Episode 3

1547 Words
"Ibu gak usah anter, aku bisa sendiri." Dini tertegun tidak percaya, biasanya Nadira harus dipaksa untuk berangkat ke Rumah sakit. Namun kali ini begitu Dini membuka pintu kamar, Nadira sudah siap bahkan ia sudah selesai membersihkan diri dan merias wajahnya. "Ibu gak perlu ikut, aku bisa sendiri. Ada teman baru disana," jelas Nadira, sambil mengecup lembut pipi ibunya. "Kamu yakin, Nak?" Dini memastikan. Nadira mengangguk dengan pasti, disertai senyum mengembang di bibirnya yang tidak pernah absen menggunakan lipstik merah menyala untuk menutupi warna aslinya, pucat. "Kalau begitu minta mang Ujang buat anterin," Dini mengikuti langkah putrinya, beranjak dari kamar. "Iya,, mang Ujang yang antar. Nanti aku kabari kalau sudah sampai. Aku berangkat dulu ya, Bu." Nadira mencium tangan ibunya dan pamit pergi. Dini masih menatap kepergian putrinya, hingga Nadira hilang bersama mobil yang membawanya ke Rumah sakit. Meskipun Dini menginginkan putrinya bisa hidup normal layaknya gadis seusianya, namun ketika Nadira pergi tanpa mengikutsertakan dirinya tetap saja membuat hatinya tidak tenang. Dini tidak membatasi apapun yang ingin dilakukan Nadira, terlebih ketika anak semata wayang nya itu mengidap penyakit ganas, dan semenjak kepergian putri sulungnya, Dini tidak membatasi keinginan Nadira asalkan dia masih dalam keadaan aman dan tidak membahayakan kesehatannya. Sementara itu Nadira sudah sampai di Rumah sakit. Sebenarnya hari ini tidak ada jadwal untuk pemeriksaan, tapi Nadira sengaja datang karena hari ini ada jadwal kegiatan jalinan kasih. Meskipun acara itu masih menjadi kegiatan menyebalkan untuknya, tapi mengingat semalam ia sudah bertukar pesan dengan teman barunya Lita, jika hari ini Lita berjanji akan menceritakan semua yang ia tahu tentang dokter Denis. Entah mengapa, ketika ia mengetahui kelakuan asli dokter Denis membuat hatinya sedikit merasa terhibur. Wajah tengil yang sering dokter Denis perlihatkan ketika mereka bertemu, membuat Nadira merasa perlu menggali informasi lebih banyak lagi, agar bisa membuat dokter itu tidak bisa lagi menyombongkan diri di hadapannya. Sebenarnya pertemuan mereka baru dua kali, yaitu ketika dokter Denis ikut bersama dokter Revan untuk memeriksa kondisinya, namun karena penampilan dokter Denis yang terlihat santai, bahkan terkesan biasa saja membuat Nadira mengira Denis bukan salah satu dokter di Rumah sakit ini, dan mengira Denis adalah teman biasa Revan. Merasa dirinya tidak dianggap Dokter, membuat harga diri Denis sedikit tersentil, hingga akhirnya mereka berdua adu mulut. Denis yang suka pamer, dan Nadira yang tidak menyukai lelaki terlalu percaya diri, membuat mereka saling serang. Dan untuk pertemuan kedua, yaitu ketika Denis terlihat keluar bersama seorang perawat, membuat Nadira merasa beruntung dan bisa menjahili Denis. "Nadira!" Nadira menoleh begitu namanya disebut. Ternyata Lita berada tidak jauh di belakangnya, seperti biasa Lita tersenyum ceria menghampiri Nadira yang sudah berhenti untuk menunggunya. "Pagi banget datengnya?" Lita mengapit lengan Nadira dan mengajaknya berjalan beriringan. "Pagi, ini udah jam sebelas kamu bilang pagi?" Lita terkikik geli mendengar jawaban Nadira. "Biasanya kan kamu dateng di tiga puluh menit terakhir." Nadira memutar bola matanya jengah, ia memang tidak pernah datang lebih awal dan apa yang diucapkan Lita benar adanya. "Hari ini Nindy datang, aku kenalin kamu ke dia ya?" "Apaan sih!" "Tau gak, Nindy punya om ganteng banget, dia sering anter Nindy kesini." Nadira menoleh dan mendapati pipi Lita bersemu merah ketika membicarakan om ganteng Nindy. "Kamu naksir?" Nadira menyeringai, melihat Lita semakin salah tingkah. "Nggak! Aku cuman bilang om nya Nindy ganteng. Siapa yang bilang suka." Nadira bukan anak kecil yang mudah ditipu, dari gelagat Lita yang salang tingkah dan pipinya bersemu merah bisa dipastikan temannya itu menyukai si om Nindy itu. "Apa penyakitmu begitu parah? Sampe kamu suka om om?" Ledek Nadira. "Dia bukan om-om tua. Dia tuh ganteng!" Nadira terkekeh, ternyata menggoda Lita cukup menyenangkan, bertambah satu lagi kesenangannya saat ini yaitu menggoda Lita yang menyukai om-om. Lita masih saja melirik ke arah pintu masuk sejak lima belas menit lalu semenjak acara jalinan kasih dimulai. Lita masih menunggu sosok Nindy yang belum juga menampakan batang hidungnya. "Lo bisa duduk tenang gak sih, suara decitan kursi lo bikin telinga gue sakit." Keluh Nadira sambil menarik tangan Lita agar ia kembali duduk. "Aku nungguin Nindy." Kepalanya masih tertuju pintu masuk, yang belum juga menunjukan tanda-tanda terbuka. "Lo nungguin Nindy atau om nya sih!" "Nindy lah..!" Jawab Lita cepat, bahkan kini ia duduk tidak lagi melihat arah pintu. Acara yang berlangsung satu jam, dan menurut Nadira lamanya terasa seperti satu minggu itu berlangsung alot. Bahkan berkali-kali ia memeriksa ponsel untuk memastikan waktu berjalan atau tidak, karena menurut Nadira waktu terasa seperti berjalan mundur. "Maag terlambat datang." Suara seorang perempuan terdengar nyaring, memecah keheningan di dalam ruangan. "Tidak apa-apa. Silahkan masuk Nindy, kita masih punya waktu lima belas menit lagi." Balas salah seorang pembimbing yang mengenakan baju hitam. Mendengar nama yang selama ini ia tunggu, membuat Lita yang awalnya hanya menopang dagu dengan satu tangannya, segera menoleh dan tersenyum ceria. "Nindy!" Serunya, membuat Nadira pun ikut menoleh. Namun Nadira dibuat terperangah ketika seorang gadis kecil berusia sekitar dua belas tahun berjalan sambil melambaikan tangannya, menuju kursi tempat Lita berada. "Nadira,, perkenalkan ini Nindy. Dia akan jadi sahabat kita juga." Lita menarik tangan Nadira, untuk bersalaman dengan Nindy. "Ini yang lo maksud? Lo gak bercanda kan kita temenan sama bocah kecil?" "Nggak. Kita bisa berteman. Iya kan Nindy?" Gadis kecil berkepang dua itu mengangguk penuh semangat, membuat Nadira mengerjap tidak percaya. Lita dan Nindy asik berbincang, entah apa yang mereka bicarakan, terkadang mereka tertawa geli seperti tengah membahas hal yang sangat lucu membuat Nadira berulang kali memutar bola matanya. "Nad, ayo!" Ajak Lita, ketik Nadira sengaja masih duduk di kursi, sedangkan peserta yang lain sudah keluar. "Lo duluan aja," dengan malas Nadira menjawab. "Tadi bilangnya mau ikut bareng. Ayo kita ke kantin, nanti aku ceritain semuanya disana," "Ayo kak," Nindy pun ikut bersuara. Nadira menghela lemah, "Oke,, lima menit pertama kakian bikin gue bt, gue cabut!" Nadira pun akhirnya ikut beranjak dan mengikuti kedua temannya. "Kita makan apa hari ini?" Tanya Nindy begitu mereka bertiga duduk di kursi pojok, di kantin Rumah sakit. "Makan apa aja yang lo mau," "Kak Nad, gak boleh ngomong gue, elu. Gak bagus," Nadira berdecak kesal karena merasa digurui oleh bocah kecil. "Eh lihat itu dokter Denis dan dokter Airin." Tunjuk Lita, pada dua orang dokter yang berjalan beriringan menuju kantin. Senyum jahil Nadira terbit begitu tatapannya bertemu dengan dokter Denis. Terlihat jelas Denis menatap tidak suka kehadiran Nadira, namun seakan menyadarinya Nadira justru melambaikan tangan pada dokter Airin, "Dokter Airin!" Teriak Nadira, membuat dokter cantik itu menoleh dan membalas lambaian tangan Nadira. "Sini!" Ajak Nadira, membuat dokter Airin menarik tangan Denis dan menghampiri kursi Nadira. "Lagi ngapain Nad? Hari ini gak ada jadwal periksa kan?" "Tadi habis ikut acara jalinan kasih, jadi datang." Nadira memang sudah mengenal Airin dengan baik, mereka bahkan tidak sungkan ketika bicara seperti layaknya teman. "Dokter mau makan siang?" Tanya Nadira namun matanya tertuju pada Denis. Mereka saling menatap tajam seolah saling memperingatkan. "Iya, tapi bingung mau makan apa." "Kita cari di luar kantin aja gimana? Lagi pula jam istirahat kan masih lama," ajak Denis. Nadira mendengus geli, karena ia tahu Denis hanya sedang menghindarinya. "Disini makanannya enak kok dok," bela Lita, ingatkan Nadira untuk mentraktir jus padanya karena ikut membantu. "Gimana? Mau makan disini atau diluar?" Tanya Airin sambil melirik ke arah Denis. "Lagi gak selera makan disini, bagaimana kalau kita makan di luar saja." "Ya sudah. Nad, kita gak jadi makan disini, kita mau keluar aja. Kita tinggal ya…" Nadira hanya mengangguk, "Dok, apa dokter kenal seorang perawat bernama Hani?" Sontak pertanyaan Nadira membuat Denis menggeram, menahan kesal. Ia tahu Nadira memang sengaja bertanya pada Airin, dan pasti Airin mengenal perawat Hani karena mereka di satu divisi yang sama. "Hani? Oh perawat Hani. Tentu kenal, memangnya kenapa?" "Itu, sebenarnya aku,," Nadira sengaja menjeda kalimat nya menikmati wajah Denis yang sudah mulai memerah. "Nggak sih, tanya aja. Aku kira dokter gak kenal." Tanpa disadari, Denis menghela lega membuat Nadira semakin tersenyum pongah. "Kamu kenapa? Kayaknya seneng banget cari masalah sama dokter Denis, kalian musuh bebuyutan?" Tanya Lita sambil menyedot jus alpukat pesanannya. "Dia belagu, aku gak suka!" Balas Nadira. "Nah gitu kan enak di dengar kak, kalau gue-elu rasanya kita kayak orang asing." Celoteh Nindy, membuat Nadira menghela lelah dan Lita tertawa. "Hati-hati loh Nad, lama-lama naksir." Lita menggoda, "Ih amit-amit. Kamu gak lihat kemaren dia keluar dari ruangan itu sama suster Hani? Ogah banget naksir playboy kadal kayak dia!" Cibir Nadira. "Emang kemarin mereka ngapain?" "Anak kecil gak perlu tau!" Lita dan Nadira kompak bersuara, membuat mereka bertiga akhirnya tertawa. "Om! Aku disini!" Tiba-tiba Nindy memekik sambil berdiri. Posisi Nadira yang membelakangi orang yang dimaksud Nindy membuatnya tidak bisa langsung melihat. Hanya saja dari gelagat Lita yang mulai salah tingkah, dan pipinya kembali bersemu merah, Nadira yakin jika orang yang diteriaki Nindy adalah om yang itu. "Om cari kamu dari tadi, taunya disini." Dari suaranya tidak terdengar tanda-tanda seperti lelaki tua, bahkan mungkin hanya dengan mendengar namanya saja bisa dipastikan itu lelaki muda. Namun Nadira tidak berniat untuk memperlihatkan wajahnya, karena menurutnya itu tidaklah penting. "Sudah waktunya pulang, nanti kita telat. Sudah ditunggu oma." Nindy berdecak tidak suka, "Sebentar lagi, aku masih mau bareng merek. Kenalin ini teman baruku," Nindy menarik lelaki itu gar berdiri di sampingnya, sementara itu Kita menyenggol lengan Nadira yang berada di atas meja. "Apa sih?" Ketus Nadira, sementara Lita memberi isyarat agar Nadira melihat ke arah yang ditunjuk Lita menggunakan isyarat. Begitu Nadira menoleh, ia mendapati lelaki jangkung tengah berdiri di samping Nindy sambil mengelus puncak kepala Nindy. Nadira mengerutkan keningnya, merasa begitu familiar dengan wajahnya, begitu juga dengan lelaki itu, ia pun tampak tengah mengingat-ngingat. "Febian?" "Nadira?" Ucap mereka berdua berbarengan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD