Bab 13 — Sesuatu yang Keras

2458 Words
"Iya... iya. Ada Vika di sini, pastinya gue nggak akan tidur cepat. Entar kabarin aja kalau mau nyampe, gue bukain pintu," ujar Ratu kepada Alvaro, sang kakak yang lupa membawa kunci pintu rumah. Tak ingin malam-malam membangunkan asisten rumah tangga yang telah beristirahat tentunya. "HP lo jangan di silent tapi! Ya kali gue klakson malam-malam." Satpam yang biasanya bekerja mulai malam hari di rumah mereka sedang pulang kampung sudah 2 minggu ini, jadi tak ada yang membukakan pintu pagar rumah mereka jika pulang malam. Ratu menyengir, meski tak terlihat oleh kakaknya itu. "Kalau nggak keangkat sama gue, telepon Vika aja." Vika yang mendengar ucapan Ratu, seketika mnegangkat kepalanya. Dia tahu, Ratu sedang berbicara dengan Alvaro, seseorang yang tengah Vika hindari sejenak. Meski dia menyukai lelaki itu, tetapi Vika memikirkan resiko jika dia mengiyakan permintaan lelaki itu. Hatinya akan sakit. Jika menolak, dia takut dicap sebagai orang yang tak tahu diri karena telah dibantu dipinjamkan uang dalam jumlah yang cukup besar. Alvaro berdehem di seberang sana. "Ya udah. Entar gue kabarin lagi. Bilang sama Vika juga, angkat entar telepon gue semisal lo tiba-tiba molor.” Setelah mengakhiri telepona dengan sang kakak, Ratu mulai melanjutkan cerita dengan Vika. Tadi belum sempat cerita. Tiba di rumahnya Vika, Ratu diajak mengobrol oleh ibunya hingga lupa waktu. Usai maghrib, baru lah dia dan Vika beranjak dari sana. Begitu tiba di rumah, Ratu dan Vika ganti-gantian mandi, lanjut makan dan mengobrol dengan Zee, mamanya Ratu. Mamanya Ratu itu akrab dengan Vika, sudah menganggap Vika layaknya anak sendiri. Begitu juga dengan orang tuanya Vika terhadap Ratu. Zee sering membelikan sesuatu untuk Ratu, sekaligus untuk Vika juga. Juga membantu biaya kuliahnya Vika, agar perempuan itu bisa mengenyam perguruan tinggi di tempat yang sama dengan Ratu juga. Zee tulus membantu, sudah sesayang itu kepada Vika. Rafli, suaminya Zee pun juga sayang Vika. Tak masalah jika istrinya sering membantu teman dari anak perempuan mereka tersebut. Keuangan mereka lebih dari cukup untuk membantu, selain menjadi donatur tetap pada sebuah panti asuhan. "Gimana rasanya ya, Vik? Kayak merasa ada tempat berlindung aja... mungkin?" Ratu membahas perihal dirinya yang reflek memeluk Aditya tanpa disengaja tadi. Tangannya Ratu yang memegang ponsel, tak sengaja tergerak menyentuh kontak Aditya yang chat-nya berada di dekat Alvaro dan Vika di aplikasi whatsappp. Tanda memanggil tak sengaja tersentuh oleh jemari tangannya Ratu. Tak lama panggilan tersebut terhubung dan Ratu tak mengetahui hal tersebut karena posisi layar ponselnya terbalik. Dia sibuk berbicara dengan Vika. Lalu, Vika tertawa-tawa meledek. "Ah, yakin? Kata lo barusan dadanya keras kayak cowok-cowok Koreyah lo itu?" "Yakin!" Ratu menyahut cepat. "Ya kali gue merasa nyaman—keenakan meluk orang yang paling gue sebelin. Udah deh, enggak usah ngeledek. Nggak akan ada ceritanya gue bakalan falling in love gara-gara reflek meluk begitu doang! Itu yang ada di dalam pikiran lo saat ini, 'kan? Ngaku aja." Vika tertawa. Sementara di seberang sana, Aditya yang mendengarkan jawaban barusan, mematikan sambungan telepon. Cukup baginya mendengar obrolan random mahasiswi yang bimbingan dengannya itu. Benar adanya, perempuan bernama Ratu itu begitu sebal padanya. Memangnya, apa lagi selain itu? "Tapi lucu kayaknya semisal elo sama dia, Tu. Elo yang imut tapi galak ini, bersanding sama cowok yang cool tinggi dan badannya bagus gitu. Kayak di novel-novel gitu nggak, sih?" Ratu bergidik. "Nggak bakalan kejadian kayak di novel-novel begitu. Selain cowok-cowok Koreyah itu, yang akan gue jadiin pacar adalah cowok yang waktu itu nolongin gue. Itu juga kalau dia masih single dan ganteng! Gue nggak mau munafik, suka yang ganteng dan tinggi soalnya. Nah, cowok yang nolongin gue waktu itu tingginya yang pas. Dan kayak peluk-able juga, sih! Semoga aja nama kepemilikan motor itu cuma saudara atau sepupunya. Bisa aja, 'kan?" Ratu senyum-senyum, membayangkan andaikan wajah dibalik buff lelaki yang telah menyelamatkannya itu, tampan. "Nggak kebayang gue, gimana kalau ternyata yang nolongin lo itu, Pak Aditya? Kata lo waktu itu suaranya agak familer." "Ngaco! Mana mungkin dia coba? Dia aja pakai karbu ke kampusnya. Mana ada motor gede begitu? Pas gue ke rumahnya juga, gue pasti lihat itu motor. Gue kan hapal platnya. Lagi ya, keluarganya Pak Aditya itu sederhana banget. Mana sanggup dia membeli motor mahal begitu. Nggak... gue nggak lagi ngeremehin ya, Vik! Gue cuma menilai gimana keadaan keluarganya aja. Pak Aditya itu bekerja keras untuk keluarganya, pasti nggak kebeli motor jenis itu." "Kasihan juga ya, Tu? Dia kayaknya belum menikah bukan karena enggak laku deh! Tapi karena ada beban keluarganya yang harus dia tanggung. Mungkin finansialnya belum stabil." Ratu mengangguk setuju kali ini. Setelah berbicara banyak dengan Sukma, dia bisa menilai sekeras apa seorang Aditya itu bekerja untuk memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Selain menjadi dosen, lelaki itu juga bekerja di bengkel dan ada kerjaan bersama temannya juga kata Sukma. Ratu kasihan sebenarnya, di sisi lain dia sebal dengan sikap lelaki itu di kampus. Kedua orang itu bercerita-cerita. Saat melihat ponselnya, Ratu melihat ada notifikasi pesan, lalu layar ponselnya menyala. Ada telepon masuk dari Sukma. Ratu pun menekan tanda hijau pada layar ponselnya tersebut. “Hallo, Suk?” “Aku ganggu tidurnya kamu, Tu?” “Enggak, kok. Aku belum tidur, kenapa?” “Aku kepikiran, tadi kamu buru-buru pulang itu bukan karena Bang Aditya, ‘kan? Apa dia ada ngomong sesuatu sama kamu di dapur pas aku ke warung depan?” Gue pulang karena malu, reflek meluk abang lo itu! “Enggak, kok… santai. Kenapa emangnya?” “Nggak ada, tiba-tiba kepikiran aja.” “Oalah. Enggak, kok. Kirain Abang kamu ada ngomong sesuatu tentang kejelekan aku di kampus.” “Enggak ada. Abang nggak pernah cerita tentang mahasiswanya.” Ratu menghembuskan napas legah, sempat menduga jika Aditya cerita mengenai pelukan tak sengaja gara-gara kecoa itu. “Aku udah bilang Abang, kapan-kapan kamu ngerjain skripsi di sini aja.” “Abang kamu gimana responnya?” Ratu tak yakin dia akan punya nyali datang ke sana lagi saat sedang ada Aditya. Di kampus, beda cerita, akan Ratu usahakan tak mengingat itu. Beda jika di rumah, ada momen itu. “Jawabannya ngambang, sih. Nggak nolak, nggak jawab iya juga. Nanti kucoba tanyain lagi.” “Nggak apa-apa kalau enggak mau juga, Suk. Kita bisa ngerjain skripsi bareng aja berdua, meski sama-sama saling nggak ngerti isi skripsi masing-masing.” Ratu terkekeh, karena keduanya beda jurusan. “Boleh… boleh. Entar ganti-gantian di rumahku atau di rumah kamu, ya? Nggak kapok main ke sini, ‘kan?” Duh, Ratu bagaimana menjawabnya, ya? *** Aditya menghela napas sejenak sebelum memasuki rumah berpagar tinggi di depannya. Dia dihubungi oleh bodyguard yang biasa menemani bosnya itu ke mana-mana. Diminta untuk datang malam ini. Aditya tak tahu apa tujuan sang bos memanggilnya. Apa untuk menembak kakinya, atau... apa? Bagaimana pun nanti, Aditya tetap tak akan mengakui kesalahan yang tak diperbuat olehnya. Setelah mematikan mesin motornya, kembali Aditya tatap pagar rumah yang menjulang tinggi di depannya. Rumah di hadapannya ini berdiri megah di tepi jalan utama kawasan elite itu. Dari luar, bangunannya tampak sempurna—halamannya luas dengan taman yang terawat, gerbang hitam berukir elegan, dan pilar-pilar tinggi yang memberi kesan mewah serta berkelas. Setiap orang yang lewat mungkin akan mengira itu rumah seorang pejabat sukses atau pengusaha ternama yang hidup makmur dan terhormat. Namun tak ada yang tahu, di balik tembok tinggi dan kaca jendela yang selalu tertutup rapat itu, tersembunyi rahasia besar. Rumah itu bukan sekadar tempat tinggal, melainkan markas. Tempat segala keputusan kotor diambil, tempat segala transaksi gelap berlangsung di balik rapat tertutup, tempat di mana nasib banyak orang bisa ditentukan hanya lewat satu perintah. Pemilik rumah itu yang tak lain adalah seorang pejabat terpandang yang selalu tersenyum di depan kamera. Sosok yang namanya disegani, sekaligus ditakuti. Di depan publik, dia tampak seperti seseorang yang berwibawa, namunlepas dari itu topengnya berubah. Dia menjadi dalang dari jaringan kekuasaan gelap yang merentang jauh ke segala arah, mulai dari politik, bisnis, bahkan aparat hukum. Rumah itu menjadi saksi bisu dari dua wajah kehidupan pemiliknya, yang menyimpan seorang istri rahasia yang hanya diketahui oleh anak buahnya yang setia mengiringi langkah kotornya. Di ruang tamu depan, sering diadakan jamuan resmi dengan pejabat tertentu. Namun, di ruang bawah tanah yang hanya diketahui segelintir orang, tersimpan arsip rahasia, uang tunai, dan senjata—semuanya tersusun rapi seperti bukti kejahatan yang disembunyikan oleh tangan yang ahli. Termasuk Aditya tentunya yang mengetahu hal tersebut. Pagar tiba-tiba terbuka dan seseorang yang Aditya kenal meminta lelaki itu untuk masuk. Aditya pun mendorong masuk motor yang biasa digunakannya sehari-hari tersebut. "Udah ditungguin Pak Bos." Aditya mengangguk setelah meletakkan motornya di antara deretan motor lain di sebuah garasi khusus motor. Berusaha tenang, Aditya kemudian mengikut langkah kaki lelaki di depannya. Tiba-tiba jantungnya berdegup dengan kencang saat lelaki di depannya melangkah menuju lorong arah bawah tanah. Akan ada apa kah yang terjadi setelah ini? Biasanya di bawah sana ada obrolan penting yang sangat rahasia atau misi-misi yang hanya boleh diketahui segelintir orang saja, dan satu lagi... bosnya akan mengeksekusi orang-orang pengkhianat atau pihak musuh yang ditawan sampai menyerah. Apa kah dia akan disiksa karena kesalahan yang tak diperbuatnya itu? Aditya tetap melangkah mengikuti jejak kaki di depannya, menyusuri lorong yang minim cahaya di bawah sana. Begitu tiba di tempat tujuan, Aditya mengernyit ketika melihat seseorang yang tengan diikat di sebuah kursi. Itu adalah salah satu rekannya. Lalu, ada bosnya yang melirik sekilas padanya sebelum kembali menatap lurus ke depan ke arah lelaki itu terikat pada sebuah kursi tersebut. "Aditya, kamu tahu kenapa dia diikat di sana?" tanya sang bos kepada Aditya. Aditya menggeleng, akan tetapi di dalam hatinya sedang menduga-duga. “Tanpa adanya kamu kemarin ini, proses pengiriman barang itu memang tetap berjalan lancar. Tapi, setelah itu…. “ Lelaki paruh baya itu menjeda kalimatnya sejenak. “Saya mendapati ada orang yang bermain-main sama saya. Mencari keuntungan yang lain.” Aditya tak bersuara, menunggu kelanjutan kata-kata yang keluar dari mulut bosnya itu. “Kamu mau menembak kakinya orang itu?” Aditya masih tak bersuara, bingung hendak bagaimana meresponnya. “Bisa-bisanya orang yang lebih dulu bekerja dengan saya dibandingkan kamu ini, melakukan hal licik. Maruk sekali, seolah uang dari saya tidak cukup.” Lelaki paruh baya itu tersenyum sinis. “Dia bahkan fitnah kamu agar orang-orang terkuat saya berkurang. Jadi, mau saya atau kamu yang menembak kakinya? Jangan jantungnya, keenakan dia kalau langsung mati nggak ngerasain penderitaan.” Aditya menggeleng. Menembak atau menyiksa musuh, sudah biasa dilakukannya. Tidak kepada rekan kerja sendiri, meski tak dekat. Ada rasa tak tega juga. Bunyi tembakan langsung terdengar sesaat setelah gelengan Aditya. Aditya hanya bisa memejamkan mata, tanpa berani protes terhadap bosnya itu. Bosnya tidak akan membunuh, Aditya meyakini itu. Sosok paruh baya itu lebih senang melihat musuh—orang yang tak disenanginya itu tersiksa. Seperti kala itu musuhnya yang Aditya bikin bermasalah mobil dan meletakkan obat-obatan terlarang di sana, lelaki itu tengah dirawat dan menjadi tahanan rumah sakit atas berbagai hal. Termasuk berita perselingkuhannya yang terbongkar ke media. “Saya melakukannya untuk kita berdua,” ucap bosnya Aditya itu sembari mengusap pistolnya, yang mana dia menggunakan sarung tangan. Ruang bawah tanah yang kedap suara, tak akan ada yang mendengar apa pun yang terjadi di sana. Setelah peristiwa di bawah itu dibereskan, bosnya kembali mempercayai Aditya untuk bekerja lagi. Entah kenapa waktu itu dia tak langsung eksekusi Aditya saat ada info buruk tentang lelaki itu. Dan ternyata benar, Aditya tak salah apa-apa. Tak mengkhianatinya. Pukul setengah sembilam malam, Aditya sudah beranjak dari rumah tersebut. Memang dia sudah datang ke sana sejak pukul setengah tujuh. Mengendarai motornya dengan kecepatan rendah, Aditya memikirkan banyak hal sepanjang perjalanan pulang. Teringat akan ucapan bosnya. “Kalau kamu yang seperti dia itu, saya nggak akan segan-segan untuk menghancurkan kamu, Aditya.” “Nggak akan, Bos,” ucap Aditya yakin. “Bagus. Tetap lah menjadi Aditya yang saya kenal. Jangan pernah keluar dari tempat ini. Hanya saya yang bisa memutuskan kapan kamu keluar dari sini, atau tidak sama sekali. Jangan coba-coba untuk pergi begitu saja setelah apa yang telah kamu dapatkan selama bekerja bersama saya. Saya tahu bagaimana keluargamu itu.” Agak mengantuk, Aditya hendak mampir di sebuah cafe yang terlihat tak jauh jaraknya. Ingin membeli kopi di sana, santai sejenak meski kepalanya berisik. Namun, saat hendak parkir, dia melihat sosok yang dikenalnya bersama teman perempuannya keluar dari cafe tersebut diikuti oleh seorang lelaki yang mencekal pergelangan tangan perempuan tersebut. “Apaan, sih?” Perempuan yang tak lain adalah mahasiswinya Aditya yang bernama Ratu itu, menghempas kasar tangan seorang lelaki yang mencekal pergelangan tangannya. “Maksa amat jadi cowok! Lo pikir, lo oke? Dari dulu, lo tetap burik di mata gue.” Aditya menaikkan alisnya. Dia memperhatikan saja dari atas motornya yang baru saja terparkir, baru saja membuka helmnya. “Jual mahal amat jadi cewek!” “Teman gue emang cewek mahal!” Vika yang bersama Ratu saat ini, tak terima Ratu dari tadi diganggu oleh lelaki itu sok merasa keren tersebut. Lelaki tersebut adalah teman SMA Ratu dan Vika dulu. Mantan kapten basket yang mengejar Ratu hingga saat ini. “Lo ini batu, ya?! Orang enggak mau, masih aja ngotot deketin.” Ratu menarik tangan Vika menuju mobilnya, tak melihat sosok Aditya karena tak memperhatikan sekitar. “Tu, sekali aja deh! Coba jalan sekali aja, habis itu janji bakalan ngejauh.” Lelaki itu tak menyerah, dan sekarang menghadang jalannya Ratu. “Minggir nggak?!” Lelaki itu bergeming. Ratu yang stok sabarnya tak seberapa itu, akhirnya melayangkan sebuah pukulan kepada lelaki tersebut. “Apa? Mau balas mukul gue? Ayo sini, gue jabanin!” “Nggak ah! Balas dengan pelukan aja, boleh?” “Dasar sinting!” Kembali Ratu layangkan pukulan pada lelaki itu. “Mau gue hajar sampai masuk rumah sakit?” Aditya geleng-geleng kepala melihat mahasiswinya tersebut. Tak membantu, karena tahu perempuan itu bisa mengatasinya sendiri. Saat sudah di dekat mobilnya setelah berhasil membuat teman SMAnya itu tak lagi mengejar, pandangan Ratu tak sengaja bertemu dengan matanya Aditya. Mereka beradu tatap beberapa saat, hingga Ratu memalingkan wajahnya lebih dulu. Kembali ingat peristiwa beberapa hari lalu, mukanya memerah. Padahal sudah berlalu sekian hari, kenapa masih malu saja melihat dosennya itu? Apa yang dosennya itu pikirkan tentangnya? “Tu, itu Pak Aditya bukan, sih?” Vika baru menyadari kehadiran Aditya yang berjalan di depan mobilnya Ratu, setelah mereka berdua berada di dalam mobil. “Iya, mungkin.” Ratu mengedikkan bahunya, padahal dia sudah melihat lelaki itu sebelumnya. “Eh, Vik, dompet gue kok nggak ada, ya?” Ratu meletakkan ponselnya di dalam tas, akan tetapi tak menemukan dompetnya di dalam sana. “Serius? Ketinggalan di dalam nggak?” “Wait… coba gue cek dulu!” Ratu membuka sabuk pengaman. Keluar mobil, dia kembali melangkah memasuki cafe di depannya. Baru saja hendak membuka pintu, dia menuburk sesuatu yang keras di depannya. Kok… seperti waktu itu rasanya? Ratu seketika ingat dadanya Aditya yang keras. Ratu mendongak, dan mendapati sosok sang dosen di depan matanya persis. Matanya Ratu langsung membulat. “Ini dompetnya kamu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD