03 - Pulang Terlambat

2070 Words
Luna turun dari mobil Gama, ia bahkan lupa bersalaman dengan Gama karena terlalu bersemangat kala matanya melihat Feby dan Tara—sahabatnya— yang tengah duduk di kursi semen depan bangunan Fakultas. Baru saja Luna hendak menutup pintu mobil, Gama sudah memperingati, "Kalo nggak salim, saya nggak bakal jemput kamu. Pulang sendiri aja." Mirip sebuah ancaman, atau memang ancaman, namun berhasil membuat Luna yang hendak melangkah menjauh dari mobil menghentikan langkah dan berbalik. Luna mengitari mobil, ia mengetuk kaca mobil Gama. Menginterupsi Gama untuk membuka kaca mobil itu. Seolah mengerti, Gama membuka kaca mobilnya. "Salim Om Gama yang ganteng." Ujar Luna menjulurkan tangannya saat kaca mobil Gama sudah terbuka lebar. Gama berdecih, namun ia menerima tangan Luna. Tanpa basa-basi, Luna mencium tangan Gama. "Nanti Luna kabarin ya pulang jam berapa." "Bukannya pulang sore?" "Iya, tapi Luna kabarin aja, deh." "Awas aja aneh-aneh. Kalo pulang langsung kabarin aja." "Oke siap, Om." "Yaudah sana, belajar yang bener." Tangan Luna membentuk 'OK' sebelum akhirnya berjalan riang menjauh dari mobil Gama. Ia begitu bersemangat menghampiri dua sahabatnya yang terlihat sedang membicarakannya. Sesampainya Luna di hadapan dua sahabatnya, mata Luna menyipit. "Hayo... lagi gibahin Luna, ya?" "Iya, makin romantis aja kamu sama Om Suami?" tanya Feby. "Ih! Enggak! Biasa aja. Romantis dari mana?" "Cium tangan." Tambah Tara tampak sewot. Sudah biasa Tara sewot, ia tidak suka pada Gama yang disebut Om Suami oleh dua sahabatnya. Tara adalah teman masa kecil Luna, dan sudah lama Tara menyukai Luna. Jadi tidak heran jika pria itu tak suka pada hubungan Luna dan Gama meski terikat pernikahan sah sudah bisa disamakan seperti Papa dan putri angkatnya. "Itu karena Luna itu adalah istri berbakti. Kata Mama juga harus begitu." "Tapi 'kan hubungan kalian nggak normal." "Tara, apa salahnya salim sama Om sendiri, eh, Om Suami maksudnya. Dapet pahala tahu." Tara memutar bola matanya muak. Sementara Feby hanya cekikik geli melihat dua sahabatnya saling bertukar argumen. Dan seperti biasa, Tara yang mengalah dan memilih mengakhiri pembicaraan agar tidak semakin panjang. Di kampus, hanya petinggi kampus dan dua sahabat Luna ini yang tahu bahwa Luna sudah menikah. Memang sengaja disembunyikan, agar tidak menimbulkan pembicaraan atau gosip yang tidak-tidak. Mengingat Luna menikah dengan pria yang sebelas tahun lebih tua darinya. Tentu, kesepakatan itu Luna yang menganjurkan di awal sebelum mereka resmi menikah dengan ancaman jika tidak setuju dengan syarat itu, Luna tidak mau menikah. "Oh iya, Feby. Ngomong-ngomong, ada kabar gembira!!!" Heboh Luna. "Ada apa emangnya? Heboh banget?" "Jadi kemarin karena Luna telat sampe bolos kuliah, Luna ngambek sama Om Suami." "Terus-terus?" Feby tampak tertarik, berbeda dengan Tara yang acuh, meski telinganya masih mendengarkan Luna bercerita. "Luna minta ganti rugi, karena Luna bolos gara-gara Om Suami." "Minta ganti rugi apa?" "Album Anrez!!!" "Hah? Serius!? Selamat Luna kamu bisa beli album Anrez! Aku ikut seneng!" Heboh Feby. "Kamu juga bisa beli!" "Hah? Bisa beli gimana?" "Luna minta uang double!!! Buat beli dua album!" Mata Feby membulat, mereka saling berpelukan sangking senangnya. Feby tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Terlampau senang. Seumur-umur, ia tidak bisa langsung membeli album Anrez karena ia harus menabung paling sebentar tiga bulan. Itu pun ia tidak jajan. Tapi berkat Om Suami sahabatnya yang kaya raya itu, ia bisa membeli album Anrez setelah beberapa hari launching. Itu adalah sebuah keajaiban. Feby semakin menyukai kedermawaan Om Suami sahabatnya itu. "Om Suami baik banget," puji Feby. "Jadi gimana? Pulang dari kampus kita beli albumnya gimana?" "Emang kamu nggak dijemput Om Suami?" "Dijemput, cuman tadi udah pesen, kalo dijemputnya tunggu Luna kasih kabar. Jadi pulang dari kampus kita bisa langsung beli. Tapi sebentar aja, takut Om Suami marah." Feby mengangguk menyetujui. Ia sangat bersemangat. Berbeda dengan dua kaum hawa yang tengah bergembira hendak membeli album penyanyi favorit mereka, Tara tampak semakin kesal karena diacuhkan. Tara mengais tas punggungnya, ia memakai tas punggung tersebut, kemudian berdiri. "Tara mau ke mana?" "Ya mau pergi, lah! Ngapain nungguin kalian yang sibuk sendiri. Aku kayak patung tahu." "Jangan ngambek dong, Tara. Jelek tahu." Ejek Feby. "Kalian kalo udah ngomongin si Anrez Anrez itu suka lupa kalo ada aku yang bernapas. Aku bukan patung." Omel Tara. Bukannya menyebalkan, omelan Tara tampak lucu di mata Luna dan Feby. Sahabatnya memang suka kesal jika Luna dan Feby sudah membicarakan Anrez. Karena jika mereka membicarakan penyanyi tampan itu, mereka berdua melupakan sekitar, termasuk kehadiran Tara sekali pun. Jadi wajar Tara sering kesal. "Jangan ngambek Tara, tambah ganteng tahu." Luna merajuk, seraya menoel perut Tara. Hal itu berhasil membuat Tara luluh. Ia kembali duduk. "Yaudah jangan ngomongin Anrez lagi." "Yaudah iya. Kita ngomongin Blackpink aja." Mata Tara membulat bersemangat. Jika Anrez adalah penyanyi favorit Luna dan Feby, Blackpink, penyanyi girlband asal negeri gingseng itu adalah favorit Tara. Dia adalah fanboy garis keras Blackpink. Album apa yang tidak dimiliki Tara? Pria itu lengkap mengoleksi semual albumnya, lightstick, bahkan poster. Semuanya lengkap. "Eh iya! Kasihan pacar aku Lisa tahu!" "Kenapa Lisa?" tanya Feby. "Ditipu manajernya, huhu. Manajernya nggak tahu diuntung. Coba aja kalau aku yang jadi manajer Lisa. Nggak dibayar pun aku rela." Oceh Tara dengan semangatnya. Begitulah Tara, ia akan malas jika dua sahabatnya membicarakan Anrez, namun akan bersemangat jika membicarakan Blackpink. Untung saja Feby dan Luna juga menyukai Blackpink, jika tidak obrolan mereka tak akan se-frekuensi. Persahabatan mereka memang lucu, dan hangat secara bersamaan. *** Di mall, Luna dan Feby yang hendak mengarah pada salah satu store yang memang khusus menjual album terhenti kala mata keduanya terfokus di keramaian pusat mall, ada seorang yang tak mereka kenal, namun tak asing sama sekali. “Anrez!” pekik kedua gadis itu bersamaan. Luna dan Feby menoleh, mata mereka bertemu, dan dengan gerakan cepat, keduanya berlari ke store, membeli album untuk kemudian meminta tanda tangan artisnya langsung. Di meja kasir, Luna mengeluarkan kartu debitnya. Gadis itu langsung menekan pin pada tombol EDC saat sang kasir mengarahkan EDC itu pada Luna. Setelah struk keluar, dan kasir hendak membungkus album, Luna menghentikan pergerakan kasir tersebut. “Nggak usah dibungkus, Mbak. Soalnya saya langsung mau buka buat minta tanda tangan Kak Anrez.” Ujar Luna bersemangat. Kasir tersebut mengangguk mengerti. Belum selesai kasir tersebut mengucapkan terimakasih, Luna dan Feby sudah ngacir keluar dari store. Mereka berdua berlari untuk ikut ke gerombolan tengah mall. Terobos sana, terobos sini. Akhirnya keduanya berhasil membelah gerombolan hingga keduanya mendapat posisi paling depan. Ya, meski tak jarang keduanya mendapat protes dan umpatan karena melesak tanpa izin. “Anrez!!! Anrez!!!” teriak Feby bersemangat. “Hwaaaaaaaa!!!” susul Luna serasa mau menangis melihat idolanya dari jarak sedekat ini. Biasanya saat konser, Anrez jauh di atas panggung sana. Meski Luna membeli tiket VIP sekali pun. “Ganteng banget, Kak Anrez! Sampe mau meninggoy!” teriak Luna lagi dan kali ini lebay. Anrez masih memetik gitarnya, menyanyikan lagu berjudul “I miss you” dengan ciri khas suara yang sopan masuk ke telinga. Luna dan Feby tak henti-hentinya bernyanyi paling heboh di barisan paling depan. Terlihat paling menonjol di antara penonton yang lain. Hingga lagu yang dibawakan Anrez selesai dinyanyikan, suara riuh tepuk tangan menggema. Membuat Anrez menampilkan senyum manisnya. “Astaga Kak Anrez manis banget! Gula di dapur Luna kalah!” seru Luna. Sialnya, suara Luna terdengar sampai ke telinga Anrez. Pria itu sempat tertawa meski ia tahan. Dua gadis cantik di barisan paling depan memang yang paling mencuri perhatiannya. Terutama Luna. Sampai host kembali berbicara. “Oke kali ini kita memasuki segmen QnA untuk Anrez Fahreza. Mungkin ada yang mau bertanya, biarkan Anrez yang memilih pertanyaan siapa yang akan dijawabnya. Silakan yang mau bertanya bisa angkat tangan.” Luna dan Feby mengangkat tangannya tinggi-tinggi, seketika gerombolan itu riuh. Berebut mengucapkan kata “aku” agar Anrez mau memilih salah satu dari mereka untuk dijawab pertanyaannya. Pertama, Anrez menunjuk Feby, host memberikan mic untuk Feby berbicara. “Kak Anrez udah punya pacar?” tanya Feby. Gerombolan yang tadinya gaduh kompak diam, menunggu jawaban Anrez. Rupanya pertanyaan Feby memang pertanyaan yang semua orang ingin ajukan. Beruntung Feby satu pemikiran dengan mereka. Karena tak hanya sekali dua kali Anrez tersandung skandal berkencan. Meski sampai sekarang Anrez bungkam dan tidak menanggapi media. “Eum... pacar, ya? Saya nggak ada pacar.” Ujar Anrez. “Tapi kenapa Kak Anrez nggak pernah kasih penjelasan di media yang menggosipkan Kakak bersama penyanyi atau selebriti lain?” tanya salah satu dari mereka. “Karena saya pikir, diam lebih baik. Saya tidak suka menjawab gosip yang tidak benar. Atau membuat klarifikasi. Hal itu membuang-buang waktu dan saya tidak suka meladeni media yang saat ini sering ngawur membuat berita.” Jelas Anrez panjang lebar. “Ada yang mau bertanya lagi?” tambah Anrez. Kembali suasana menjadi gaduh, kali ini Luna tak mau membuang kesempatan. Gadis itu kembali mengacungkan tangannya. Tentu, Anrez menunjuknya, karena dari awal, perhatian Anrez terpusat pada gadis cantik itu. “Iya, kamu.” Tunjuk Anrez pada Luna. Luna berdehem, gadis itu menyiapkan hatinya karena saat ini ia akan berbicara dengan Anrez, idolanya! “Kak Anrez mau sama janda?” tanya Luna dengan gamblangnya. Ya, siapa tahu kan ia dan Gama bercerai, terus Luna bisa menikah dengan idolanya. Siapa tahu? Luna berpikir sejauh itu. Meski sangat aneh dan konyol. Anrez tertawa terbahak-bahak, pria itu menggeleng dan akhirnya bersuara, “Kalo jandanya kayak kamu, saya mau.” Ujar Anrez dengan guyonan. Meski bercanda, namun tak satu dua yang mendengar ucapan Anrez cemburu, ya meski banyak dari mereka juga tertawa. Pasalnya, Luna, gadis itu memang cantik. Usai Anrez menjawab QnA, akhirnya sesi tanda tangan dilakukan. Segerombolan tadi sudah berbaris untuk minta tanda tangan Anrez. Untungnya, Luna dan Feby di barisan paling depan lagi. Tak heran, keduanya sangat gesit jika berurusan dengan Anrez Fahreza. Setelah Feby mendapatkan tanda tangan, kini giliran Luna yang maju dan menyerahkan albumnya. “Kalian berteman?” tanya Anrez. “Iya, Kak. Kami nggak nyangka Kak Anrez ada di mall ini. Karena Kakak nggak ada pengumuman sama sekali di medsos.” “Iya, takut ramai nanti.” Balas Anrez seraya tersenyum manis. “Luna ngefans banget sama Kakak.” Jelas Luna dengan mata berkaca saking tidak menyangkanya gadis itu bisa melihat wajah Anrez dari dekat. Pria itu memang sangat tampan, tak ada jerawat, bahkan pori-pori wajahnya tak terlihat sama sekali. Selain lagunya yang sangat enak dinikmati, wajah Anrez juga enak dinikmati. “Namanya Luna?” tanya Anrez. “Loh? Kok Kakak tahu?” tanya Luna balik. “Kamu sendiri tadi yang bilang kalau kamu Luna.” Gantian Luna yang tertawa. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kebiasaan, Kak. Luna panggil diri sendiri.” “Kamu lucu.” Puji Anrez. “Makasih, Kak Anrez.” Anrez menandatangani album Luna, kemudian memberikannya pada gadis itu. Sebelum pergi, mereka menjabat tangan masing-masing. “Dan kamu juga cantik,” bisik Anrez sebelum akhirnya Luna pergi dari sana. *** Luna dan Feby pulang dengan perasaan gembira. Kedua gadis itu benar-benar mendapat jackpot. Bisa beli album Anrez, bisa bertemu dengan Anrez tanpa disengaja, dan bisa mendaparkan tanda tangan pria itu juga. Sampai Luna dan Feby tak sadar bahwa jam di tangan mereka sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. “Lun! Ini udah jam sepuluh malam!” seru Feby terkejut. Mereka berdua tengah duduk di halte, menunggu kendaraan umum untuk pulang. Namun sayangnya di jam segitu mereka sadar bahwa mereka ketinggalan kendaraan umum terakhir. “Hah?! Serius? Pantasan halte sepi.” Luna ikut melihat jam tangannya. Rupanya bertemu dengan Anrez membuat keduanya lupa waktu. Luna mengambil ponselnya, dan kini kesialan Luna bertambah. Ponsel Luna lowbat. “Hp Luna mati. Kamu coba pesen ojek mobil online dong Feby. Biar kita bisa pulang bareng. Kan rumah kita searah kalo dari mall.” “Oke, aku pesen ojeknya sekarang, ya?” “Iya dong, Feb. Harus cepetan. Nanti Luna kena marah Om Suami. Aduh! Moga aja Om Gama lembur, biar nggak ketahuan kalo Luna pulang malem.” Luna mulai panik. Gadis itu menggigiti kukunya sendiri. Memang tak mungkin jika usai senang-senang tak ada sial. Mereka terlalu senang sampai lupa dengan kewajiban mereka. Terutama Luna yang memang tidak boleh pulang di atas jam sepuluh malam oleh Gama. Feby juga, mereka berdua memang anak rumahan. Bedanya yang melarang Feby orang tua, dan Luna suaminya. Siap-siap mereka mendapat omelan. Nyatanya, Luna sampai pukul setengah dua belas malam. Mall tempat mereka bermain tadi cukup jauh dari rumah masing-masing. Terutama Luna. Perumahan tempat tinggal Gama dan Luna memang dekat dengan kantor dan kampus, namun jauh dengan pusat perbelanjaan. Apalagi tadi mereka harus menunggu pesanan ojek online. Tak heran satu jam setengah Luna habiskan hanya untuk pulang. Sesampainya Luna ke dalam rumah, suasana masih aman. Gerbang depan tidak digembok, pintu utama juga tidak digembok. Luna mengira Gama benar sedang lembur. Luna hanya tidak tahu saja kalau mobil Gama sudah ia taruh di bagasi. Sehingga di pelataran tak melihat tanda-tanda ada mobil Gama yang terparkir. Baru saja masuk satu langkah ke dalam ruang tamu, Luna menghidupkan lampu. Dan ia terkejut saat melihat wajah marah Gama menatapnya tajam seraya bersedekap. “Jam berapa ini?” tanya Gama dingin. - To be continue -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD