Prolog

1126 Words
Gang sempit itu hanya selebar dua tubuh orang dewasa, pengap dan penuh bisik-bisik malam yang menggoda para lelaki kesepian. Lampu bohlam redup menggantung dari kabel listrik yang disambung sembarangan, bergoyang malas diterpa angin malam. Di balik jendela-jendela kecil yang tertutup tirai kusam, bersemayam kehidupan yang tak semua orang mampu pahami, tempat tawa berpura-pura, rintih yang dijual, dan air mata yang tak pernah ditagih. Di ujung gang itu, berdiri rumah kecil berpagar besi hitam yang mulai berkarat. Di situlah dia tinggal, Sharon. Wajahnya lembut, matanya besar dan tajam seperti kucing liar, dan senyum tipisnya bisa membuat siapa pun lupa bahwa hidupnya adalah cermin luka yang tak kunjung sembuh. Dia bukan sekadar penghuni gang itu. Dia tuannya. Rumah itu milik ibu angkatnya. Dan para perempuan di dalamnya memanggilnya “Kak Sharon”, sosok yang mereka segani dan diam-diam, kagumi. Sharon dibuang di tempat itu dua puluh tahun lalu, bayi tak bernama yang ditemukan di teras bordil yang dikelola seorang mucikari tua bernama Bu Candrawati. Dibesarkan bukan dengan cinta, tapi dengan naluri bertahan hidup, dia tumbuh menjadi wanita muda yang tahu persis bagaimana dunia bekerja, tanpa pernah berharap dunia akan bersikap adil padanya. Hingga suatu malam, datanglah dia, Marvel Sinathrya. Pengusaha mapan, berumur empat puluh lima tahun, dengan jas mahal dan sorot mata kelelahan yang tak bisa disembunyikan. Dia bukan mencari pelampiasan, namun pelarian. Dan ketika tatapannya bersirobok dengan mata Sharon, seketika dunia mereka berhenti. Marvel bukan pria buas seperti yang lain. Dia terlalu sopan, terlalu tulus dan terlalu terikat oleh pernikahan yang kosong dan dingin. Ironisnya, justru sang istri yang mendorongnya ke pelukan wanita lain. “Carilah perempuan yang bisa membuatmu bahagia,” ucapnya dengan datar, seperti membuang benda usang yang tak lagi dia inginkan. Dan begitulah, seorang pria terpandang menikahi seorang kupu-kupu malam. Bukan karena nafsu, bukan karena cinta—setidaknya belum. Tapi karena kesepian, dan karena tak ada tempat lain yang lebih masuk akal untuk menaruh hatinya selain pada wanita yang pernah dibuang dunia. *** Desah napas yang berpadu dengan ciuman rakus milik pria yang usianya dua kali lipat dari wanita muda itu terdengar begitu menggairahkan dan panas. Bilik yang tak terlalu tertutup rapat itu membuat orang-orang di luar saling tersenyum seolah sudah biasa. Lenguhan wanita di dalam pun sudah biasa didengar, di kamar sempit berukuran tiga kali tiga meter yang diterangi lampu berwarna kemerahan dan seprai yang selalu diganti setiap hari. Di atas ranjang berukuran queen itu dua orang yang tak pernah saling mengenal sebelumnya, kini menyatukan diri mereka, meraih kepuasan bersama. Meski tujuan mereka berdua berbeda, satu mencari kepuasan, yang satu mencari nafkah. “Belum juga?” lenguh sang wanita yang tampak sudah berkeringat di bawah sana, ciuman dari pria itu tak mengganggunya, meski ada aroma minuman memabukkan dibibirnya. Ya, sudah terbiasa para pria yang datang justru lebih banyak yang berada di bawah pengaruh alkohol, entah hanya untuk staminanya? Atau dia yang memang pemabuk. “Sedikit lagi,” bisiknya dengan suara parau, mengecup telinga wanita seksi yang kini tak berbusana itu, lalu dia menekan tubuhnya kian dalam dan berhasil mendapat pelepasannya. Wanita itu melenguh dengan lolongan yang panjang, tubuhnya menggelepar seperti ikan yang kekurangan air hingga kemudian membiarkan pria asing itu memeluknya erat. Beberapa detik kemudian, pria itu mengangkat tubuhnya. Langsung berdiri dan memakai pakaiannya, sementara sang wanita masih berbaring dengan sisa tenaganya. Pria itu mengeluarkan kartu berwarna hitam, “bisa gesek?” tanyanya. “Hanya cash, tuan,” jawab wanita muda yang wajahnya tak terlalu kentara karena lampu yang tak memiliki penerangan cukup. “Saya tidak memiliki uang cash,” ucapnya dengan suara yang berat. Wanita itu berusaha memindai pakaian dan jam yang dikenakan pria itu, semuanya bermerk, meski tak pernah memilikinya, namun dia tahu dari hanya sekedar melihat saja. “Melihat dari pakaian anda, anda bukanlah pria miskin seperti pria yang sering singgah ke rumah ini, dan anda tahu aku adalah yang paling tinggi bayarannya kan? Mengapa anda masih ingin barang gratis?” sindir Sharon. Wanita itu duduk dan mengambil rokok elektrik dari atas nakasnya, kakinya di lipat, tak ada rasa canggung atau malu meskipun dia tak berbusana. “Saya bisa menyewa kamu selama setahun penuh dengan harga kamu permalam setiap harinya,” ucap Pria itu sambil terkekeh pelan, dia mengeluarkan kartu namanya dan memberikan pada wanita itu. “Datanglah besok ke perusahaan, saya akan beri kamu uang cash yang kamu butuhkan,” ucapnya menyodorkan kartu nama. Wanita itu mendengus dan meletakkan kartu nama itu asal. “Karena malam ini aku juga puas, aku biarkan tuan pergi.” “Saya tidak mau berhutang, datanglah besok,” ucapnya, “siapa nama kamu? Saya perlu tahu agar asisten saya tidak mengusir kamu.” “Sharon,” jawab wanita itu pelan dan acuh, hanya menatap siluet wajah pria dengan hidung mancung itu. “Oke,” jawabnya sambil lalu, pria itu keluar dari kamar tersebut, sempat berpapasan dengan wanita tua yang mengernyitkan kening menatapnya. Pakaian wanita tua itu tampak lebih sopan dibanding wanita yang lain, meski tetap warna bibir merahnya begitu kentara. Pria itu menunduk sopan dan meninggalkan rumah itu. Sang wanita tua sekaligus pemilik rumah bordil ini, Candrawati. Menatap ke sekeliling, ke anak buahnya satu persatu yang menunduk sambil menelan salivanya kasar. Takut. “Mana Sharon?” tanya Candra. Para pekerja di rumah itu terus menunduk dan saling sikut, “dia melayani laki-laki itu malam ini?” tanyanya dengan suara meninggi hingga pintu kamar itu terbuka. Muncul wanita cantik yang melayani laki-laki itu, keluar dengan baju sangat pendek, atasan model kemben, bersandar di daun pintu yang ditutup rapat, menghirup rokok elektrik dan mengembuskan ke udara hingga tercium aroma cokelat yang kentara. “Kenapa sih Bu? Baru datang sudah ribut, rumah sebelah enggak dapat pelanggan?” tanyanya malas. “Kenapa kamu menjual diri kamu lagi? Ibu sudah melarang kan?” tanyanya dengan nada suara tinggi. Sharon tersenyum kecil lalu menarik jaket jeansnya yang dia letakkan di atas sandaran kursi. “Hanya ingin bersenang-senang,” jawabnya sambil tersenyum miring, lalu hendak meninggalkan wanita itu yang kemudian menarik tangannya. “Ibu sudah menyekolahkan kamu! Agar kamu tidak bekerja seperti ini!” Meski bekerja sebagai mucikari, namun dia masih memiliki naluri sebagai seorang ibu bagi bayi mungil yang dulu dibuang ini. “Ibu mau aku tetap jadi pegawai minimarket yang gaji bulanannya selalu dipotong? Capek bu! Duitnya enggak seberapa, lagi pula aku sudah enggak perawan,” ucapnya sambil mengangkat bahunya acuh, lalu dia meninggalkan wanita yang berteriak memanggil namanya itu. Di luar pintu rumah itu, Sharon menyeka air matanya, kembali menghisap rokok elektrik dan berjalan tak tentu arah. Pikirannya kosong. Dia baru saja putus dengan pacarnya, karena sang pacar berkata dijodohkan oleh orang tuanya, padahal dia sudah memberikan semuanya. Dia pun sadar, takkan mendapatkan pria yang mencintainya, karena dia hanyalah seorang anak mucikari! *** warning, cerita akan banyak mengandung mature content 21+ jadi harap bijaksana dalam membaca ^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD