Bab 12 — Terbayang-bayang

1832 Words
"Nanti kapan-kapan main lagi ya, Tu?" Ratu hanya bisa tersenyum palsu merespon ucapan Sukma. Setelah peristiwa reflek 'memeluk' beberapa saat lalu, Ratu malu rasanya muncul di rumah ini lagi. Kecoak tadi benar-benar membuat harga dirinya Ratu tercoreng. Bisa-bisa kecoak itu muncul di saat seperti itu, saat sedang ada Aditya di sana. Lagi, kenapa lelaki itu tiba-tiba ada di sana? Masa baru selesai makan? Ratu merasa sudah cukup lama di dalam sana. "Kita atur lagi nanti, oke?" Ratu kembali tersenyum. "Atau kamu nanti yang gantian main ke rumahku. Aku jemput." Sukma tak menyangka orang kaya dan cantik seperti Ratu se-humble itu. Sikapnya Ratu terlihat apa adanya, tak ada tampak berpura-pura sedikit pun. Memang terlalu dini usia perkenalan mereka, tetapi Sukma yakin jika Ratu adalah perempuan yang tulus. "Ke rumah kamu?" tanyanya setengah tak percaya. Ratu mengangguk, agak sedikit heran juga dengan responnya Sukma. "Kenapa? Kamu enggak mau main ke rumahku?" "Bu-bukan! Bukannya enggak mau. Aku mau-mau aja, tapi... " Sukma selama ini tak pernah memiliki teman yang kaya raya dan juga cantik seperti Ratu begini. Meski Ratu humble, Sukma belum tahu bagaimana dengan keluarga perempuan itu. "Orang tuaku baik, kok," ujar Ratu cepat seolah mengerti apa yang tengah Sukma risaukan. "So, kapan-kapan kamu harus main ke rumahku, oke? Nanti aku kenalin sama sahabatku. Dia sering main ke rumah juga. Mamaku itu senang-senang aja kalau aku bawa temanku main ke rumah.” Sukma akhirnya mengangguk. "Boleh lah nanti kapan-kapan. Tapi sekarang-sekarang kayaknya kamu bagusnya sering ngerjain skripsi di rumahku deh, Tu. Kalau ada abangku, kan bisa sekalian nanya-nanya sama dia. Nanti pas bimbingan, kan bisa dikit revisinya atau nggak ada revisi sama sekali," ujar Sukma terkekeh. Ratu tertawa kecil. Ingin seperti itu sebenarnya. Tapi... kan sosok lelaki itu selalu saja bersikap dingin. Ratu tak yakin lelaki itu mau membantu di luar bimbingan di kampus. Dan juga... kejadian beberapa saat lalu membuat Ratu malu. Mukanya Ratu kembali memerah, untuk pertama kalinya dia reflek memeluk lawan jenis selain papa dan kakaknya. Untung saja bimbingan selanjutnya masih semingguan lagi. Ratu nanti bisa berpura-pura lupa saja, bukan? Menganggap seolah tak terjadi apa pun di depan kamar mandi rumah itu. "Emang abangmu itu mau ditanyain di luar bimbingan gitu?" "Anggap aja lagi belajar sama kenalan yang kebetulan mengerti tentang skripsimu. Masa iya abangku itu pelit nggak mau berbagi ilmu? Entar aku bilangin, harus baik sama temanku." Sukma tertawa kecil. "Bisa aja kamu." Ratu telah membuka pintu mobilnya saat ini. "Salam sama ayahmu dan juga abangmu itu, ya? Maaf, aku nggak pamit." Untung saja waktu Ratu akan keluar rumah dan basa-basi hendak pamit kepada penghuni rumah lainnya, Aditya itu sedang berada di dalam kamar mandi. "Iya. Nanti aku sampaikan." Mobilnya Ratu pun melaju membela jalanan yang terpantau ramai menuju ke arah rumahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore saat ini. Sepanjang perjalanan pulang, Ratu masih saja terbayang akan tingkah bodohnya tadi. "Bodoh... bodoh... bodoh. Kenapa gue bisa reflek meluk dia, sih? Sebel banget gue sama kecoak sialan itu!" Lagi. Kecoak menjadi sasaran umpatan perempuan itu. Kali pertama Ratu melihat hewan satu itu terbang. Ada rasa geli bercampur takut, meski Vika sudah bilang waktu itu jika kecoak itu tak menggigit. Ratu mending berhadapan dengan seseorang untuk adu jotos dibanding dihadapkan dengan hewan kecil satu itu. Pernah sekali di rumah Vika, hewan itu merayap di pahanya. Ratu menjerit-jerit seperti tadi juga. "Tapi... apa itu tadi? Dadanya keras banget!! Apa di dalamnya kayak roti sobek cowok-cowok Koreyah gue?" Ratu menggeleng cepat, memukul-mukul kecil kepalanya dengan satu tangan yang sejenak tak dipakai untuk mengemudi di jalan yang lurus. "Dia itu perjaka tua! Ya kali badannya bagus kayak idola gue. Enggak mungkin lah! Eh, tapi... kok rasanya nyaman sebelum gue sadar kalau melukin dia?" Ratu kembali menggeleng. Sadar, Atu... sadar!! Dia itu Aditya dan beda jauh sama cowok-cowok Koreyah itu! Dering ponsel membuat Ratu seketika menoleh. Muncul nama Vika pada layar ponselnya itu. Ratu pun menyentuh layar hijau, kemudian tanda speaker setelahnya. “Lo di mana, Tu? Tadi jadi bimbingan?” “Di jalan pulang. Ya kali nggak jadi kalau udh dijadwalin si Aditya itu.” “Baru pulang dari kampus? Lama bener.” “Enggak. Tadi gue ke rumah teman dulu. Eh, Vik, lo harus dengar cerita gue, sih.” “Kenapa? Kenapa?” Suara lembut Vika mendayu di seberang sana. “Ada trouble pas bimbingan tadi?” “Bukan! Bukan pas bimbingan. Walau iya sih, bimbingan agak nyebelin juga. Mayan juga revisian gue.” “Terus, apa emang kalau bukan soal bimbingan?” “Lo lagi di rumah? Gue jemput, terus nginep di gue. Udah lama lo enggak nginep.” Vika kemarin-kemarin ini menunggu adiknya dirawat di rumah sakit, menggantikan orang tuanya yang tak dibolehkannya menginap di rumah sakit. Baru beberapa hari ini perempuan itu di rumah, belum ada Ratu bertemu dengannya lagi setelah membantu menjemputnya dan sang adik pulang dari rumah sakit. “Yuk siap-siap, mandi di rumah gue aja kalau lo belum mandi.” Persamaan Ratu dan Vika itu, kalau tak ke mana-mana suka menunda-nunda mandi. Kadang pada sore hari menjelang maghrib baru berniat mandi. “Lo aja yang nginep di sini, gimana?” Biasanya Vika paling semangat menginap di rumah Ratu, karena bisa bertemu pujaan hatinya. Namun, Vika agak gugup rasanya bertemu lelaki itu saat ini. Lelaki itu baik, telah membantunya di saat Vika bingung hendak mencari bantuan. Tak enak jika terus-terusan menyusahkan Ratu dan orang tuanya, yang pasti akan dibantu tanpa harus diganti. Tak meminta iming-iming apa pun. Vika malu, dia sudah terlalu banyak menerima bantuan dari Ratu dan orang tuanya perempuan itu. Makanya, dia berpikir untuk meminjam saja kepada kakaknya Ratu. Yang mana kalau meminjam, dia akan menggantinya. Tak menerima secara cuma-cuma saja. Dan syukur lah, Alvaro mau memberikan pinjaman kepadanya. Entah kenapa waktu itu Vika kepikiran lelaki itu, karena bingung hendak mencari pinjaman ke siapa lagi. Akan tetapi kemarin tiba-tiba lelaki itu mengajak bertemu, semingguan setelah kecelakaan yang dialami adiknya itu. Dalam pertemuan kemarin, Alvaro tiba-tiba mengajukan sebuah penawaran. Vika tak perlu membayar pinjamannya, asalkan setuju dengan syarat yang diberikan lelaki itu. Vika belum menjawabnya. Dia meminta sedikit waktu untuk berpikir. Bertemu dengan Alvaro nanti, Vika belum siap ditagih. “Kenapa emangnya? Bukannya lo seneng biasanya kalau gue ajak nginep? Biar bisa ketemu sama Kakak Al.” Vika tertawa-tawa saja di seberang sana. “Gue lagi enggak merasa cantik mau caper sama Kak Al,” alibi perempuan itu. “Idih! Lo kapan cantiknya emang?” “Kemarin-kemarin.” Ratu mencebikkan bibirnya. Dia akui kalau Vika itu cukup manis, memiliki badan yang langsing dan tinggi pula. Seharusnya Vika bisa mendapatkan sosok lelaki yang tampan, agar serasi dengannya. “Enggak usah banyak alasan. Gue puter ke arah rumah lo sekarang, dan lo siap-siap. Entar langsung jalan pas gue datang. Gue pengen cepet-cepet sampe rumah dan nyebur di kolam. Dan lo harus nemenin.” Di dalam kamarnya sana, Vika hanya bisa mendesah pasrah. Tak enak juga menolak ucapan Ratu. Di sisi lain, dia masih bingung semisal kakak dari Ratu tersebut menuntut jawaban atas penawarannya kemarin. Ingin menolak, tapi Vika tak ingin dicap tak tahu diri karena telah dibantu. Kalau diterima, konsekuensinya… Baru saja selesai teleponan dengan Ratu, ada notifikasi pesan masuk ke ponselnya Vika. Ada pesan dari Alvaro. Kak Alvaro Gmna? Lo udah ada jwbannya blom? *** Sudah berkali-kali menepis bayangan siang tadi, tetapi tetap saja muncul lagi dan lagi. Efek dipeluk oleh Ratu tadi siang, masih begitu kerasa hingga saat ini. Aditya mengusap wajahnya kasar, lalu bangkit dari tempat tidur dan keluar kamar menuju ke teras. Perempuan itu masih kecil, beda jauh darinya. Malah seumuran dengan adiknya sendiri, Sukma. Bisa-bisa Aditya terbayang-bayang terus akan pelukan bocah satu itu. Ingat bagaimana tangan perempuan itu melingkari tubuhnya dan Aditya sempat mematung sejenak. Terlalu kaget. Aditya tersenyum. Gara-gara seekor kecoak, perempuan yang terlihat tak menyukai itu sampai menjerit-jerit? Ada-ada saja. Senyum Aditya memudar seketika, menyadari dirinya yang bisa-bisanya tersenyum membayangkan peristiwa tadi siang itu. Tak pernah selama ini ada sosok perempuan yang membuatnya tersenyum selain anggota keluarganya. “Bang Adit… “ Aditya menoleh dan mendapati sang adik yang melangkah ke arahnya. “Belum tidur kamu?” “Habis angsur-angsur ngerjain bab satu skripsiku. Besok aja lanjut lagi, pusing aku.” Aditya manggut-manggut. Lalu, kembali teringat akan sosok bernama Ratu Arsyila yang merupakan salah satu dari mahasiswa yang bimbingan dengannya. Perempuan itu telah mengerjakan bab satu skripsi, terlihat begitu semangat menjelaskan apa yang tertera pad lembaran bab satu yang dikerjakannya itu. Aditya akui jika Ratu itu pintar. Walau ada beberapa tulisan yang Aditya coret untuk direvisi, Aditya menilai apa yang Ratu kerjakan itu termasuk bagus isinya. “Bang, aku mau tanya sesuatu.” “Apa itu?” “Boleh nggak kalau Ratu sesekali ngerjain skripsi di sini? Nah, nanti Abang bantuin. Biar dia nggak perlu banyak revisi atau nggak perlu revisi.” Aditya menaikkan alisnya. “Dia bilang ingin ngerajain skripsi di sini emangnya? Minta bantuan abang?” “Enggak, sih. Enggak ada dia bilang begitu. Aku aja yang nawarin. Kenapa, ya? Baru semingguan ini kenal dia, aku merasa kayak udah kenal lama aja. Asik dia orangnya, se-humble itu. Aku sempat kaget dia mau main ke sini, bahkan makan apa adanya juga di sini. Nggak ada dia memandang isi dalam rumah kita ini dengan pandangan nggak suka.” “Hmmm.” “Selama ini aku punya teman, kayaknya pada ngejauh—jaga jarak sama aku. Jarang ada yang benar-benar tulus, makanya aku lebih sering sendiri aja. Tapi saat udah kenal Ratu, dia kelihatan berbeda banget dari kebanyakan orang lainnya seusia kami ini. Aku pikir awalnya dia sekedar care karena merasa bersalah karena udah nyenggol motorku, ternyata dia nggak cuma peduli soal itu. Dia suka cerita apa aja hal random, tentang kuliah dan yang lainnya. Aku senang kenal sama dia, Bang.” “Jangan terlalu dekat juga. Dia levelnya jauh berbeda dari kita.” Sukma menghela napas pelan. “Dia kapan-kapan minta aku main ke rumahnya. Gimana itu?” Aditya baru saja membuka mulut hendak menjawab, akan tetapi dia mengernyit begitu mendapati layar ponselnya menyala dan memunculkan nama Ratu di sana. Dia dan Sukma saling tatap. Ada apa Ratu meneleponnya malam-malam begini? Aditya memang menyimpan nomor ponsel perempuan itu. “Angkat aja, Bang! Siapa tahu dia ada hal penting yang mau ditanya.” Aditya memberikan isyarat agar Sukma beranjak dari sana. Berdehem sejenak, jemari Aditya menyentuh tanda hijau pada layar ponselnya tersebut. “Ya. Hallo?” “Sumpah, gue malu banget, Vika! Kok bisa-bisanya gue reflek meluk itu orang? Mana dadanya keras banget, gue jadi kebayang cowok-cowok Koreyah gue.” Terdengar suara gelak tawa dari seberang sana. Aditya menaikkan alisnya. Ratu itu sepertiya tak sengaja kepencet nomor ponselnya. Bukannya langsung mematikan, Aditya penasaran mendengarkan kata-kata selanjutnya yang keluar dari mulut perempuan itu. Jadi, Ratu juga sama sepertinya yang kepikiran soal pelukan mendadak siang tadi? Sudut bibir Aditya terangkat. Kok lucu sekali? “Atu, menurut gue Pak Aditya itu emang bagus badannya. Terus, tinggi juga kayak Chanyeol lo itu. Jujur, gimana rasanya meluk dia walau pun lo nggak sengaja begitu?” Aditya yang mendengar pun, penasaran juga akan jawaban dari perempuan bernama Ratu itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD