Kinanti menunduk sambil meremas kedua tangannya. Ternyata apa yang ia khawatirkan terjadi. Jangan-jangan berkas yang Mba Mia berikan tadi hanya akal-akalan lelaki b******k itu.
Yah, dua kata yang Kinanti sematkan untuk seorang Haidar, selain b******k, juga lelaki b******n. Ya Tuhan, mengingatnya membuat Kinanti tambah emosi. Lalu setelah keluar dari lift, Kinanti terlebih dahulu mencari toilet.
Kinanti mendudukan tubuhnya disalah satu bilik toilet. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Setelah sekian lama, kenapa ia harus bertemu kembali dengan lelaki itu.
Bunda … aku kembali bertemu dengannya? Aku harus bagaimana Bunda? Rasa sakit ini masih terasa hingga kini.
Kinanti mengusap kedua ujung matanya yang basah. Tidak, ia harus kuat.
“Kita hanya manusia biasa Anti, jika merasa tidak ada lagi tempat untuk kita mengadu, kembalikan semua pada sang pencipta. Bunda hanya ingin kamu selalu ikhlas dalam hidup kamu nantinya sayang. Percayalah jika sudah saatnya tiba, Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk umatnya. Kita sebagai manusia hanya perlu bersabar.”
Aku sudah berusaha untuk ikhlas Bunda.
***
Lena dan Tika menyadari sesuatu terjadi pada Kinanti. Karena setiap hari sahabatnya yang satu itu menjadi sering melamun. Bahkan kali ini makanan yang Kinanti pesan hanya di aduk-aduk saja, tanpa satupun ia makan.
Tika menghela napas, walau mereka dekat, namun Kinanti bukan orang yang mau terbuka akan hal pribadi sekalipun.
“Kinan, mau sampai kapan kamu aduk tuh nasi? Bentar lagi jam makan siang kelar lho.”
“Yoi, lima belas menit lagi.” Lena melirik jam di tangannya.
Kinanti menatap arah meja para sahabatnya. Hanya piringnya yang masih ada makanan komplit, sementara yang lain sudah tinggal menyisakan piring kosong saja.
“Kalau kalian mau duluan, gak apa duluan saja. Aku bentar lagi juga habis kok.”
Tika saling memandang dengan Lena.
“Kalau ada yang mau kamu ceritakan, kami siap kok dengarkan.”
“Hmm.”
Kinanti tersenyum pada dua temannya.
“Aku gak apa-apa kok, serius deh.”
“Ya udah kalau gitu gw balik duluan ya, kerjaan gw tadi lagi nanggung soalnya.”
Tika menyedot sisa minuman didepannya.
“Gue juga, tadi Mba Mia mau ajak gue ke lantai lima. Gue mau dandan dulu ah biar kece.”
Akhirnya Tika dan Lena memutuskan meninggalkan Kinanti dikantin.
Kinanti hanya menghela napas.
Maaf aku gak bisa terbuka, karena aku sendiri sudah menutup rapat masa laluku.
***
Sejak memasuki kantin, Althaf sudah melihat sosok Kinanti makan sendirian, karena ia melihat kedua rekan gadis itu sudah pergi duluan. Sepertinya ini kesempatan untuk seorang Althaf mencari cara agar bisa dekat dengan gadis ini.
Sejak pertama kali melihatnya di lift, Althaf tidak memungkiri ia sudah tertarik pada gadis ini. Mungkin karena gadis ini terlihat acuh saat berdekatan dengannya. Seolah pesona Althaf tidak ada artinya buat gadis ini.
“Boleh aku ikut gabung?”
Kinanti mendongak saat terdengar suara dihadapannya.
Ia mendapati lelaki berkaca mata yang kemaren satu lift dengannya berdiri dengan nampan ditangan.
Lalu ia melihat ke sekeliling, sepertinya masih banyak kursi kosong dikantin ini.
“Gak enak rasanya kalau makan tidak ada teman,” ucap Althaf. Ia merasakan gadis ini tidak terlalu suka ia sapa. Terlihat dari raut wajahnya yang seakan terganggu.
“Silahkan.”
Sebenarnya Kinanti malas memberi tempat lelaki dihadapannya, sementara masih banyak kursi kosong. Mengingat lelaki ini satu divisi dengan lelaki b******k itu, tiba-tiba Kinanti ikut membencinya juga.
Kinanti perlahan menyuap makanannya. Ia harus cepat menghabiskan makanannya dan segera kembali ke ruangannya. Harusnya tadi ia mendengar perkataan Lena dan Tika.
“Kemaren saat kamu ke kantor Haidar? Kamu dimarahi?” Althaf mencoba untuk memulai percakapan. Karena gadis dihadapannya sama sekali tidak mau mengangkat wajahnya saat makan.
Kinanti mau tak mau memandang lelaki didepannya. Dan itu menerbitkan senyum di wajah Althaf. See, usahanya berhasil bukan?
“Tidak, memang kenapa?” Kinanti bertanya balik.
Althaf mengangguk.
“Oh tidak apa-apa, hanya saja aku lihat wajahmu pucat saat keluar dari sana. Ku pikir Haidar memarahimu.”
Kinanti hanya terdiam, lalu ia menghabiskan minumannya. Rasanya lebih baik ia segera kembali ke ruangannya di lantai tiga.
“Kamu mau kemana?” tanya Althaf saat melihat Kinanti bangkit, sementara ia yakin makanan gadis itu masih belum habis.
“Saya sudah selesai, permisi pak.” Kinanti mengulas senyum tipis, walau terlihat terlalu dipaksakan sebelum melangkah pergi.
Althaf tak mau ketinggalan ia ikutan bangkit.
“Tunggu.”
Kinanti menoleh. Mau apa lagi sih nih orang?
“Aku juga sudah selesai kok, kita bareng ya,” ucap Althaf.
Kinanti mengerutkan keningnya. Maksudnya?
“Ruanganmu lantai tiga kan? Kita bareng sampai lift.”
Althaf sadar jika gadis ini bingung tiba-tiba di ajak jalan bersama, yah walau hanya sekedar jalan bareng sampai menuju lift. Karena ruangan mereka berbeda lantai.
Kinanti tidak menjawab apa-apa. Bukan apa, ia hanya tidak mau menimbulkan gosip. Semua karyawan dilantai tiga mengetahui jika karyawan di lantai lima bukan orang sembarangan. Posisi dan salary yang mereka dapatkan pasti berkali lipat dari karyawan biasa.
Kinanti kembali melangkah keluar kantin, hingga ketika ia hendak melewati pintu kantin, Kinanti berhenti mendadak, membuat Althaf yang sedang berjalan dibelakang hampir menabrak tubuh langsing gadis itu.
Dihadapan Kinanti berdiri Haidar dan Ambar yang juga berhenti melangkah. Mereka bertatapan sebentar, lalu Kinanti menunduk dan melangkah pergi. Suasana hatinya hari ini benar-benar kacau.
Althaf hanya tersenyum pada Hiadar dan Ambar, lalu kembali mengekori Kinanti.
“Althaf … sejak kapan dekat dengan gadis itu?” tanya Ambar dengan tatapan menyelidik mengiringi kepergian keduanya.
Haidar mengangkat bahu.
“Mungkin mereka hanya kebetulan makan siang bersama. Lagipula bukan urusan kita kan?”
Haidar mengajak Ambar mencari kursi kosong, mereka agak telat makan siang, karena
jadwal pekerjaan yang padat.
Mudah-mudahan Althaf memang hanya kebetulan makan siang bersama. Batin Haidar.
Sepertinya waktu kali ini berpihak pada Althaf, karena lift siang ini terisi full terus. Mungkin karena lift yang satunya rusak. Dan Althaf tak perlu melirik kesamping gadis dihadapannya, ia bisa menikmati wajah gadis itu lewat pantulan dinding depan.
“Kamu sering naik ojek kalau kerja?” tanya Althaf pelan. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal, bingung mau memulai arah pembicaraan.
“Perusahaan tidak pernah melarang karyawannya naik ojek kan?”
Tampaknya pertanyaan yang Althaf ajukan salah.
Oke, sepertinya ia harus mencari pertanyaan yang lain.
“Sudah lama kerja disini?” Althaf mau tak mau melirik ke samping, karena ingin melihat raut wajah yang terlihat seperti tak berkenan untuk diajak bicara. Hey, dia gak memiliki kesalahan kan? Kenapa sepertinya gadis ini tak terlalu suka ia ajak bicara?
Kinanti melihat lelaki ini meliriknya.
“Belum begitu lama juga kok.”
Lalu setelah melihat pintu lift terbuka, Kinanti langsung masuk ke dalam. Saat Althaf ikutan masuk, terdengar bunyi peringatan. Lift full. Mau tak mau Althaf kembali keluar. Mereka hanya saling menatap hingga pintu lift dihadapan Althaf tertutup dan membawa tubuh Kinanti ke atas.
Kinanti menghela napas lega. Ia tidak mau terlalu berbesar hati, namun dari sikap lelaki tadi tampaknya, ah tidak. Mudah-mudahan itu hanya perasaannya saja. Ia tidak akan mau kembali mengalami kejadian lalu, apalagi ia tahu Althaf cukup dekat dengan Haidar. Ia harus menjauhi siapapun orang yang ada diseputar lelaki b******k dan b******n seperti Haidar. Siapapun!
JUDUL : IKHLASKU DALAM DUKA.
PEN NAME : HERNI RAFAEL.
https://m.dreame.com/novel/eTIWKIEgpLQvEEjKfAMkIg==.html