1. Pernikahan yang Tak Pernah Bernyawa

1437 Words
Sebelum kejadian itu ... Marvel Sinathrya, menatap pantulan dirinya di cermin besar di ruang kerjanya. Setelan jas abu tua membalut tubuh tegapnya dengan sempurna, seolah menjelaskan siapa dirinya, pria sukses, tegas, dan terhormat. Di usianya yang ke-45, Marvel telah menjadi CEO Sinathrya Corp, perusahaan warisan mendiang ayahnya yang bergerak di bidang manufaktur dan ekspor-impor alat berat. Tangannya pernah berdarah untuk mempertahankan bisnis keluarga itu dari kejatuhan. Dia membesarkannya bukan hanya dengan uang, juga dengan disiplin, waktu, dan kesepian. Namun, ada satu hal yang tak pernah bisa dia kendalikan, pernikahannya. Marvel menikahi Lauren sepuluh tahun yang lalu. Wanita cantik berdarah campuran, elegan dan tajam dalam bicara. Putri dari keluarga Lestari, pemilik jaringan hotel bintang lima di Asia Tenggara. Pernikahan mereka adalah simbiosis dua kerajaan bisnis, dijodohkan sejak Lauren berusia dua puluh lima dan Marvel sudah memasuki usia kepala tiga. Mereka mengucap ikrar pernikahan, namun tak pernah menyulam cinta di dalamnya. Lauren adalah misteri yang terlalu tenang untuk disentuh. Terlalu dingin untuk dibakar oleh perhatian. Marvel mencoba, sungguh. Bertahun-tahun dia mencoba menyentuh hatinya, memberi waktu, memberi ruang, bahkan membangun sayap rumah tangga dari pondasi yang tak kukuh. Tapi yang dia dapat hanya formalitas. Lauren tak pernah benar-benar hadir sebagai seorang istri. Dan malam itu, semuanya pecah. Marvel pulang lebih awal dari biasanya. Mobilnya meluncur pelan ke halaman rumah megah mereka di kawasan elit. Rumah itu sunyi, seperti biasa. Tak ada suara tawa, tak ada langkah cepat Lauren menyambutnya. Namun, ada satu hal berbeda malam itu, lampu kamar Lauren menyala, dan terdengar suara samar tawa pria. Sejak awal menikah mereka memang tidak tidur sekamar, hubungan seksual keduanya hanya tampak seperti formalitas. Satu bulan sekali dan di lakukan di kamar berbeda bukan di kamar salah satu di antara mereka. Marvel tak mengetuk. Dia membuka pintu dengan tangan gemetar, dan di situlah dia melihatnya. Lauren, dengan gaun tidur tipis satin, bersandar di d**a seorang pria muda. Mereka berciuman. Terlalu dalam. Terlalu terbiasa. Seperti bukan pertama kali. “Lauren?” Suara Marvel pecah, matanya tak percaya dengan pemandangan di depannya. Pria itu buru-buru merapikan kemejanya, wajah panik dan ketakutan. Akan tetapi Lauren hanya menatap Marvel dengan tatapan datar. Dingin. Tak merasa bersalah. “Dia bukan orang asing. Dia kekasihku,” ucapnya, suaranya nyaris tak berintonasi. “Sejak dulu.” Marvel melangkah maju. Wajahnya merah padam, nadinya berdetak cepat. “Kekasih? Di rumah ini? Di kamar ini?” Lauren berdiri, kini tegak di hadapannya, menantang. “Jangan berpura-pura terkejut, Marv. Kita menikah bukan karena cinta. Kamu tahu itu.” “Setidaknya ada harga diri!” teriak Marvel. “Rumah ini—” “Rumah ini kosong,” potong Lauren. “Seperti aku. Seperti kamu. Kita dua orang asing yang tinggal bersama karena perjodohan. Karena ayahku ingin merger. Karena ayahmu ingin reputasi. Bukan karena kita saling mencintai. Lagi pula kita sudah enggak memiliki orang tua sekarang, enggak ada hal yang perlu kita takutkan kan?” Marvel tak mampu berkata-kata. Dadanya sesak. Bukan karena Lauren berselingkuh. Dia sudah lama curiga akan hal itu. Namun karena kenyataan pahit itu keluar dari mulut Lauren seakan pernikahan mereka hanya kontrak dingin yang bisa dibatalkan kapan saja. “Kalau begitu, apa yang kamu inginkan dariku sekarang?” tanya Marvel dengan suara rendah. Lauren menatapnya lurus. “Entah, apakah kita harus berpisah? Karena perjanjian pernikahan kita itu kan untuk orang tua kita? Atau kita cari jalan bahagia masing-masing. Aku dengan kekasihku, dan kamu ... cari lah perempuan yang bisa membuat kamu bahagia.” Ucapan Lauren tadi membekas dalam kepala Marvel seperti goresan pisau. Dia tak menjawab. Dia hanya diam, lalu pergi. Mobilnya melaju begitu saja tanpa arah, tanpa tujuan. Jakarta malam itu terasa asing, padahal dia telah menguasai setengah dari denyut ekonominya. Namun dalam urusan hati, Marvel Sinathrya hanyalah pria kesepian yang ditinggal berdiri sendirian di altar kehidupan. Dia berhenti di sebuah bar, memesan minuman yang bahkan tak dia sentuh. Dia memandangi gelasnya selama hampir satu jam, sebelum akhirnya mengeluarkan ponselnya dan membuka pesan lama, sebuah undangan makan malam dari rekan bisnis lama, seorang pemilik hotel di daerah ibu kota yang pernah bercanda tentang, “jalan-jalan ke tempat yang menyembuhkan ego.” Marvel tak pernah tertarik dengan godaan-godaan seperti itu sebelumnya. Dia terlalu sibuk menjaga citra, reputasi, dan rumah tangga kosongnya. Tapi malam ini berbeda. Malam ini, ego dan harga dirinya terluka. Dan untuk pertama kalinya, dia ingin membalas dunia dengan diam-diam. Dia meneguk minuman memabukkan itu hingga tandas, takkan mabuk pikirnya, karena dia kuat dalam minum. Dia bisa saja mendapatkan wanita itu di sini, namun entah mengapa dia merasa malas? Dia tak mau pengusaha itu mengambil keuntungan darinya. “Pak, mau saya antar ke mana?” tanya sopir pribadinya. “Kamu pulang saja, biar saya menyetir sendiri,” ucap Marvel meminta kunci dari sopirnya. Sopir itu memberikan kunci mobil dan langsung pulang. Sementara Marvel mengemudi tak tentu arah, dia merasa hanya berputar-putar saja, lalu dia menghentikan mobil di bahu jalanan malam yang gelap dan tak terlalu banyak penerangan. Ketika dia melihat ponselnya lagi, dia merasa mobilnya membentur sesuatu. Dia pun menoleh ke belakang. Tampak pria tua dengan gerobaknya berlutut di dekat ban mobilnya. Marvel keluar untuk melihat bagian mobil itu yang sedikit penyok, ditabrak dengan gerobak yang dipenuhi kardus bekas. “Sial sekali!” rutuk Marvel. “Maafkan saya Tuan, maaf tangan saya licin dan enggak sengaja—“ Marvel menatap pria tua yang matanya tampak berair itu, dia menghela napas panjang, “sudahlah enggak apa-apa, pergilah,” ujar Marvel. Pria tua itu berterima kasih dan terus melajukan jalannya dengan kaki gemetar. Marvel menggeleng pelan, melepas jasnya dan melemparkan ke dalam mobil. Dia pun menelepon asistennya untuk meminta dibawakan mobil lain. Sambil menunggu, dia menatap motor lalu lalang ke dalam gang kecil, pakaian para wanita yang diboncengnya sungguh minim. Hingga seorang pria memakai topi menyapanya. “Malam, Pak. Mau masuk?” tanyanya menunjuk gang itu. “Memang ada apa di dalam?” tanya Marvel. Pria itu berbisik lirih. Entah setan apa yang merasuki pengusaha itu? Hingga dia melangkah masuk ke dalam gang sempit yang kumuh, yang aromanya menyengat hidung, seperti bau busuk atau bau kardus lembab. Gang sempit ini tidak seperti tempat yang biasa dikunjungi pria berjas. Semakin ke dalam semakin tercium bau alkohol, parfum murah, dan asap rokok bercampur dalam udara malam. Lelaki keluar masuk dari pintu-pintu sempit, dan perempuan-perempuan muda tersenyum dari balik tirai plastik yang menguning. Marvel melangkah tanpa arah, namun matanya berhenti pada satu rumah kecil yang terlihat berbeda. Tertata, bersih, dan memiliki pagar besi hitam. Tidak megah, tapi rapi dan memikat. Pintu terbuka, beberapa wanita berdiri di sekitar ruang tamu. Dari pintu depan, muncullah seorang wanita berkulit bening, rambutnya hitam panjang, wajahnya lembut namun matanya tajam. Bukan jenis wanita yang menjual diri dengan senyum genit. Ada aura kekuatan dalam diamnya, seolah dia tahu siapa dirinya meski dunia tak pernah memberinya tempat layak. Lalu wanita itu masuk kembali hingga Marvel dihampiri seorang wanita lain yang jauh lebih dewasa. “Bisa saya bantu, Pak?” tanyanya, senyumnya sangat sensual dan pakaian seksi yang tampak murah itu seperti sudah terlampau sering dipakainya. Marvel menatapnya lama. “Saya … hanya lewat.” Wanita itu menatap jasnya, lalu sepatu kulit mahalnya. Dia tahu, pria ini bukan “pelanggan biasa.” “Masuk dulu, mau lihat-lihat?” tanyanya. Seperti terhipnotis Marvel pun memasuki ruangan itu, wanita yang tadi dilihatnya tengah duduk santai memainkan ponsel meski matanya tampak sayu seperti menahan tangis. “Dia? Enggak jangan dia,” ucap wanita yang mengajak Marvel masuk. “Tapi saya mau dia,” ucap Marvel. “Biarkan saja Mbak, biar dia sama aku,” ucap Sharon, “ayo masuk, kita langsung saja,” imbuhnya. Marvel mengikuti wanita itu ke dalam kamar yang tampak remang dengan pengharum ruangan otomatis yang aromanya seperti jeruk. “Baru pertama kali?” tanya Sharon. Marvel mengiyakan, memandang wanita yang melucuti pakainnya sendiri lalu dia melangkah maju setelah tak berbusana, bergantian melucuti pakaian Marvel sambil menciumnya seolah sudah sangat biasa. “Saya yang paling mahal,” ucap Sharon, “mata tuan memang bagus,” bisiknya sensual. “Saya tidak peduli, malam ini puaskan saya,” ucapnya sebelum memulai semuanya demi meraih puncak kenikmatan. Marvel mungkin sudah dikuasai oleh minuman memabukkan itu, setelah selesai menuntaskan keinginannya. Dia pun keluar lagi dari gang kecil itu. Melihat asistennya yang sudah berdiri kebingungan. Marvel menghampiri dan menukar kunci mobil. “Besok atau mungkin lusa, ada wanita yang bernama Sharon akan mencari saya, langsung suruh masuk ruangan saja,” ucap Marvel. “Bapak dari mana?” tanya pria muda bernama Alfi itu. Marvel mengangkat bahunya acuh dan masuk ke mobil lainnya, mengemudikan dengan cepat, sebelum rasa mabuk membuatnya mengantuk, satu yang pasti dia merasa lega malam ini, mungkin karena sudah lama tak mengeluarkan benihnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD