02 - Cara Berciuman

2075 Words
Nyatanya saat jam makan siang, Gama tidak bisa mengantar Luna pulang mengingat ada rapat dadakan. Luna pun yang asik bermain game di laptop Gama juga malas pulang sendiri menaiki taxi, dan memilih untuk bersantai di ruangan Gama saat sang empu pemilik ruangan sibuk meeting. Siapa sangka kalau Gama akan lembur dan membuat Luna semakin bosan. Berkali-kali Luna memesan makanan. Pizza, burger, dan beberapa junk food. Gama sampai bosan mengeluarkan dompetnya untuk memberikan uang kepada Luna saat makanan gadis itu datang. Yang menjadi pertanyaan di otak Gama, kenapa Luna tidak gendut saat porsi makannya segitu banyak. Malam harinya, karena Luna kekenyangan, alhasil gadis itu ketiduran di sofa. Saat dibangunkan, Luna malah merengek seperti bayi. Gama sampai bingung harus bagaimana membangunkan istri bocahnya. "Lun, bangun. Nggak mau pulang?" tanya Gama berusaha mengguncang pundak Luna yang tertidur di sofa ruang kerjanya. "Ngantuk, Om." Rengek Luna. "Terusin tidur di rumah, ayo pulang dulu." "Gendong, Luna nggak kuat jalan." Gama mengusap wajahnya gusar, "nggak usah aneh-aneh. Yang lembur bukan saya aja, tapi karyawan lain juga ada yang lembur. Kalau dilihat sama mereka gimana? Nggak pantes." "Pantes, Luna 'kan istrinya Om Gama." "Itu kamu udah nggak ngantuk lagi, ayo bangun! Nggak usah males. Cuman jalan dari sini ke lobi. Lagian juga naik lift. Ayo." "Gendong pokoknya. Luna mau digendong!" Kedua tangan Luna terlentang. Matanya yang mengantuk berusaha untuk terbuka menatap Gama. "Lun, jangan seperti anak kecil saya mohon." "Om Gama, Luna nggak berat, apa susahnya gendong?" "Malu, Lun." "Yaudah Luna nggak mau bangun. Sana gih Om Gama pulang sendiri. Luna nginep di kantor Om Gama aja." "Luna, please ...," Gama mulai kehilangan kesabaran. Seolah tak mendengar permohonan Gama, Luna memejamkan kedua matanya rapat-rapat. Kalau bukan karena Gama ingat pesan ayahnya yang melarang Gama kasar, atau membentak Luna, mungkin sudah ia marahi habis-habisan gadis manja yang tengah tertidur nyenyak di sofa saat ini. Mungkin Gama juga akan menjewer telinga Luna. Terpaksa, Gama menunduk dan mengangkat tubuh Luna untuk ia gendong ala bridal style. Dalam diam, Luna sudah tersenyum bak iblis betina dengan mata terpejam. Tangan Luna ia gantungkan pada leher Gama, wajahnya ia sembunyikan di ceruk leher Gama. Menghirup wangi maskulin pria dewasa itu. Parfum Gama memang yang terbaik. Bisa tahan segitu lamanya. "Dasar manja." Ejek Gama. "Makasih Om Gama." Cup! Luna mengecup singkat pipi Gama. Membuat Gama membeku seketika. Jika saja Gama tidak punya hati, sudah Gama jatuhkan tubuh Luna itu. "Gausah aneh-aneh cium-cium gitu, Lun!" Gama mengingatkan dengan nada tegas. "Galak banget sih, Om." Cup! Gantian, kali ini Gama yang mencium pipi Luna. Mata Luna yang awalnya terpejam langsung mendelik lebar kala merasakan pipinya dikecup bibir om-om ganteng yang tengah menggendongnya sekarang. Suaminya sendiri. Refleks, Luna mencubit bibir Gama kesal. "Om Gama nakal ya!" bentak Luna. "Hmpth hmpth." Gama tak bisa bicara karena mulutnya masih dicubit Luna. Gama bersumpah! Hanya Luna yang berani melakukan hal ini kepadanya. Sadar Gama tidak bisa bicara, Luna melepas bibir Gama yang ia cubit. Benar saja, sedetik kemudian Luna langsung mendapat semprotan dari Gama. "Kenapa cubit bibir saya kayak gitu! Minta maaf!" "Om Gama sembarangan cium Luna!" "Kamu juga sembarangan cium saya!" "Ya beda! Kalo Luna nggak apa-apa. Tapi kalo Om Gama nggak boleh!" "Kenapa nggak boleh?" "Ya nggak boleh! Itu namanya pelecehan!" "Apa bedanya sama kamu?" "Luna 'kan cewek, nggak ada cewek ngelecehin cowok! Yang ada cowok yang ngelecehin cewek, Om!" Kesal, Gama menurunkan tubuh Luna. "Bisa ngomel, kan? Jalan sendiri!" Tanpa menunggu jawaban dari Luna, Gama keluar dari ruangannya. "Itu kenapa sekarang banyak sekali dibahas kesetaraan gender!" gerutu Gama. Luna manyun, gadis itu berlari menyusul Gama, merangkul lengan Gama mesra. "Jelek tahu Om Gama kalau marah." "Terserah kamu, Lun. Saya ini udah capek, ngeladenin kamu tambah capek." "Iyadeh Luna diem." Gama memutar bola matanya. Ia menekan tombol lift, dan saat pintu terbuka ia masuk, dengan Luna yang masih manja merangkul lengannya. Begitu sampai di lantai dasar, Gama dan Luna sudah menjadi pusat perhatian oleh karyawan yang rupanya baru juga selesai absen pulang lembur. Mereka berbisik kala melihat Luna yang begitu manja kepada Gama. "Itu istrinya Pak Gama?" "Bukan, keponakannya kali." "Tapi kata gosip yang beredar, istri Pak Gama itu daun muda." Luna yang sadar dengan tatapan dan bisikan orang-orang yang tertuju padanya refleks melepas rangkulan tangannya pada lengan Gama. Luna menunduk, dan memilih berjalan di belakang Gama. Hal itu mencuri perhatian Gama tentu saja. Gama melirik Luna, mengerutkan kening kala merasakan sikap Luna yang berubah drastis. Baru beberapa menit lalu gadis itu membuat tekanan darah Gama naik, lalu kenapa sekarang berubah? Dan Gama baru ingat kalau mood Luna memang cepat berubah. "Kenapa? Ayo jalan di samping saya." "Malu, Om. Dilihatin banyak karyawan Om Gama." "Tadi aja minta gendong." "Luna 'kan nggak tahu kalau karyawan Om sebanyak ini yang lembur." Tanpa banyak bicara lagi, Gama menggenggam tangan Luna, menariknya untuk berjalan di sampingnya. Pria itu berbisik, "Gausah dengerin omongan mereka. Paham?" Luna mengangguk, sebagai jawaban. *** Sesampainya di rumah, keduanya lagi-lagi berebut kamar mandi. Jika biasanya yang menang adalah Luna, namun berbeda untuk kali ini. Malam itu Gama yang menang sehingga pria itu dulu yang mandi. Selesai keduanya mandi, Gama memainkan ponselnya seraya bersandar di kepala ranjang. Ia melirik Luna yang baru saja keluar dengan handuk kimononya. "Om Gama tumben nggak ke ruang kerja?" tanya Luna. "Istirahat, Lun. Abis kerja lembur." "Om, nonton film yuk? Mau nggak?" "Nggak, ah! Males, mau tidur aja." "Ih! Ayo, Om, kita nonton. Itu ada film 365 days, temen aku pada rekomendasiin film itu. Katanya sih bagus banget filmnya." "Film apa itu?" "Nggak tahu, makanya ayo kita nonton." "Enggak ah." "Kok enggak?" "Ya enggak, saya mau tidur. Capek seharian kerja." "Makanya kita nonton biar Om Gama nggak jenuh. Om Gama ini kurang hiburan banget." "Haduh yaudah, iya deh. Tapi kamu aja yang setel dan ambil laptopnya. Kita nonton lewat laptop aja, saya males gerak kalau harus ke ruang TV." Oceh Gama karena memang di kamar mereka tidak ada TV, Gama sendiri yang membuat peraturan tersebut mengingat dulu, Luna selalu menyetel televisi saat Gama ingin tidur nyenyak. "Oke siap! Luna mau ganti baju tidur dulu." "Hm." Luna memasuki walk in closet, setelah ia berganti, ia segera mengambil laptopnya dari dalam tas. Luna meletakkan laptopnya di atas ranjang, kemudian ia keluar dari kamar. Luna ke bawah untuk mengambil cemilan, snack pop corn, minuman kaleng, dan beberapa cemilan lain. Setelah semua sudah siap, Luna memasukkan kakinya ke dalam selimut yang sama dengan Gama, kemudian duduk di samping Gama, ia ikutan bersandar di kepala ranjang. Laptop sudah siap memutar filmnya. Laptop itu berada di atas pangkuan Gama. Sebelum mem-play film tersebut, Gama sempat aneh dengan poster film yang terlihat seperti film dewasa. Gama melirik Luna yang baru saja membuka bungkus snack. "Ini film apa, Lun?" tanya Gama. "Luna nggak tahu, kata temen Luna bagus." "Posternya kok begini." "Ya kenapa emang?" "Yakin mau nonton?" "Mau, Om. Udah play aja." Gama mem-play film tersebut. Di awal memang seperti film action, tapi di pertengahan, benar dugaan Gama bahwa film yang tengah ia tonton bersama Luna ini bukan film action biasa. Film tersebut lebih mengarah pada film dewasa yang harusnya tidak ditonton gadis berusia 19 tahun. Sampai pada adegan seks, Gama menutup laptopnya. Bagaimana pun Gama itu laki-laki normal, jika dicekoki film seperti itu birahinya akan naik. "Om, kok ditutup laptopnya?" protes Luna. "Gimana nggak ditutup? Filmnya begitu." "Tapi Luna penasaran." "Gausah penasaran. Intinya mereka mau melakukan hubungan seks." Luna mencebikkan bibirnya. "Luna mau nonton sampai habis." "Nggak boleh!" "Kenapa nggak boleh?" "Kamu masih kecil. Pake nanya segala!" Gama mengutis kepala Luna gemas. Membuat Luna meringis karena kutisan itu. Gama selalu saja melakukan hal itu. "Luna udah 19 tahun, Om! Luna itu udah besar." "Kata siapa? Kamu itu masih kecil." "Bulan depan Luna udah 20 tahun." "Itu masih kecil." "Om Gama aja yang ketuaan." Gama meletakkan laptop Luna di atas nakasnya, ia juga membereskan minuman kaleng dan beberapa snack. "Saya itu suami kamu, nurut aja." "Egois banget Om Gama!" Gama merebahkan tubuhnya, ia menatap langit-langit kamar berusaha untuk tidak meladeni ocehan Luna. Jika ia ladeni akan semakin panjang. Mau tidak mau, Luna ikut merebahkan tubuhnya. Gadis itu menarik tangan Gama untuk ia jadikan bantal. Kemudian memeluk Gama erat. Wajahnya mendongak untuk melihat wajah suaminya. "Om Gama pernah ciuman?" tanya Luna. "Ya pernah lah, Lun," Gama melirik curiga Luna, "kamu ngapain tanya gitu ke saya?" "Ajarin Luna ciuman dong, Om. Luna pengen bisa ciuman. Jadi nanti kalo punya pacar tahu caranya." Gama mendelik, "Nggak ada! Siapa yang izinin kamu punya pacar? Kamu itu udah punya suami!" "Tapi ‘kan hubungan kita itu kayak Om dan keponakannya aja." "Kita itu nikah udah sah! Di mata agama, di mata hukum juga. Kita juga punya surat nikah. Nggak usah aneh-aneh kamu, Lun. Pacaran-pacaran! Nggak ada pacar-pacaran!" Luna manyun, "Om Gama mah, Luna cuma minta diajarin ciuman aja nggak boleh. Temen Luna udah pada jago tahu, Om. Setiap mereka bahas ciuman sama pacar mereka, Luna cuma diem aja nggak tahu. Makanya Luna tanya Om Gama." "Ck ck ck! Anak zaman sekarang kenapa bahas begituan sih? Itu privasi, Lun." "Om Gama katro banget. Ketahuan banget udah tua." Gama memutar bola matanya. Luna selalu saja mengejeknya tua. Padahal usia mereka hanya selisih 11 tahun saja. Gama bukannya tua, dia hanya pria dewasa. Sudah. "Ayo Om ajarin Luna ciuman. Luna pengen bisa ciuman." Luna menggoyang lengan Gama seraya merengek seperti anak kecil. "Kamu mau ciuman sama saya?" "Iya, sama siapa lagi? Om Gama kan suami Luna. Ajarin Luna ciuman." "Terus kamu kalo udah bisa ciuman mau ngapain?" "Ya buat ilmu aja, kalo temen Luna bahas ciuman, Luna nggak plonga-plongo." "Ilmu itu yang bermanfaat, emang manfaatnya ilmu ciuman apa? Manusia itu nggak perlu diajari, mereka punya naluri sendiri gimana cara ciuman." Luna menghembuskan napas lelahnya. Gadis itu duduk, kemudian menindih Gama dengan menduduki perut pria itu. Gama sampai terkejut karena keberanian sikap Luna saat ini. "Luna turun! Apa-apaan kamu?" tanya Gama geram. "Ajarin Luna ciuman, Om. Ya? Plis?" "Nggak, udah kamu turun dari atas tubuh saya. Saya ini laki-laki normal asal kamu tahu, Lun!" "Yang bilang Om nggak normal siapa? Makanya karena Om normal, Om ajarin Luna ciuman." Gama mengusap wajahnya kesal, pria itu tiba-tiba duduk, mengikis jarak antara wajahnya dan wajah Luna. Giliran Luna yang berdebar karena perlakuan tiba-tiba Gama. Mata mereka saling bertatapan, hidung mancung Gama menyentuh hidung Luna. Luna bisa merasakan napas Gama yang teratur. Belum selesai sampai sana, Gama dengan mudahnya membalikkan tubuh Luna hingga Luna berada di bawah tindihan tubuhnya. Mata Luna semakin lebar dibuatnya. Jantung Luna juga berdetak di atas normal. Ada sedikit takut saat melihat Gama yang berbeda dari biasanya. Mata tajam Gama semakin mengintimidasinya. Luna sampai harus memutus kontak mata antara mereka saking gugupnya. "Om... i... itu, kenapa ditindih gini Luna? Luna jadi jantungan, Om." Gagap Luna tampak panik. Bukannya menjawab, Gama meraih tangan Luna, mencium punggung tangan Luna lembut dengan mata yang tak putus menjelajahi setiap jengkal wajah gadis itu. "Katanya minta diajarin ciuman? Ya ciuman gini, natap mata lawan jenis dalam dulu." "Ih! Om Gama bukan natap dalam, Om Gama itu melotot! Om juga kayak mau makan Luna tahu! Luna jadi takut." Omel Luna panjang lebar. "Terus abis itu deketin wajah," Gama menunduk, mendekatkan wajahnya. Membuat tubuh Luna semakin terimpit. Gama bahkan tidak mempedulikan omelan Luna. "Om Gama ih! Serius!" "Terus miringin wajah." Ujar Gama mulai memiringkan wajahnya. Luna semakin gugup saat hidung Gama sudah menyentuh pipinya, bibir mereka hanya berjarak beberapa senti saja. "Om, jantung Luna bermasalah, Om. Kayaknya belajarnya besok aja." Bisik Luna dengan suara kecil. "Nanggung, Lun." "Tapi, Om." "Kamu tutup mata kamu." "Kenapa harus tutup mata?" tanya Luna dengan polosnya. "Ya tutup mata biar otak kamu cuma fokus sama bibir kita." "Hah?" "Buruan kita selesaiin, saya beneran ngantuk mau tidur." "Yaudah... yaudah. Luna tutup mata." Luna memejamkan matanya rapat-rapat. Tangannya yang digenggam erat Gama ikut menggenggam erat tangan Gama mengingat ia sangat gugup saat ini. "Setelah itu, tempelin bibirnya." Santai, Gama mengecup bibir Luna. Mereka hanya menempelkan bibir satu sama lain. Gama membuka matanya kala bibirnya menyentuh bibir Luna. Lembut, dan kenyal. Batin Gama. Penasaran dengan rasanya, Gama melumat bibir Luna dalam. Benar saja, bibir luna manis. Entah lip balm apa yang digunakan gadis itu. Gama sampai gelap mata menikmati ciumannya bersama istri bocahnya yang minta diajari ciuman. "Hmpft, Om... Om...," Luna berontak saat Gama semakin dalam mencium Luna. Bahkan Gama seperti memaksa Luna membuka mulutnya. Karena Luna berbicara dan otomatis membuka mulutnya, Gama dengan mudah memasukkan lidahnya, bertemu dengan lidah Luna. Tangan Luna sudah berusaha mendorong dada Gama. Ia berontak. Baru setelah Gama selesai dengan aktivitasnya, ia melepas bibir Luna. Menjauhkan wajahnya dari Luna. Gama mengusap bibirnya, seraya Memperhatikan wajah Luna yang memerah seraya mengatur napas. "Udah tahu cara ciuman, kan? Sekarang tidur." Perintah Gama, dan mendapat anggukan takut-takut dari Luna. - To be continue -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD