajah yang sudah basah oleh air mata.
Fauzi menatap Ayu dengan tajam, ah sepertinya sikapnya sudah cukup keterlaluan. Tapi, egoisnya Fauzi justru enggan untuk meminta maaf.
"Semua ini gara-gara kamu, Yu." Hanya itu yang keluar dari mulut Fauzi, sebelum pria itu pergi.
Tangis Ayu pecah, kala mendengar alasan yang dikemukakan oleh Fauzi. Tubuhnya terasa lemas, bahkan untuk sekedar menyahut di saat ada seseorang yang memanggilnya dari luar. Ayu hanya bisa menangis, sambil menenggelamkan wajahnya pada kedua lututnya.
"Ayu!" panggil seorang lelaki sambil menerobos masuk ke dalam rumah gadis itu. "Kamu kenapa?" tanyanya panik.
Ayu mengangkat wajahnya, dan menemukan Lucas ada di sana. Tangis Ayu semakin pecah, dan hal ini justru membuat Lucas panik sendiri dan kebingungan.
"A Lucas," panggil Ayu dengan suara yang bergetar dan wajah yang sudah basah karena air mata.
"It's okay, Yu. Ada aku di sini," ucap Lucas sambil memeluk gadis itu.
Cukup lama Lucas memeluk Ayu dan memenangkan gadis itu, sampai akhirnya tangis Ayu sedikit reda. Ayu menarik tubuhnya dari dekapan Lucas. Matanya tertuju pada kemeja yang dikenakan oleh pemuda itu.
"M - maaf, A. K - kemeja Aa jadi kotor gara-gara aku," ucap Ayu deng terbata-bata efek menangis sampai sesenggukan.
"Nggak apa-apa, Yu. Gampang, nanti tinggal dicuci aja," ucap pemuda itu sambil tersenyum.
Matanya tertuju pada wajah Ayu yang masih basah karena air mata yang belum sepenuhnya kering. Tangannya terulur, dan mengusap lembut wajah Ayu yang basah karena air mata.
"Kamu kenapa?" tanya Lucas lembut. "Tadi aa abis dari rumahnya Pak Rohman, terus nggak sengaja ketemu sama ayah kamu. Terus nggak lama kemudian kamu nangis, kebetulan pintu rumahnya terbuka jadi aa nyelonong masuk ke sini. Maaf ya, nggak sopan," imbuh lelaki itu sambil tersenyum.
"Nggak apa-apa, A." Ayu hanya tersenyum.
"Kamu kenapa? Apa yang terjadi, Yu? Nggak biasanya kamu nangis sampe kayak gini," tanya Lucas masih penasaran.
Ayu hanya menunduk, Lucas mengerti kalau saat ini Ayu masih sulit untuk bercerita. Lucas mengusap pucuk kepala Ayu dengan lembut.
"Aku nggak akan maksa kamu buat cerita, kok." Lucas tersenyum. Matanya menatap jam tangan yang melingkar di tangannya. "Maaf, aa nggak bisa nemenin kamu, ada pertemuan di desa nanti," imbuh Lucas tak enak hati.
"Iya, nggak apa-apa, A."
Lucas mengambil ponselnya, dan memberikannya pada Ayu.
"Apa?" tanya Ayu heran.
"Tulis nomor kamu di sana, nanti kamu bisa menceritakan apa ingin kamu ceritakan." Lucas tersenyum. "Aku bakalan jadi pendengar yang baik, kok. Jadi nggak usah khawatir," imbuh Lucas sambil tersenyum.
Ayu menatap ponsel milik Lucas yang sudah ada di hadapannya. Tanpa buang-buang waktu lagi, Ayu langsung menulis nomor teleponnya dan Lucas melakukan miss call.
"Itu nomor aa, di save ya," pinta Lucas.
"Iya, A. Nanti aku save."
"Oke, kalo gitu aa pergi dulu, ya," pamit Lucas.
"Iya, hati-hati di jalan, A."
Ayu menatap kepergian Lucas. Haruskah dia bersyukur, karena akhirnya dia bisa memiliki nomor telepon Lucas? Yah, setidaknya kejadian hari ini tak sepenuhnya buruk. Tuhan itu baik, setelah hujan pasti akan ada pelangi, setelah susah pasti akan ada kemudahan. Ya, Ayu harus bersyukur!