PART 4 - HANYA MASA LALU

1395 Words
Kinan beberapa kali memastikan jika perkataan seniornya tidak salah. “Jadi aku bawa ini ke lantai lima Mba?” Kinanti melihat berkas yang ada dalam tangannya. Sebuah map berwarna orange “Iya, Pak Haidar menunggu sekarang juga. Itu rincian cost untuk proyek mendatang.” Mia masih membolak balik map ditangannya. “Mmmmm gak bisa Tika atau Lena aja gitu Mba?” Kinanti masih mencoba bernegosiasi. Mba Mia menghela napas, sejak kapan Kinan mulai berani membantah perintahnya? “Kinan, kamu masih belum tuli kan? Udah cepat tunggu apalagi, nanti yang ada kamu dimarahi Pak Haidar.” Jika seniornya sudah bertitah, apalah daya selain mengikuti. Namanya juga pegawai rendahan. Nasib-nasib. Mudah-mudahan benar ia hanya ditugasi menyerahkan file ini. Naik-masuk-serahkan dan kembali. Simple bukan? Karena memang begitu biasa dia menerima tugas di gedung ini. Jadi Kinanti tetap berpikir positif dan sebisa mungkin tidak memikirkan hal-hal yang akan membuatnya menjadi panas dingin hanya karena bertemu pegawai dengan jabatan yang lebih tinggi. Ia pasti bisa. Semangat Kinanti. ***** “Mba Kinan sudah ditunggu Pak Haidar didalam ya, silahkan masuk.” Salah seorang staff dilantai lima tersenyum ke arahnya. Kemungkinan sekretaris Pak Haidar. Kinanti memasuki ruangan dengan  langkah perlahan. Ia tahu jika hari ini akan terjadi. Saat memasuki ruangan, ia disuguhkan ruangan dengan luas lebih lebar dari ruangannya dilantai tiga. Belum lagi ruangan sebesar ini hanya diisi satu meja kantor beserta kursi, dan tak jauh ada satu set sofa untuk tamu. Orang yang menempati lantai lima di gedung ini tidak main-main posisinya. Dihadapannya  duduk sesosok tubuh tegap juga gagah dan sedang menatapnya tajam. “Selamat siang pak, ini berkas yang bapak minta,” ucap  Kinanti  pelan dan berusaha mengurangi kegugupannya. Ia menyerahkan berkas yang tadi disiapkan mba Mia, seniornya. Sementara ia tetap berdiri menanti perintah selanjutnya. Oke Kinanti, tinggal tunggu berkas diperiksa kira-kira lima menit, lalu kembali. Jangan gugup! Namun alih-alih memeriksa berkas yang Kinanti serahkan, nyatanya berkas itu tetap di atas meja tanpa mau disentuh oleh orang yang bernama Haidar itu.  Dan Kinanti meyakini jika orang dihadapannya masih tetap menatapnya. “Haruskah kita  seformal itu?” Deg. Kinanti merasakan dentuman dalam dadanya,  jantungnya berdetak kencang. Ternyata ini tak semudah yang ia bayangkan. Rilex, tidak akan terjadi apapun disini. Begitu Kinanti merapal mantra dalam hatinya. Haidar memindai gadis mungil yang masih terlihat cantik dimatanya. Kinanti  tertegun mendapati  mata itu tak  juga memutuskan pandangan. Kemudian ia  menunduk  sementara kedua tangannya meremas ujung kemejanya. “Apa khabar Anti?” Kinanti tidak bisa berbohong. Nama itu, panggilan itu yang sudah sekian lama tidak pernah ia dengar. Kini kembali mengudara di telinganya. Kinanti lebih memilih menatap ujung sepatunya. Sepertinya besok ia akan mengajak Tika untuk browsing sepatu baru di salah satu aplikasi belanja online. Sepatu yang ia kenakan ini memang sudah harus ganti dengan yang baru. Kinanti merasakan langkah perlahan mendekat. Ia juga tahu sosok itu sudah berdiri dihadapannya. Bunda … apa  yang harus aku lakukan? Haidar  menatap gadis dihadapannya yang masih menunduk. Setelah setahun lebih mereka tak berjumpa, setelah pertemuan terakhir yang …. Memikirkannya saja membuat rasa bersalah hadir dalam dadanya. “Aku gak tahu kalau kamu bekerja di kantor ini,” ucap Haidar pelan sambil tak lepas memandang wajah yang terlihat sedikit gugup dihadapannya. Mengapa ruangan sedingin ini masih bisa membuat dahinya berkeringat ya? Kinanti mengangkat wajahnya.  Matanya bertemu tatap dengan mata hitam. Mata yang dulu sempat membiusnya. Ternyata masih sama, dia tidak berubah. Batin Kinanti. “Kamu tahu, kadang aku merindukan kebersamaan kita seperti dulu.” Haidar memindai tiap sudut wajah dihadapannya. Wajah  lancip dengan dagu terbelah, hidung mungil walau tak begitu mancung, dan mata, mata gadis ini yang paling ia sukai kala mereka menatap dalam kemesraan dulu. Gadis yang bertahun-tahun mengisi hatinya, sebelum semua berakhir. Sementara Kinanti, ia seperti terpaku. Lupa pada keadaan sekitar. Tatapan lelaki dihadapannya membuainya pada kenangan yang pernah mereka alami dulu. “Besok kita cari furniture ya, buat isi rumah kita nanti.” “Enaknya kita belanja kemana ya?” “Terserah kamu, itu tugas kamu sebagai calon ratu dirumah ini.” “Kamu yakin akan ikut sama pilihan aku nantinya?” “Apa sih yang gak buat kamu. Kamu pilih saja sesuai mau kamu, aku pasti setuju.” “Makasih sayang, kayanya aku gak sabar deh ingin hubungan kita diresmikan, aku kangen kalau kamu tugas luar kota terus.” “Kalau kangen, kamu  menginap saja dirumahku. Hitung-hitung belajar jadi Nyonya Haidar.” “Aku takut Bunda gak kasih ijin.” “Kamu kan menginap disana kalau aku keluar kota. Nanti aku ijinkan deh sama Bunda.” “Benar ya.” “Iya  sayang.” Mereka berdua merasakan waktu seakan berhenti. Mengingatkan akan masa yang pernah mereka alami berdua. Dulu. Haidar perlahan mengangkat telapak tangannya, tujuannya adalah pipi gadis cantik dihadapannya. Saat melihat tatapan Kinanti tetap terpaku pada matanya, Haidar makin berani menyentuh pipi halus itu. Dan ia melihat Kinanti menutup matanya. Bunda ternyata aku masih merindukannya. Kinanti mendapatkan kembali kesadarannya, sesaat setelah merasakan elusan lembut kulit dingin di pipinya. Ia mundur selangkah, dan membuang wajahnya. Tidak, ini salah. “Kenapa Anti?” Haidar merasakan penolakan dihadapannya, padahal ia yakin tadi melihat sorot mata kerinduan dari gadis ini. “Kamu juga pasti merindukan aku bukan?” Ia hampir mendapatkan kembali gadisnya yang ternyata masih sangat  ia rindukan. Kinanti mundur selangkah lagi saat melihat lelaki didepannya melangkah maju. Mata mereka saling menyorot tajam. “Malam itu aku mencarimu Anti.” Kinanti menggeleng. Kamu bohong! “Aku khawatir terjadi sesuatu sama kamu,” ucap Haidar pelan sambil terus melayangkan tatapan tajam, seperti tatapan yang mengincar mangsa. Yah, Kinanti memang tidak berubah, ia tetap gadis yang bersemayam dalam hatinya. Tetap tidak tergantikan. Hingga tanpa ia sadari, tubuh Kinanti sudah menyentuh dinding ruangan. Mata Kinanti menyalang. Setelah ia berusaha menghapus apapun tentang luka yang lelaki ini torehkan, ia tak pernah menduga takdir mempertemukan mereka dalam kondisi yang sama sekali tidak pernah Kinanti inginkan. “Aku gak bisa melupakan kebersamaan kita dulu. Aku masih cinta sama kamu Anti.” Lalu tanpa Kinanti  bisa menolak, tubuhnya sudah direngkuh ke dalam pelukan  Haidar. “Ya Tuhan aku benar-benar merindukan kamu Anti.” Haidar memeluk tubuh mungil Kinanti, seolah menemukan tempat untuk jiwanya pulang melepas penat, setelah sedemikian lama jiwanya melanglang  buana pergi.  Kinanti  kembali hampir terbuai akan pelukan itu. Pelukan yang dulu sanggup  meredam segala kesedihannya. Pelukan yang ia anggap sebagai tempat dia menyandarkan bahunya kala sedih mendera karena kehilangan sosok penting dalam hidupnya. Pelukan yang ia yakini akan terus ia rasakan hingga akhir hayatnya. Namun kembali hatinya mengingat sebuah lubang dalam hatinya. Kinanti segera melepaskan pelukan Haidar dan mendorong lelaki itu dengan kasar. Haidar terkejut mendapat penolakan dan dorongan kasar dari wanita dihadapannya. Sebelum ia sempat bertanya, sebuah telapak tangan melayang di pipinya. PLAK. Kinanti memandang tajam dengan deru napas yang berlomba. Baru saja ia melakukan hal yang memang harus ia lakukan setahun yang lalu. “Panggil aku Kinan! Karena Anti mu sudah mati!” Lalu tanpa  menunggu jawaban, Kinanti keluar dari ruangan Haidar. Hampir bertabrakan dengan  Althaf yang baru akan mengetuk pintu. Althaf yang memang sengaja hendak ke ruangan Haidar tersentak, sesaat dia baru mau meraih handle pintu, ternyata pintu itu terbuka, dan ia mendapati sosok gadis yang kemarin satu lift bersamanya, gadis yang naik ojek online itu. Althaf melihat wajah pucat gadis itu sebelum Kinanti beranjak pergi dengan tergesa. Ketika  melihat ke dalam ruangan  tampak Haidar berdiri dengan wajah menahan kesal.. Haidar sendiri memilih  kembali duduk di kursinya. Ia sungguh tidak menduga Kinanti sanggup berbuat seperti itu. Kinanti nya bukan gadis kasar. Kinantinya gadis lemah lembut, mengapa kini berubah? Haidar mengeratkan gerahamnya. Ia harus mendapatkan Kinanti kembali. Karena jujur, ia masih mencintai  gadis itu. Althaf melangkah masuk dengan kening berkerut. “Gadis tadi kenapa?” tanya Althaf  sambil menutup pintu ruangan Haidar. “Oh dia … dia baru saja menyerahkan laporan yang aku pinta.” Haidar pura-pura sibuk  memeriksa laporan di mejanya. Ia mengelus pipinya perlahan. Sial! Sakit juga tamparannya. “Tapi dia seperti orang ketakutan. Kamu memarahinya?” Kekesalan Haidar makin meningkat karena Althaf seakan mau tahu saja urusan orang. “Wajar aku memarahinya jika memang ia berbuat salah. Kau sendiri ada apa kemari? Ada yang pentingkah?” “Aku hanya ingin menyerahkan ini.” Althaf memberikan sebuah map pada Haidar. Tampaknya mood Haidar sedang tidak baik. Mungkin ia sedang sakit gigi, karena terlihat Haidar  beberapa kali mengusap pipinya yang tampak memerah.   JUDUL : IKHLASKU  DALAM DUKA. PEN NAME : HERNI RAFAEL. https://m.dreame.com/novel/eTIWKIEgpLQvEEjKfAMkIg==.html
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD