Episode 2

1225 Words
Berkali-kali Nadira menutup mulut, menguap. Bukan, bukan karena dia tengah menahan kantuk, tapi rasa bosan yang kian terasa membuatnya berkali-kali menghela lemah, dan bergumam tidak jelas. Bukan hanya dirinya saja yang seperti itu, nyatanya teman yang lain juga sama terutama seorang perempuan yang duduk persis di sebelahnya. Mata hitam Nadira bertemu dengan manik abu perempuan yang berada di sebelahnya. Perempuan itu memiliki postur tubuh lebih kurus darinya, membuat Nadira beberapa kali membandingkan tubuhnya dengan tubuh gadis itu, dalam hati Nadira masih bersyukur setidaknya ia masih memiliki dada yang cukup besar, satu-satunya bagian tubuh yang selalu ia banggakan ketika dirinya bercermin. Perempuan di sampingnya itu tersenyum ramah, membuat Nadira yang awalnya tidak ingin beramah tamah pun, akhirnya tersenyum samar. "Lita," tiba-tiba saja perempuan itu mendekati Nadira, dan mengulurkan tangannya membuat Nadira mendongkak. Untuk beberapa detik Nadira menatap wajah perempuan itu, mengamati senyum lebar yang selalu terpancar di wajahnya membuat Nadira berfikir 'apa yang lucu', batin Nadira. "Nadira." Balas Nadira, membuat mereka akhirnya berjabat tangan. "Aku baru lihat kamu dua kali. Baru ya?" Lita menggeser kursinya sehingga berdekatan dengan Nadira. "Iya," Nadira menjawab, tapi matanya masih menatap kedepan meskipun tidak ada hal menarik yang mengharuskannya fokus, tapi menurut Nadira itu lebih baik. Karena memiliki teman tdk ada dalam prioritas hidupnya. "Biasanya Nindy datang, tapi sudah satu minggu ini aku tidak melihatnya. Aku harap dia baik-baik saja." Nadira Pun menoleh, seraut wajah khawatir terpancar dari sorot mata Lita, bahkan kedua jempolnya terus beradu menimbulkan suara gemeretak halus. Acara yang sangat membosankan itu akhirnya selesai, Nadira segera beranjak berdiri hendak berlari keluar dari acara yang menurutnya sangat menyiksa. Namun pergelangan tangannya ditahan, sebelum ia melangkah lebih jauh. "Kenapa terburu-buru, kita bisa pulang bersama." Lita tersenyum, masih memegang pergelangan tangan Nadira. "Aku buru-buru." Nadira mencoba melepas tangannya. "Ayo kita pulang bersama." Lita pun segera beranjak, dan mengapit sebelah tangan Nadira, membuat langkahnya beriringan. "Kita bisa jadi sahabat," celoteh Lita, "Nanti aku kenalkan dengan satu temanku yang lain, besok dia pasti datang. Menyenangkan bukan jika kita memiliki sahabat?" Nadira menoleh, dan menghentikan langkah kakinya. "Aku tidak butuh seorang sahabat. Aku hanya butuh sembuh, itupun jika memungkinkan." Kini Nadira benar-benar menarik pergelangan tangannya. "Aku tidak mau bersahabat dengan siapapun. Termasuk kamu dan temanmu itu," Nadira tau, ucapannya pasti menyakiti Lita, tapi mendengar kata 'sahabat',membuatnya kembali teringat kejadian beberapa waktu lalu, ketika dirinya mencintai lelaki yang sama dengan sahabat baiknya. Untuk mengobati luka hatinya yang masih menganga lebar, ia tidak ingin mempersulit penyembuhannya, salah satunya ia tidak ingin berteman atau bersahabat dengan siapapun. Lita bisa memaklumi perasaan Nadira, ia tahu bagaimana rasanya hidup dalam tekanan penyakit yang entah kapan bisa membunuhnya. Lita tidak marah melihat sikap ketus Nadira, ia justru terus mengikuti langkah Nadira, meski dari belakang. "Lihat, itu Dokter Denis!" Nadira tiba-tiba menghentikan langkah kakinya, begitu Lita menyebut nama Denis. Mata Nadira tertuju pada seorang perempuan yang baru keluar dari sebuah ruangan, tak lama setelah itu Denis keluar. Namun bukan itu yang menjadi perhatian Nadira, tapi ketika seorang perawat itu membenarkan dua kancing seragamnya dan merapikan bajunya yang terlihat kusut dan rambut berantakan. Sementara Denis pun tidak kalah berantakannya, Dokter muda itu merapikan gesper celananya, dan snelli yang ia kenakan. Suster muda yang tidak diketahui namanya itu, langsung pergi setengah berlari seperti pencuri takut ketahuan. Sementara Denis masih berlagak sok santai, membiarkan suster itu terlebih dahulu pergi. Namun ketika Denis hendak berbalik, berjalan berlawan arah dengan suster tadi, langkahnya terhenti begitu ia melihat Nadira dan Lita tengah berdiri tidak jauh dari tempatnya berada. Denis seharusnya tidak perlu merasa canggung karena ia melihat dua perempuan itu, tapi entah mengapa ketika ia melihat tatapan mengejek Nadira, membuatnya merasa canggung dan aneh. Nadira melipat kedua tangannya didada, tersenyum miring penuh ejekan, membuat Denis kesal melihatnya. "Apa yang kalian lakukan disini?" Denis tidak mungkin mengabaikan Nadira yang seolah sudah menangkap basah kelakuannya. "Tidak ada." Jawab Nadira santai. "Lalu, kenapa kalian berdiri di sini?" "Ini tempat umum. Bukannya Dokter tau, Rumah Sakit itu fasilitas umum. Ada yang salah?" Jawaban Nadira semakin membuat Denis kesal. Ia tau perempuan itu pasti sedang mempermainkannya, "Jelas aku tau ini tempat umum. Tanpa kamu beritahu pun aku sudah tau." Nadira mengangguk, "Baguslah kalau Dokter tau. Lai. Kali cari tempat pribadi untuk menuntaskannya, bukan tempat umum seperti ini. Aku rasa Dokter punya cukup banyak uang untuk menyewa sebuah kamar berlabel HOTEL." Nadira semakin menyeringai, melihat Denis tidak mampu menjawab ucapannya. "Ayo, kita pulang." Nadira meraih pergelangan tangan Lita dan menariknya menjauhi Denis. "Tunggu!" Denis mencegat langkah Nadira. Membuat Nadira mengerutkan keningnya, menatap Denis. "Jangan pernah membicarakan apa yang kamu lihat barusan?" "Takut?" Nadira mengejek, membuat Denia mengusap wajahnya kasar. "Aku tidak takut, hanya saja untuk apa kamu menceritakan masalahku, itu bukan urusanmu!" Nadira tertawa terbahak-bahak, "apa yang membuatmu yakin jika aku akn menceritakan kejadian barusan? Apa aku terlihat seperti admin akun gosip? Apa untungnya menceritakan kelakuanmu." "Mungkin maksud Dokter Denis, jangan bilang-bilang pada Dokter Airin." Celetuk Lita, membuat Nadira menoleh pada Lita, meminta penjelasan lebih. "Dokter Denis kan dekat dengan Dokter Airin, mungkin kalau kamu cerita nanti takutnya mereka jadi gagal pedekate, Dokter Airin kan dokter konsultasi kamu kan?" Jelas Lita, membuat Nadira semakin tersenyum lebar. "Jangan bicara apapun pada Airin!" "Kamu mengancam?" Ledek Nadira. "Jika sampai Airin tahu, aku tidak akan mencari orang lain. Aku pasti akan mencari kalian berdua!" Tegas Denis, "Kamu yakin hanya kita berdua yang melihat kalian keluar dari tempat itu?" "Tidak ada satupun yang tau tempat itu, lagi pula itu sudah menjadi tempat rahasia kita berdua." "Whoww, jadi kalian sudah lama? Kasihan sekali Dokter Airin." Denis mengutuk dirinya, bagaimana bisa ia sampai keceplosan menceritakan hubungan rahasianya dengan Hani, salah satu suster perawat yang selama beberapa bulan ini menjalin hubungan diam-diam dengannya. "Tolong jangan ceritakan apapun!" Suara Denis mulai melemah, yang awalnya ia sudah mengancam Nadira dan Lita kini ia terpaksa menurunkan egonya, karena ia tidak ingin hubungan terlarangnya terungkap. Nadira hanya mengangkat bahu, menyeringai penuh kemenangan. Ternyata dibalik sifat Denis yang selalu menyebalkan setiap kali bertemu dengannya, ternyata lelaki itu memiliki rahasia yang bisa saja menjatuhkan nama baiknya sebagai Dokter. "Aku baru melihatmu tersenyum, dan tertawa hari ini. Kamu cantik kalau tersenyum." Ucap Lita, setelah mereka meninggalkan Denis yang masih memohon agar rahasianya tidak terbongkar. "Aku tidak tersenyum." Nadira mengelak. "Dokter Denis pasti ketakutan rahasianya kita bongkar, karena Dokter Denis menjalin hubungan rahasia dengan istri orang." "Apa?!" "Iya, suster Hana itu sudah memiliki seorang suami dan anak, lagipula kenapa Dokter Denis Menyukai perempuan yang sudah memiliki anak, padahal banyak perawat yang masih berstatus gadis." Nadira semakin dibuat tidak mengerti dengan ucapan Lita, "Dokter Airin juga sudah memiliki anak, tapi dia janda." Jelas Lita sambil tersenyum, melihat Nadira tampak kebingungan. "Kamu tau darimana?" "Aku dari kecil disini. Aku hafal semua Dokter disini, bahkan aku tau semua skandal-skandal antara dokter dan pasien, atau Dokter dan perawat." Nadira meringis, begitu mengetahui Lita sudah sejak lama bersahabat baik dengan Rumah sakit. Membayangkan bagaimana menjadi Lita membuat Nadira merasa sedikit bersyukur, karena dirinya pernah merasakan bagaimana indahnya dunia luar. Ia sangat prihatin, melihat Lita. Sorot matanya yang jernih, senyum cerah yang selalu ia pancarkan, membuat Nadira sadar akan satu hal, Lita tidak pernah mengeluh dan selalu menikmati setiap sisa waktu yang ia miliki. "Ayo kita bersahabat." Ucap Nadira, membuat senyum Lita semakin mengembang. Lita mengangguk dengan semangat, bahkan ia menjabat tangan Nadira dengan sangat erat. "Tapi, kamu harus menceritakan semua yang kamu tau tentang dokter Denis padaku." Lita kembali mengangguk. Tidak ada yang menarik dengan sosok Dokter Denis di mata Nadira, hanya saja melihat wajah Denis kesal membuat Nadira merasakan sesuatu yang menyenangkan menyeruak di hatinya. Membuatnya ingin kembali membuat Dokter itu kesal, dan malu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD