Episode 4

1436 Words
Nadira hanya bisa menghela nafas lelah, dan meniup gelembung dari sedotan jus yang tidak lagi diminumnya. Benar pepatah mengatakan dunia hanya selebar daun kelor, ternyata kini ia pun merasakannya. "Kamu kenal Febian, Nad?" Pertanyaan itu terus diulang Lita, bahkan Lita tidak menghiraukan tatapan tidak suka Nadira. "Kamu nanya itu udah keseratus kalinya. Denger ya, aku gak kenal itu laki!" Nadira kesal, karena Lita tidak hentinya terus bertanya. "Gak kenal? Tapi kalian langsung sebut nama masing-masing berarti kalian kenal." Nadira menghela jengah. "Oke. Gue memang kenal, tapi kenal aja. Cuman tau namanya doang." "Masa sih? Padahal kamu kelihatan kaget gitu, kayak gimana gitu." "Udah ah, aku capek ngomong sama kamu!" Nadira beranjak dari kursi hendak meninggalkan Lita. Tau dirinya akan ditinggalkan begitu saja oleh Nadira, Lita pun segera beranjak dan mengikuti Nadira. "Kamu mau kemana?" Nadira menghentikan langkahnya, menatap aneh pada Lita. "Kan kita barengan dari tadi, kenapa kita harus berpisah. Kita bisa pulang bareng," Lita tersenyum lebar dengan wajah polosnya. "Astaga! Kamu tuh lugu apa bego sih?" Ejek Nadira, namun Lita hanya terkikik geli melihat temannya mulai naik darah. "Kamu judes, tapi aku tau kamu sebenarnya baik." "So tau!" "Aku gak tau hal buruk apa yang udah kamu lewati, tapi kita bisa berteman baik. Berteman itu bisa membuat kamu gak merasa kesepian." Memikirkan sejenak ucapan Lita, membuat Nadira menghela ketika hati kecilnya sedikit tersentil. Memang benar ucapan Lita. Memiliki sahabat bisa membuat Nadira tidak merasa kesepian, bahkan ia sangat bahagia ketika ia memiliki sahabat yang selalu ada untuknya, dan bisa saling berbagi. Namun itu dulu, kini ia sangat menutup diri untuk orang lain. Pengalaman pahit yang membuatnya takut untuk membuka hati, menjadikan dirinya sosok pendiam, bahkan ia sulit percaya pada orang lain. Meskipun arah rumah mereka berbeda, namun Lita tetap memaksa pulang bersama, akhirnya Nadira pun mengalah dan memilih mengantar Lita pulang terlebih dahulu. Setelah itu barulah ia pulang kerumahnya, setelah dua jam melewati kemacetan jalanan ibukota yang membuat kepalanya semakin sakit. "Sayang, kamu baik-baik aja?" Dini segera menghampiri Nadira, yang langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. "Cuman pusing, Bu." Jawabnya lemah. "Badan kamu anget. Obatnya diminum kan?" Dini ikut duduk di sebelah Nadira, dan memeriksa kondisi putrinya. Nafas Nadira terengah, seperti habis berlari, keringat mulai membasahi wajah bahkan tubuhnya. "Nadira, jawab Ibu. Kamu gak lupa kan minum obatnya?" Kali ini Nadira tidak menjawab, ia hanya bergumam lemah. Untuk memastikan putrinya tidak berbohong, Dini memeriksa tas selempang yang dibawa Nadira. Namun Dini kembali dibuat kesal, karena obat yang seharusnya diminum rutin oleh Nadir, masih utuh berada di kotak kecil yang selalu ia sediakan. "Kenapa gak diminum obatnya?" Tanya Dini, sambil menggoyang-goyang lengan Nadira. "Ibu udah bilang berulang kali kan, obatnya jangan sampai gak diminum. Kenapa kamu gak mau denger!" "Nad,,, Nadira!" Dini menepuk pipi Nadira yang sudah memerah, namun Nadira tidak menjawab. "Pusing, Bu." Gumam Nadira lemah, membuat Dini semakin panik, apalagi ketika darah segar mengalir dari hidung Nadira. "Bi,,, Bibi,,,!" Teriak Dini, memanggil salah satu asisten rumah tangganya. "Iya ,Bu." "Bilang mang Ujang, kita ke Rumah sakit sekarang!" Bibi mengangguk dan langsung berlari mencari mang Ujang. Tubuh Nadira yang kurus membuat mang Ujang dengan mudah mengangkatnya dan membawa mobil. Kejadian seperti ini sudah tidak asing lagi untuk para pekerja yang sudah lama bekerja di keluarga Nadira, membuat mang Ujang tidak perlu menunggu perintah dan langsung membawa Nadira di ikuti Dini dari belakang. Perasaan seperti ini bukan hal baru bagi Nadira. Mencium bau alkohol yang begitu menyengat, dan suhu ruangan yang terasa dingin terasa menusuk hingga tulangnya, ia yakin dirinya pasti berada di Rumah sakit. Perlahan ia membuka mata, sayup-sayup terdengar suara orang berbicara, membuatnya menoleh perlahan dan ia mendapati Ibunya tengah berbicara dengan dokter Airin. "Nadira sudah siuman?" Dokter Airin menyadari Nadira sudah membuka matanya, ia segera mendekat dan memeriksa suhu tubuh Nadira, menempelkan telapak tangan di dahi Nadira. "Masih pusing?" Tanya Airin. Nadira menggeleng lemah, "Kenapa gak diminum obatnya. Kan udah dikasih tau, jangan sampai lupa." Dini ikut duduk di samping tempat tidur, sambil menggenggam tangan Nadira. Meskipun kesal karena Nadira tidak meminum obatnya, namun Dini tetap bersikap tenang karena semakin menekan Nadira, ia akan semakin merasa frustasi dan berakhir mogok minum obat seperti beberapa bulan lalu. "Lupa," jawab Nadira lemah, "Lain kali pasang alarm, biar kamu gak lupa." "Iya, Bu." Nadira berusaha tersenyum meskipun tubuhnya masih terasa sangat lemah. "Dokter Revan masih berada di Surabaya, untuk sementara kamu menjadi tanggung jawabku. Segera hubungi perawat, jika kamu merasa sesuatu. Atau bisa langsung menelfonku." "Terimakasih dok," "Kalau begitu saya pamit. Cepat sembuh ya, Nad." Airin mengusap puncak kepala Nadira dan pergi. Kini hanya tinggal mereka berdua, untuk beberapa saat tidak ada yang bicara hanya detak jarum jam yang terdengar dan suara televisi yang menyala dengan volume sangat kecil. "Ayah belum pulang dari Makasar, tadi dia sempat menanyakan kabarmu." Ucap Dini, mengakhiri keheningan diantara mereka berdua. "Tadi ponselmu terus berdering jadi Ibu menerima beberapa panggilan. Dia bilang dia temanmu." "Siapa?" "Nindy, Ibu baru dengar namanya. Siapa dia?" Sejenak Nadira mengingat-ingat, bagaimana bocah itu bisa tau nomor ponselnya. Dan ia baru ingat, jika tadi siang mereka bertiga sempat saling tukar nomor ponsel. Tapi Nadira tidak menyangka jika anak kecil itu akan benar-benar menghubunginya, dan menganggap dirinya sebagai teman padahal mereka lebih mirip seperti adik kakak karena usia Nindy jauh dibawahnya. "Dia teman kamu?" Tanya Dini lagi, membuat Nadira mengerjap, kembali dari lamunannya. "Ah,, iya. Itu teman dari jalinan kasih." "Dari suaranya dia seperti masih kecil," "Memang. Dia baru berusia dua belas tahun." Dini terkekeh, begitu tahu usia teman Nadira. "Efek patah hati karena Kara dan Jupiter sangat berpengaruh besar padamu. Sampai kamu memilih berteman dengan anak kecil." Ledek Dini, "Dia bukan temanku. Kita cuman kenal biasa." Elak Nadira. "Jika berteman dengan anak-anak bisa membuatmu nyaman, gak apa-apa. Pertemanan itu luas, tidak harus dengan seseorang yang usianya sama seperti kamu." Nadira memutar bola matanya, "aku lapar, aku mau soto yang ada di kantin bawah." Pinta Nadira. Sebenarnya ia jarang sekali merasakan lapar, nafsu makannya benar-benar menurun drastis akhir-akhir ini, tapi ia sengaja meminta Ibunya untuk membeli makanan karena ketika dirinya makan, maka Ibunya pun pasti akan makan. Meskipun ia sudah disediakan makanan dari pihak Rumah sakit, tapi Nadria lebih memilih makanan dari luar karena menurutnya jika makan makanan Rumah sakit, penyakitnya pasti akan semakin parah. "Tunggu sebentar, Ibu beli dulu." Nadira mengangguk, namun setelah Ibunya hilang dibalik pintu ia kembali menghela lemah. Terkadang ia memang sengaja melupakan obat yang selalu disiapkan Dini di dalam tasnya, bukan karena lupa tapi karena sengaja. Menurut Nadira obat tidaklah membantu, obat hanya sekedar memperlambat waktu kematiannya saja dan ia sudah merasa lelah dengan hidupnya dan jika ia boleh meminta, ia ingin kematiannya dipercepat agar tidak lagi merepotkan kedua orang tuanya. Perawatan yang dilakukan memakan biaya yang cukup besar, sedangkan di usianya yang sudah menginjak dua puluh tujuh tahun, belum pernah sepeser pun ia menghasilkan uang. Meskipun keluarganya tidak pernah menuntut Nadira untuk bekerja, namun ia juga ingin seperti gadis pada umumnya bisa merasakan bagaimana rasanya dunia kerja, bukan hanya berdiam diri di dalam ruangan yang berbau alkohol dan seperti mayat hidup. Perlahan Nadira melepas selang infus dan turun dari ranjang. Meskipun langkahnya masih tertatih karena kepalanya masih terasa pusing, namun ia bersikeras untuk keluar dari kamar. Ia hanya mengikuti langkah kakinya, berjalan menyusuri lorong panjang Rumah sakit. Semakin jauh semakin sepi, bahkan suara bising perlahan sudah tidak terdengar lagi. Cahaya lampu semakin jauh semakin redup, hanya terdengar suara binatang kecil yang saling bersahutan, tidak ada tanda-tanda orang lain disekitarnya membuat Nadira menghentikan langkah kakinya. Menghirup dalam-dalam udara lewat hidung dan membuangnya lewat mulut secara perlahan. Suasana tenang seperti ini yang terkadang Nadira inginkan. Ia ingin merasakan bagaimana sunyinya dunia, menikmati kesendirian yang selama ini membelenggunya. Namun keheningan itu hanya sesaat, ketika sayup-sayup ia mendengar suara desahan bahkan seperti lenguhan seseorang. Awalnya Nadira tidak mau ambil pusing ia mengira itu hanya suara kucing atau binatang lainnya, namun suara itu semakin terdengar jelas, bahkan tidak mungkin seekor kucing bisa sampai lolos ke lantai lima tempatnya berada. Nadira menajamkan telinganya, dan perlahan ia mendekati sumber suara. Ia mengendap-endap, mendekati sebuah ruangan yang terletak paling ujung di koridor. Perlahan Nadira membuka gagang pintu, sebisa mungkin ia tidak menimbulkan suara agar kehadirannya tidak diketahui. Pintu terbuka perlahan, dan ia sukses tidak menimbulkan suara apapun. Namun, mata Nadira seakan loncat dari kelopaknya ketika, ia melihat Denis tengah menggagahi seorang perempuan. Mereka masih mengenakan seragam lengkap, hanya daja bagian bawah pakaian mereka saja yang sudah berceceran di lantai. Nadira menutup mulutnya, menghindari meredam teriak dari mulutnya, namun tanpa Nadira duga, matanya dan mata Denis bertemu. Untuk sepersekian detik mereka saling pandang, namun Nadira segera memutus kontak dan memilih melarikan diri. Dalam hati ia berharap Denis tidak mengenalinya, "Lelaki brengsek! Jika dia satu-satunya lelaki tersisa di dunia ini untukku, aku lebih memilih sendiri seumur hidup. Tuhan,, jauhkan aku dari laki-laki seperti itu." Umpatnya sambil terus berlari menuju kamarnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD