04 - Emosi Gama

1616 Words
"Jam berapa ini?" tanya Gama dingin. Luna terpaku. Gadis itu menunduk seraya memainkan jari-jarinya. Apalagi saat Gama melangkah mendekati posisinya. Derap langkah kaki Gama seolah berbalapan dengan detak jantung Luna. Tak bisa dipungkiri, Luna takut. Ia sudah seperti maling yang tertangkap basah. "Luna jawab saya. Jam berapa ini?" tanya Gama mengintimidasi. "Om." Luna memberanikan diri mengangkat wajahnya, gadis itu menatap tepat di mata marah Gama. Berharap Gama berhenti mengintimidasinya, berharap Gama paham bahwa saat ini Luna sadar akan kesalahannya, dan ia sedang takut. "Jawab! Jam berapa ini!" bentak Gama malah semakin marah. Luna kembali beringsut, ia menunduk semakin dalam. Luna mati-matian menahan tangisnya. Ia takut sekali. Seumur hidup, orang yang memarahi Luna hanya orang tua dan kakeknya saja. Itu pun marahnya tak membentak, hanya berbicara dengan nada sedikit tinggi, kemudian memeluk Luna setelahnya. Memberi pengertian dengan baik kenapa mereka marah karena ulah Luna, sehingga Luna bisa memperbaiki sikapnya untuk ke depan. Tapi kali ini, ia dibentak oleh orang asing yang berstatus sebagai suaminya. Orang yang keluarganya percaya untuk menyerahkan tanggung jawab atas Luna kepada pria itu. Bisa dibilang pria yang tengah membentaknya adalah pengganti orang tua dan kakeknya. "Kamu nggak punya mulut, hah! Kenapa nggak jawab? Bisu? Jawab!" sentak Gama. "Jam setengah dua belas." Luna dengan suara gemetarnya berucap. "Jam berapa harusnya kamu pulang?" tanya Gama masih tidak bisa melembutkan suara. "Sebelum jam sepuluh." Gama menarik jaket Luna, ia dengan paksa mengambil ponsel Luna yang berada di saku. Gama mengangkat ponsel itu, "Buat apa punya HP kalo nggak bisa ditelepon?" tanya Gama, dan sedetik kemudian Gama membanting ponsel Luna sampai pecah. Luna mundur satu langkah, ia semakin takut dan akhirnya menangis. Ya, Luna sudah tidak bisa menahan isaknya lagi. Luna menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Ke mana aja kamu! Pulang kerja buat saya khawatir! Kalau ada apa-apa sama kamu, tanggung jawab saya dipertanyakan. Kamu harusnya mikir, Luna! Jangan kayak anak kecil!" "Luna... Luna salah. Maafin Luna, Om." Tangis Luna pecah saat itu juga. "Kamu emang nggak pernah hargain saya sebagai suami kamu!" Luna menggeleng, "Enggak, Om. Bukan gitu maksud Luna." "Kalau kamu menghargai saya, kamu nggak mungkin seenaknya bikin saya khawatir!" "Luna lupa waktu, Luna salah. Tapi Luna nggak pernah nggak menghargai Om Gama. Luna nggak gitu, Om. Hiks. Maafin Luna." Gama membuang napasnya, ia lelah berdebat, apalagi melihat Luna menangis. "Renungi kesalahan kamu! Kali ini kesalahan kamu fatal, Luna." Tekan Gama menunjuk wajah Luna yang masih menunduk dan menangis. Gama pergi dari ruang tamu, pria itu menaiki tangga untuk memasuki kamar mereka. Luna yang masih menangis berusaha menghentikan isaknya. Gadis itu berjongkok, mengambil serpihan ponselnya yang sudah hancur karena Gama banting. Luna menyusul Gama, menaiki tangga dan memasuki kamarnya. Namun belum sempat Luna menutup pintu kembali, ia melihat Gama tengah mengais satu bantal dengan gerakan kasar. "Om Gama mau ke mana?" tanya Luna takut-takut. Mata dan wajahnya masih basah karena air matanya barusan. "Tidur." Balas Gama dingin. "Tidur di mana?" "Kamar sebelah." "Kenapa nggak tidur di sini, Om?" tanya Luna lagi. "Saya lagi marah sama kamu, kalo saya paksa tidur di sini, bukannya tidur, malah jengkel nanti." Gama keluar dari kamar, pria itu membuka pintu yang hampir menutup sempurna itu, kemudian membantingnya kasar. Luna menunduk, ia kembali menghapus air matanya. Luna mengarah pada nakas, ia meletakkan ponselnya yang rusak itu di sana. Luna duduk di tepi ranjang, menunduk merenungi kesalahannya. Ya, Luna memang salah. Tapi Gama sudah keterlaluan membentak, marah, bahkan menghindari Luna. Lelah menangis, Luna memilih untuk mandi dengan air hangat. Meski tengah malam, ia sempatkan mandi karena tubuhnya lengket, berharap lelahnya hilang saat ia selesai mandi. __________ Gama berusaha memejamkan matanya rapat. Dadanya masih bergemuruh, antara lega Luna tidak apa-apa dan masih marah karena Luna berhasil membuatnya panik berlebihan. Saat pulang kerja tadi, Gama sudah sangat panik karena Luna belum pulang. Biasanya Luna pulang lebih cepat darinya, ditambah jika ada keperluan, Luna tidak pernah lupa untuk mengabari. Tapi hari ini, Luna belum pulang, ia juga tidak bisa dikabari meski Gama sudah menelepon berpuluh-puluh kali. Ya, Gama tetap keras kepala menelepon Luna meski hanya suara operator yang terdengar, Akhirnya Gama putuskan untuk keluar mencari Luna, ke kampusnya, ke toko buku yang biasa Luna kunjungi, sampai ke satu per satu cafe yang biasa Luna dan teman-temannya pakai untuk nongkrong. Nihil, tak ada keberadaan Luna di semua tempat itu. Gama sendiri memberanikan diri menelepon keluarga Luna, ia tidak langsung bertanya apakah ada Luna, takut jika tidak ada, dirinya yang menjadi objek pertama omelan dari Kakek Luna, yang merupakan teman ayahnya itu. Saat ditelepon, respon Kakek Luna tidak menunjukkan tanda-tanda ada Luna. Biasanya jika Luna ke sana tanpa Gama, Kakek Luna selalu bertanya kenapa mereka tidak berangkat bersama. Namun nyatanya di luar dugaan. Kakek Luna hanya bertanya kenapa menelepon malam-malam. Setelah mencari alasan yang masuk akal, sambungan telepon terputus. Gama yang saat itu menyerah dan memilih untuk menunggu Luna di rumah pulang dengan keadaan marah, khawatir, dan panik. Semuanya menjadi satu. Sampai akhirnya Gama meledak, karena lega, dan geram pada Luna. Di sinilah Gama, tidur di kamar sebelah yang dulu merupakan tempat kerja Gama sebelum merenovasi ruangan lantai bawah menjadi tempat kerjanya. Dulu awal-awal pernikahan, kamar itu merupakan kamar Luna. Sampai akhirnya mereka putuskan untuk tidur satu kamar layaknya sepasang suami istri normal sebelum ketahuan kedua pihak keluarga. Gama masih berusaha untuk memejamkan matanya, meski susah. Sampai akhirnya pintu kamar berdecit, tandanya ada yang membuka. "Om Gama." Panggil Luna pelan. Gama tak menjawab, ia malah memejamkan kedua mata rapat, berharap Luna percaya bahwa ia sudah tidur. "Om Gama sudah tidur?" tanya Luna. Langkah kecilnya menghampiri ranjang yang ditempati Gama. Gadis itu naik, merangkak untuk mengambil tempat di samping Gama. "Om, Om Gama masih marah sama Luna?" tanya Luna mencolek kecil lengan Gama. Pasalnya Gama tidur menyamping, dan saat ini posisi Luna tepat berada di belakang punggung Gama. Ranjang mereka kembali bergerak, Luna tidur di samping Gama, memeluk Gama dari belakang. "Maafin Luna, ya, Om. Luna nggak ada maksud buat bikin Om Gama marah. Luna salah, Luna minta maaf. Dari sekarang, Luna bakal berusaha buat nggak ceroboh lagi lupa waktu. Luna nggak mau bikin Om Gama marah sama Luna." Luna semakin mengeratkan pelukannya, gadis itu menenggelamkan wajahnya di punggung Gama. "Om Gama kalau mau tanya alasan Luna pulang terlambat, Luna bakal jelasin dari A sampai Z. Luna gak mau bikin Om Gama marah. Luna nggak sengaja lupa waktu. Jadi kalo Om Gama udah reda marahnya sama Luna, Om Gama tinggal bilang aja." "Om Gama kalo marah bikin Luna takut. Jadi jangan lama-lama ya, Om, marahnya. Luna takut." Tambah Luna sebelum ia menyamankan diri untuk memejamkan mata dan tertidur. Gama yang mendengar semua itu membeku. Ia semakin tidak bisa tidur, ingin sekali ia tidak marah setelah mendengar Luna mengoceh seperti tadi. Tapi apa daya? Gama masih marah, ia paling benci dibuat panik berlebihan. Ia benci dibuat khawatir. Dan Luna sudah membuatnya mengalami hal yang paling ia benci. Untuk saat ini Gama tidak mau ambil pusing. Ia abaikan saja Luna. Kalau amarahnya sudah reda, ia akan menyapa gadis itu lagi. Akan bersikap normal seperti biasa. ___________ Pagi hari, Gama sudah bersiap-siap. Ia meninggalkan Luna yang masih tidur di kamar tamu. Tak lupa, Gama menyetel alarm jam weker di atas nakas agar Luna tidak terlambat bangun. Karena pagi itu Gama ada rapat dadakan, dan rapat dilaksanakan setengah tujuh pagi, Gama harus datang lebih awal. Jam enam, Gama sudah siap dengan dasi dan setelan jasnya. Ia turun untuk memasak sarapan untuk dirinya sendiri. Roti bakar dengan telur ceplok. Ia tak ingin makan berat pagi itu. Baru saja Gama selesai membuat sarapan ringannya, dan baru saja ia melahap beberapa irisan roti dan telur, Luna menghampiri meja makan. "Om Gama berangkat pagi?" tanya Luna pelan. Tangannya terpaut karena takut. "Hm." Balas Gama dingin. Matanya tak bergerak sedikit pun dari isi piring di hadapannya. "Om Gama mau tunggu Luna siap-siap? Luna bakal cepet." "Kamu berangkat naik taksi aja. Saya nggak mau telat." "Yaudah." Luna lesu, Gama benar-benar marah kali ini. "Om, ada yang perlu Luna bantu? Masih ada lima belas menit sebelum Luna siap-siap. Om mau Luna siapin susu, mungkin?" "Gak perlu." "Oh iya, Om Gama belum ambil air putih. Biar Luna ambilin." Luna berlari kecil ke dapur. Gadis itu mengambil gelas dan mengisinya dengan air. Luna menghampiri Gama, meletakkan air minum itu tepat di sebelah kiri piring Gama terletak. Tak ada ucapan terima kasih dari Gama. Pria itu masih setia memasang wajah dingin. "Om, nanti Luna pulang sore. Ada kegiatan organisasi kampus. Luna udah bilang ke Om Gama kalau ikut Organisasi Jurnalistik. Dan Luna keterima. Nanti hari pertama Luna ikut organisasi itu. Nanti Luna langsung pulang." "Hm." Lagi, Gama hanya berdehem. Luna kembali menghampiri Gama. Gadis itu duduk di samping Gama, memperhatikan Gama dari samping. Tangannya terpaut. Apa yang harus ia lakukan untuk mendapatkan maaf Gama? Otak Luna tidak bisa berpikir dengan jernih. "Om Gama. Luna mau minta maaf. Luna salah sama Om Gama. Luna janji Luna nggak bakal ulangi kesalahan fatal Luna. Maafin Luna ya, Om? Om Gama mau maafin Luna?" tanya Luna takut-takut. Gama tak bersuara, pria itu berdiri, membawa piring makannya ke dapur. Ia bahkan tidak menyentuh air minum yang tadi Luna bawa. "Om, air minumnya?" tanya Luna mengambil gelasnya tadi dan mengekori langkah Gama. Hati Luna tiba-tiba nyeri kala melihat Gama malah mengambil gelas baru dan menuangkan air sendiri. Ia meminumnya santai tanpa rasa bersalah di hadapan Luna yang memegang gelas tadi. Luna terpaku, ia sakit hati karena perbuatan Gama. Matanya panas menahan air mata. Entahlah, Luna merasa ter-bully. "Nanti siang saya transfer buat beli HP baru. Kamu bisa beli HP baru karena saya banting HP kamu semalam." "Nggak usah, Om. Luna masih punya tabungan buat beli sendiri." "Nggak usah, biar pake uang saya aja. Saya berangkat." Gama nyelonong pergi tanpa menoleh sedikit pun ke arah Luna yang sudah meneteskan air mata. "Om Gama kenapa nggak mau denger penjelasan Luna dulu?" tanya Luna pada dirinya sendiri. - To be continue -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD