Bab 14 — Tak Mampu Menatap

1410 Words
Ratu melenguh. Menyadari sisi kosong di sebelahnya, dia pun terbangun. Dia tak mendapati sosok Vika yang tidur di sebelahnya. Vika memang menginap lagi di rumahnya Ratu. Seperti biasa, Ratu meminta Vika menginap di rumahnya. Memang rumahnya Ratu sudah seperti rumah kedua oleh Vika. Sejak sekolah sering sekali Vika menginap di sini. Ratu yang terbiasa tak kesepian sejak kecil, senang jika temannya itu menginap. Ratu jadi punya teman mengobrol dan lain sebagainya. Kadang orang tuanya Ratu lah yang sering bertanya jika Vika dalam waktu yang lama belum menginap. "Vik... Vika... " Ratu menguap sembari mendengarkan pandangan ke sekitar dengan mata mengantuk. "Lo di kamar mandi, ya?" Ratu melihat jam di sebelah ranjangnya, dengan mata menyipit dilihatnya saat ini menunjukkan pukul setengah satu malam. Mungkin Vika terbangun karena ingin ke kamar mandi. Ratu tiba-tiba ingin ke kamar mandi juga. Ratu beranjak dari kasur, lalu melangkah gontai menuju ke arah kamar mandi. Dia mengetuk pintu kamar mandi tersebut. "Vik, lo di dalam? Masih lama nggak?" Tak terdengar sahutan dari dalam sana. "Vika?" Ratu terus memanggil sambil mengetuk. "Lo lagi mules? Gue kebelet pipis, tapi mager banget mau ke kamar mandi di luar." Di lantai dua ini, ada kamar mandi lagi di luar untuk orang yang semisal menginap di kamar tamu. Ada tiga kamar di lantai dua rumah ini, kamarnya Ratu dan Alvaro. Kedua kamar itu masing-masing ada kamar mandinya di dalam. Tak juga terdengar sahutan dari dalam sana. Ratu kembali menguap sembari mengetuk pintu tersebut. Tak juga ada jawaban. Apa Vika tak ada di dalam sana? Ke mana perempuan itu? Apa mungkin haus dan mengambil minum ke bawah? Ratu meraih gagang pintu—membukanya. Tak terkunci. Tak ada Vika di dalam kamar mandi tersebut. Ratu segera masuk saja karena dia tak tahan hendak buang air kecil. Baru saja keluar dari kamar mandi beberapa saat kemudian, ada Vika yang membuka pintu kamar dari luar. Perempuan itu tampak terkejut. Hanya sesaat, dia bisa mengubah ekspresi wajahnya. Vika yang selalu terlihat polos di mata orang-orang. "Dari mana lo? Habis minum?" "I-iya. Kebangun, ngerasa haus banget gue. Terus sempat pipis juga di kamar mandi bawah." "Ooh." Vika tersenyum tipis. Dia ikut merebahkan diri di kasur. Di dalam hati merasa legah, untung saja Ratu mengiranya habis minum. Padahal, dia sama sekali tak ke lantai bawah. Sejak satu setengah jam lalu setelah memastikan Ratu benar-benar telah tertidur lelap, Vika menemui Alvaro. Dia yang telah ditunggu kehadirannya oleh lelaki itu dari tadi. Yap... Vika baru saja kembali dari kamarnya Alvaro yang berada di lantai yang sama dengan Ratu. "Gue ngantuk banget barusan. Tapi kenapa jadi seger ya, Vik?" Ratu yang baru saja memejamkan mata, tetapi pikirannya ke mana-mana. Dia pun membuka matanya kembali. Ratu tiba-tiba ingat Aditya. Besok ada bimbingan lagi, dan Ratu gelisah. Seminggu berlalu setelah pelukan tak sengaja itu dan kemarin ini bertemu di cafe juga, Ratu tetap saja merasa malu. Ratu kepikiran, apa Aditya merasa biasa saja dipeluk olehnya? Ah, pasti lelaki itu sudah pernah beberapa kali juga berpacaran sebelumnya. Itu bukan kali pertama sepertinya lelaki itu dipeluk seorang perempuan. Ratu jadi sebal sendiri, apa hanya dia saja yang gelisah terbayang terus setelah hari itu? Saat bertemu kembali di cafe beberapa hari lalu, Aditya memang terlihat biasa saja menurut Ratu. Lelaki itu mengembalikan dompetnya dan ekspresinya tampak datar saja. Berbeda dengan Ratu yang mukanya memerah. "Iya, ini dompet saya. Terima kasih." Ratu tersenyum canggung—seperti senyum terpaksa. Hawa panas menjalar hingga ke telinganya mengingat kejadian hari itu. "Hati-hati lain kali. Belum tentu di tempat kamu duduk ada cctv-nya." "Ya. Saya akan hati-hati. Sekali lagi, terima kasih banyak." Ratu ingin segera berlalu dari hadapan lelaki itu. Baru saja berbalik badan, kembali terdengar suara lelaki itu. Ratu pun kembali menghadap padanya. "Jangan sering keluyuran malam-malam—kebanyakan main. Ingat, kamu lagi skripsi." Aditya sebenarnya mengatakan itu tujuannya baik. Khawatir juga pada Ratu, mengingat barusan ada lelaki yang terlihat mengganggu perempuan itu. Ratu memang terlihat bisa bela diri, tapi bagaimana kalau suatu waktu bukan satu orang lelaki saja yang mengganggunya? Masa depan perempuan itu masih sangat panjang. Harus menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu, entah setelah itu akan lanjut S-2 atau ikut menggeluti bisnis orang tua. Aditya tahu, kedua orang tuanya Ratu merupakan pebisnis yang usahanya tak hanya satu saja. Ratu menciptakan senyuman semanis mungkin, walau di dalam hatinya kesal. Siapa lelaki itu memangnya? Kembali mengucapkan kalimat yang hampir sama seperti usai bimbingan kala itu? Tanpa dibilangin pun, Ratu tahu harus menjalani hidup seperti apa. Apa lagi saat skripsi sekarang-sekarang ini, dia juga butuh refreshing sesekali. Ratu ingat waktu tentunya, tak pernah dia keluyuran hingga larut malam. Paling lambat dia tiba di rumah jam 10 malam, seperti waktu itu. Paling lewat sedikit. "Iya, Pak Adit. Kebetulan saya nggak suka keluyuran malam, kok. Ini lagi refreshing aja sejenak. Agak pusing mikirin revisi skripsi saya." Ratu menyindir jika dia pusing karena revisian dari lelaki itu. Ratu tak tahu saja jika Aditya mengira perempuan itu sering keluar malam, karena bukan kali pertama lelaki itu melihat Ratu malam-malam begini. Makanya, Aditya berkata demikian demi kebaikan Ratu sendiri. "Hmmm." Ratu tersentak ketika Vika menepuk bahunya. “Dihh, malah bengong?!” Vika menatap Ratu heran. “Kenapa enggak bisa tidur lagi? Lo mimpi buruk barusan?” “Nggak tahu. Apa karena besok gue mau bimbingan? Kok gue ngerasa nervous ya, Vik?” Vika tertawa kecil. Ratu tak pernah berpacaran, tetapi Vika pernah. Vika paham sekali apa yang tengah Ratu rasakan. “Masih gara-gara pelukan reflek waktu itu?” Ratu menggeleng cepat, namun setelahnya mengangguk. “Gue malu, Vika!” “Dia kayaknya biasa aja kata lo waktu itu, pas ketemu di cafe.” “Tu lah. Sebel banget gue! Kenapa gue gelisah begini?” “Mulai tumbuh getaran di dadanya lo itu! Jadi, kebayang terus. Inget kata gue, jarak antara benci dan cinta itu tipis.” “Ah, malas gue sama elo! Apaan coba? Ya kali gue tiba-tiba ada getaran cinta sama si Aditya itu gegara pelukan reflek itu aja.” Vika mengedikkan bahunya. “Buktinya, elo kepikiran terus.” Ratu menarik selimutnya ke atas hingga menutupi kepalanya. “Nggak mau ngomong lagi sama elo, kalau elo kayak nuduh gue mulai kesemsem sama dia. Vika ngakak. Ratu memang selucu itu orangnya. *** “Tahan malu, Atu! Tahan… “ Ratu tak kunjung segera keluar dari dalam mobilnya. “Inhale… exhale… “ Ratu pun mencoba menarik napas dan membuangnya perlahan sembari memejamkan matanya. Dia sendirian ke kampus bimbingan hari ini. Vika baru besok ada bimbingan, sedangkan hari ini tak bisa menemani Ratu karena Vika harus menemani adiknya kontrol ke rumah sakit. Tadi pagi-pagi setelah sarapan, Vika pulang. Perempuan itu pulang di antar oleh Alvaro yang sekalian berangkat ke kantor. Ratu yang meminta kakaknya itu untuk mengantarkan Vika terlebih dahulu. Jam kerjanya Alvaro fleksibel juga, karena mengelola bisnis milik orang tuanya mereka. Tak ada meeting atau urusan yang begitu penting juga hari ini. Lo kan berhadapan sama orang yang paling lo sebelin di dunia ini, so, ngapain malu? Anggap aja nggak terjadi apa-apa. Ratu pun perlahan keluar dari mobil membawa map yang berisikan lembaran skripsi bab satu yang telah direvisi olehnya. Hari ini bimbingan di sebuah kelas, usai Aditya mengajar. Ratu mengetikkan pesan, dan langsung ada balasan dari dosen tersebut. Ratu pun memasuki kelas yang mana seluruh mahasiswa di kelas tersebut sudah pulang. “Ini, Pak.” Ratu tersenyum menyerahkan lembaran bab satu skripsinya tersebut, setelah duduk di hadapan lelaki itu. Tak berani dia menatap wajah lelaki itu. Ratu baru berani menatap saat Aditya menunduk memeriksa lembaran skripsinya tersebut. “Udah direvisi semua?” Ratu kembali menunduk dan mengangguk saat menyadari lelaki itu menatapnya. Dia ditanya-tanyai oleh sang dosen mengenai revisiannya tersebut. Akan tetapi, tetap saja masih ada coretan pada lembaran tersebut. Masih ada yang harus direvisi lagi? Ratu mendesah kesal. Kenapa rumit sekali? “Nggak banyak yang harus dibenerin, Jum’at sore saya akan cek lagi. Saya tunggu. Bisa, ‘kan? Ini cuma sedikit saja.” Jeda waktu 2 hari, dan Ratu hanya bisa mengangguk. Ketika tatapan mata keduanya beradu, Ratu akan memutus kontak mata terlebih dahulu. Ingin bernego juga, dia tahu akan percuma. “Ada lagi, Pak?” tanya Ratu memasang senyum ramah. Meski di dalam hatinya begitu gondok mendengar ucapan lelaki itu yang terkesan menyepelekan. Aditya menggeleng. “Kerjakan dengan teliti dan jangan banyak main-main. Jangan suka mengulur-ngulur waktu.” “Iya. Baik, Pak.” Aditya menatap punggung Ratu hingga perempuan itu menghilang dibalik pintu. Aditya heran, kenapa perempuan itu seperti menghindari tatapannya? Aditya tak merasa galak. Menurutnya, dia sudah melakukan tugasnya sebagai dosen pembimbing skripsi sebagaimana mestinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD